Mubadalah.id – Pepatah mengatakan, “Satu ibu bisa merawat 10 anak, namun 10 anak belum tentu bisa merawat satu ibu.Pepatah ini berisikan kondisi kehidupan yang sangat kompleks.
Sebut saja peran ibu tunggal yang berjuang membesarkan anak-anaknya. Edukasi keluarga berencana yang masih minim. Kebijakan negara yang belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan dan lansia yang menjadi kelompok rentan. Lalu lapangan kerja yang langka sehingga anak-anak tidak sanggup merawat ibu di usia senja, dan masih banyak lagi.
Tidak tepat pepatah ini kita gunakan untuk merujuk pada anak-anak yang durhaka. Karena jika kita kembali melihat kondisi kehidupan yang ada, setiap orang memiliki perjuangan yang berbeda-beda. Pepatah ini tidak akan ada jika pemangku kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyatnya. Baik pada ruang kesehatan reproduksi, pendidikan, ekonomi, dan fasilitas bagi kelompok rentan (khususnya lansia).
Tentunya untuk menjawab semua tantangan tersebut membutuhkan waktu yang panjang dan kerja sama yang berkesinambungan.
Budaya Nusantara
Tidak ada persoalan yang tidak memiliki jawaban. Nampaknya, para orang tua di Indonesia, secara turun-temurun memiliki budaya nusantara yang ditradisikan untuk dapat hidup dengan penuh kesalingan tanpa ketergantungan. Yakni dengan menjadikan rumah sebagai pusat perputaran kehidupan.
Semuanya berawal dan berakhir di rumah. Rumah menjadi saksi hidup yang menyatu dengan pemiliknya. Banyak daerah di Indonesia yang sudah mafhum. Bahwasanya rumah orang tua adalah milik si bungsu apabila kedua orang tua telah tiada.
Budaya perpindahan kepemilikan ini sudah masyhur di beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Jawa, Madura dan lainnya. Budaya ini seolah-olah menjadi norma tidak tertulis yang kita sepakati. Mengingat pada umumnya anak-anak tertua telah berkeluarga dan merantau ke daerah yang berbeda, maka tugas merawat orang tua lansia dimandatkan pada adik yang paling kecil.
Hal ini disebabkan seringnya anak terkecil belum memiliki tugas di keluarga baru, atau juga masih dalam pengawasan orang tua langsung.
Cerita tentang Anak Bungsu
Anak bungsu (atau juga anak yang lain, yang disepakati untuk menemani orang tua) inilah yang membersamai para orang tua di usia senja. Baik itu untuk kebutuhan hariannya, juga perihal kesehatannya. Karena tugas mulia inilah maka menjadi lumrah para orang tua memberikan rumah tinggal menjadi milik anak bungsu.
Seringnya kakak-kakak menyetujui hal tersebut. Mengingat pada umumnya mereka telah memiliki rumah masing-masing dan menyadari bahwa adik bungsulah yang paling berjasa dalam menemani orang tua di usia senja.
Jika di negara-negara maju telah ada kebijakan yang melindungi para lansia dengan mendirikan rumah-rumah jompo yang mensejahterakan. Maka di Indonesia, rumah-rumah jompo tersebut tidak lain adalah rumah masing-masing dengan kasih sayang anak-anak di dalamnya.
Saat negara belum mampu hadir dalam hal ini, maka masing-masing keluarga harus mampu memberikan rumah jompo terbaik bagi lansia yang ada di dalamnya. Sebagaimana para orang tua dulu mengasihi dan membesarkan anak-anaknya. Namun, tidak sedikit masalah yang muncul akibat dari budaya ini:
Pertama, kesempatan anak bungsu untuk memiliki ruang belajar dan berkarir yang tidak luas. Kedua, tidak ada kontribusi kakak-kakak dalam merawat orang tua. Ketiga, atau juga konflik kepemilikan rumah orang tua antar saudara secara hukum saat orang tua telah tiada.
Menilik Kesalingan dalam Keluarga
Sebagaimana kesalingan yang hadir saat anak-anak terlahir ke dunia, kesalingan juga kita butuhkan dalam relasi persaudaraan untuk orang tua lansia dengan penuh kepastian. Saat anak-anak bertumbuh, ayah dan ibu saling berbagi peran dan segala hal mereka komunikasikan. Maka saat mereka telah senja pun anak-anak perlu melakukan hal demikian.
Tujuannya agar jangan hanya satu anak, melainkan 10 anak dapat bebarengan merawat satu ibu/ayah atau ayah dan ibu secara bersama-sama. Berikut beberapa langkah yang bisa kita adaptasi dalam bebarengan merawat orang tua lansia:
Pertama, sesama saudara konsisten bermusyawarah tentang siapa yang dapat menemani orang tua. Apakah dengan bergantian atau dimandatkan pada anak-anak tertentu. Kedua, sesama saudara harus saling pengertian dalam kondisi saudara-saudara yang lain, sehingga tidak bersifat memaksakan, melainkan bahu-membahu menjadi satu kesatuan.
Ketiga, sesama saudara harus saling terbuka tentang keperluan, biaya hidup, dan biaya kesehatan yang orang tua perlukan di usia senja. Terutama untuk meminimalisir konflik hutang di kemudian hari. Keempat, sesama saudara harus memiliki hitam di atas putih yang diketahui bersama tentang peralihan tangan harta yang orang tua miliki.
Kelima, sesama saudara harus saling memperhatikan kesejahteraan saudara lainnya, khususnya yang dimandatkan menemani orang tua. Baik itu pendidikannya, karirnya, ekonominya, dan lainnya. Keenam, sesama saudara tidak saling menyalahkan, hasad dan sejenisnya saat terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi pada orang tua.
Ketujuh, sesama saudara harus senantiasa saling menyayangi, berbagi dan mengasihi. Tidak ada hal berat di dunia ini jika semuanya kita kerjakan bersama-sama dengan penuh kesalingan. []