Mubadalah.id – Ronggeng Gunung adalah satu dari sekian tari tradisional yang ada di Jawa Barat khususnya yang berkembang di Priangan Timur bagian selatan. Hakikatnya para penari perempuan Sunda dalam kesenian Ronggeng Gunung mencerminkan nilai keadaban sebagai moralitas bangsa. Hal ini bisa terlihat dengan pakaian yang tertutup dan gerakan yang khusus. Sehingga tidak sembarang orang bisa ikut menari.
Budaya dan Agama
Budaya merupakan sarana dalam penanaman nilai-nilai Agama. Dalam proses Islamisasi misalnya, para pendakwah atau wali sango menggunakan pendekatan budaya dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Hal itu pula yang terjadi di tatar Sunda, sehingga masyarakat sudah berislam tanpa tercerabut dari akar budayanya. Hal ini bisa kita buktikan dengan banyaknya hal-hal kebudayaan yang mengandung atau bernafaskan nilai-nilai Islam di dalamnya.
Ronggeng Gunung
Tari tradisional Ronggeng Gunung merupakan salah satu kesenian tradisional di daerah Priangan Timur di bagian selatan. Yaitu wilayah Ciamis Selatan dan Pangandaran. Ronggeng Gunung ini telah lama hidup dan berkembang di masyarakat.
Kesenian tari tradisional Ronggeng Gunung ini memiliki ciri spesifik seperti sejumlah penari yang diiringan musik gamelan dan nyanyian atau yang sering disebut dengan kawih. Lalu gerakan dari tari tradisional Ronggeng Gunung ini tidak sembarangan, namun memiliki gerakan khusus dan tersendiri. Oleh karena itu, masyarakat yang ikut menari haruslah mengetahui gerakan dari tarian tradisional Ronggeng Gunung tersebut.
Adapun ciri dari penari perempuan adalah menggunakan sebuah selendang sebagai pelengkap dalam menari. Seledang inipun berfungsi untuk mengajak laki-laki untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.
Tari tradisional Ronggeng Gunung ini biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang penari perempuan dengan iringan musik tradisional seperti ketuk, kendang dan gong. Ronggeng Gunung pada hari ini biasanya mereka gelar di depan halaman rumah atau lapangan terbuka sebagai sarana hiburan masyarakat.
Biasanya seseorang akan mengundang tari tradisional Ronggeng Gunung ini ketika ada hajatan baik sunatan ataupun perkawinan. Hal ini menunjukan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dengan berbagi kebahagiaan dengan sanak famili dan tetangga.
Sedangkan pada masyarakat tempo dulu, Ronggeng Gunung ini dilaksanakan di huma atau ladang sebagai bagian dari upacara adat pertanian sekaligus ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap hasil pertanian yang melimpah (panen).
Asal Usul Ronggeng Gunung
Dari sisi sejarah, Ronggeng Gunung belum terketahui secara pasti kapan mulai ada dan berkembangnya di masyarakat Sunda, khususnya di Priangan Timur.
Namun tari tradisional Ronggeng Gunung ini kerap berhubungan dengan mitos seorang perempuan dari tanah Sunda bernama Dewi Samboja dan seorang raja pesisir Pangandaran. Yaitu Raja Anggalarang yang menguasai kerajaan Pananjung (sekarang daerah Cagar Alam Kabupaten Pangandaran).
Mitos yang kuat dan beredar di masyarakat adalah bahwa tarian tradisional Ronggeng Gunung ini lahir dari kepedihan seorang puteri raja (Dewi Samboja ) yang kehilangan suaminya. Yaitu Pangeran Anggalarang dan berupaya untuk membalaskan dendamnya kepada sang pembunuh tersebut.
Masyarakat Sunda penuh dengan berbagai mitos dan legenda yang berkembang dari mulut ke mulut atau dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, mengenai mitos Dewi Samboja yang nantinya melahirkan tari tradisional Ronggeng Gunungpun banyak versinya.
Berbagai Versi Cerita Rakyat Lahirnya Ronggeng Gunung
Versi Pertama
Melansir dari website ciamiskab.go.id versi pertama bahwa asal usul Ronggeng Gunung ini adalah ciptaan Raden Sawunggaling pada masa kerajan Galuh. Di mana mereka sedang diserang oleh musuh dan Raja dibawa ke tempat yang aman oleh Raden Sawunggaling tersebut.
Sebagai ungkapan terimakasih sang Raja, Raden Sawunggaling akhirnya dinikahkan dengan puterinya. Lalu ketika Raden Sawunggaling menjadi Raja Galuh menciptakan tarian yang berfungsi untuk menghibur orang-orang di istana.
Versi Kedua
Versi kedua bahwa Ronggeng Gunung berasal dari seorang puteri yang kekasihnya meninggal. Lalu para pemuda datang untuk menghibur sang puteri dengan menari mengelilingi sang puteri. Sang puteri juga ikut menari dan menyanyi dengan nada sedih. Adegan ini menjadi dasar dalam gerakan pada pemetasan Ronggeng Gunung hari ini.
Versi Ketiga
Versi ketiga yaitu Dewi Samboja yang merupakan puteri dari Prabu Siliwangi yang memiliki suami Pangeran Anggalarang. Lalu Pangeran Anggalarang ini terbunuh oleh Kalasamudra yang memimpin kelompok bajak laut. Oleh karena itu, Dewi Samboja sedih dan marah terhadap bajak laut yang telah membunuh suaminya.
Maka Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja untuk membalaskan kematian Pangeran Anggalarang dengan menyamar sebagai seorang penari ronggeng dengan nama Nini Bogem, Dewi Samboja pun belajar menari dan ilmu bela diri. Sampai suatu hari Dewi Samboga berkesempatan untuk menari pada tempatnya Kalasamudra dan akhirnya Kalasamudra bisa terbunuh oleh Dewi Samboga tersebut.
Versi Keempat
Versi keempat hampir sama dengan versi ketiga yaitu tentang Raden Anggalarang yang merupakan putera dari Prabu Haur Kuning dari kerajan Galuh dan beristri Dewi Samboja yang berkeinginan untuk mendirikan kerajaan Pananjung. Di mana sekarang merupakan kawasan Cagar Alam Pananjung di Pangandaran.
Padahal ayahnya sudah memperingati bahwa daerah tersebut dekat dengan markas dari kelompok perompak. Pirasat Prabu Haur Kuning terbukti, kerajaan Pananjung kemudian mendapatkan serangan oleh kelompok perompak dan terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Oleh karena itu, Raden Anggalarang terbunuh, sedangkan istrinya yaitu Dewi Samboja berhasil menyelamatkan diri.
Dalam pelariannya, Dewi Samboja menyamar sebagai penari ronggeng dan mengganti nama menjadi Dewi Rengganis. Dalam pelarian dan perjalanannya akhirnya mengantarkan dia ke tempat sang perompak yang pimpinannya adalah Kalasamudra.
Dengan menyamar sebagai ronggeng, Dewi Samboja akhirnya berhasil membunuh sang bajak laut yang tak waspada. Dari cerita-cerita tersebut, konon, para pembantu Dewi Rengganis yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Ketika sang musuh tergoda dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan.
Pergeseran Nilai Tari Tradisional Ronggeng Gunung
Terlepas dari berbagai versi mengenai lahirnya Ronggeng Gunung, dalam perkembangannya Ronggeng Gunung ini banyak terjadi pergeseran nilai dalam penyajiannya. Misalnya dalam cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada (salam budaya) berganti dengan cara bersalaman seperti biasa.
Padahal salam budaya ini mempunyai siloka yaitu habluminallah dengan 2 jari jempol yang mengarah keatas, dan habluminnas dengan empat jari kanan dan empat jari kiri yang mengarah kedepan. Ini menunjukan bahwa berbudaya, khususnya dalam seni tari tidak akan pernah terlepas dari dua dimensi tersebut, yaitu berhubungan dengan Allah SWT dan berhubungan dengan sesama manusia sebagai mahluk sosial.
Pergeseran nilai yang terjadi dalam perkembangan Ronggeng Gunung ini adalah penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba dan sebagainya.
Hal ini merupakan tindakan menurunkan harkat dan martabat perempuan dan menciderai kemanusiaan. Di mana dalam dunia kesenian dan berbudaya sangat menjungjung tinggi nilai dan derajat perempuan dan kemanusiaan.
Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat dan nilai-nilai norma luhur budaya, maka pada tahun 1948 kesenian Ronggeng Gunung ini pernah terlarang untuk umum. Baru pada tahun 1950 kesenian Ronggeng Gunung kembali hadir dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya. Sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif khususnya bagi penari perempuan dapat terhindarkan.
Untuk mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yang hampir punah ini, maka ada peraturan yang melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung. Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, terlarang sama sekali.
Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik dengan perempuan yang senang menggoda laki-laki, dan hal ini tidak sesuai dengan hakikat penari perempuan Sunda.
Hakikat Penari Perempuan Sunda
Padahal hakikat penari perempuan Sunda dalam tari tradisional Ronggeng Gunung mencerminkan nilai religiusitas yang tinggi dari adab serta kesopanan. Seni tradisional Ronggeng Gunung ini memiliki nilai positif, seperti halnya nilai keadaban dan kesopanan yang tercermin dari para penari perempuan.
Dalam hal berpakaian, seni tari tradisional sangat tertutup dan sopan, hal ini menunjukan bahwa seni tari mengangkat harkat dan derajat perempuan sebagai manusia. Selain itu, gerakan seni tari tradisional khususnya tari Ronggeng Gunung juga tertata dan tertib. Gerak tariannya pun tidak mengandung unsur seksisme yang berkesan mengundang hasrat lelaki. []