Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga (RUU HALU), 146 pasal, tidak hanya bertentangan dengan maqashid syariah yang bertujuan mencapai kemaslahatan umat manusia, tetapi juga hak asasi manusia paling dasar (non derogable rights) yang universal.
Tujuan syari’ah, gagasan Abu Al-Ma’ali al-Juwaini yakni dharuriyyat, hajiyyat, dan makramat. Al-Syatibi, berpendapat makramat adalah tahsiniyyah. Sehingga dharuriyyat adalah primer/kebutuhan utama, hak hidup, terbebas dari tindakan merugikan/menyakiti tubuh manusia, hak berfikir/beribadah.
Hajiyyat, sekunder, hak mengembangkan diri, hak berpindah tempat, dan tahsiniyyah yakni suplementer/kebutuhan pelengkap misalnya berakhlah mulia dalam hidup bermasyarakat, larangan melakukan tindakan diskriminatif ataupun kekerasan pada orang lain. Sedangkan non derogable rights; hak hidup, hak berfikir/beragama, hak sebagai subyek hukum, hak bebas dari penyiksaan/hukuman tidak manusiawi termasuk yang berlaku surut atau hutang-piutang, serta hak berpindah tempat.
RUU berpotensi melanggar hak-hak individu sebagaimana termuat di atas. Pertama, merujuk naskah akademik, RUU HALU menghalangi tiap orang berpindah tempat, beraktivitas/mengaktualisasikan dirinya di luar rumah, melarang bekerja sebagai tenaga kerja di luar negeri karena mengganggu ketahanan keluarga.
Ini melanggar non derogable rights dan hak hajiyyat berpindah tempat, mengaktualisasikan diri. Bekerja, bagian mempertahankan keberlangsungan hidup dan kesejahteraan keluarga, yakni ketahanan dari segi sandang, pangan, dan papan sebagai hak paling primer/dharuriyyat. Hijrahnya umat Islam dari Mekkah ke Madinah untuk kehidupan yang lebih baik.
Kedua, RUU menghendaki perempuan/isteri fokus di rumah mengurus suami, anak, mengelola harta (Pasal 25 ayat (3)). Pasal ini mengembalikan perempuan ke masa jahiliyah (kebodohan), ke titik nol, masa sebelum Islam hadir. Masa itu, perempuan bukan manusia utuh, menjadi barang warisan bila suaminya meninggal, pemuas seks laki-laki, kelahirannya dibenci, dikubur hidup-hidup (QS. an-Nahl:58-59, Q.S at-Takwir:8-9), berfungsi melahirkan anak, mengurus suami, bahkan ketika perempuan menstruasi, ia diungsikan, ketika melahirkan suaminya menikah lagi.
Kedatangan Islam merubah situasi tidak manusiawi itu. Kelahiran perempuan dirayakan dengan aqiqah, perempuan bukan barang warisan (Q.S an-Nisa’:19), bisa mendapatkan warisan/memberikan warisan (Q.S an-Nisaa’: 7,11-12, dan 176), serta dukungan Nabi Muhammad saw pada para sahabat perempuan untuk aktif di publik.
Misalnya Khansa binti Amru dan Khaulah binti Azwar al-Asadi yang pandai melantunkan syair, Aisyah binti Abu Bakar terbanyak meriwayatkan hadist dan melakukan koreksi hadist yang keliru, pakar hadist lainnya Muazah binti Abdullah al-Adawiah dan Qatilah binti Harits bin Kaldah.
Ada pula sahabat-sahabat yang turut berperang (Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Haram/Malikah binti Milhan bin Khalid al-Anshariah, Ummu Athiyah al-Anshariah), Syifa binti Abdullah al-Adawiah Al-Qurasyiah, pandai baca tulis berhitung, ditunjuk sebagai pemimpin pasar Madinah dengan skala perdagangan internasional. Bila Nabi SAW mendorong perempuan untuk maju, pantaskah kita sebagai umatnya tidak meneladani Nabi SAW?.
Ketiga, RUU menciptakan imunitas pelaku kekerasan seksual/KS dan menjauhkan korban dari rasa aman, hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Pasal 138 huruf (a), (b), bila orang tua menjadi terpidana dikenakan sanksi berupa penghentian sementara atau pencabutan hak asuh kepada anak.
Artinya RUU memiliki kekosongan pemidanaan, mengembalikan pelaku pada keluarga, seperti memberikan neraka dunia pada korban. Pelaku KS bisa kakek, ayah, paman, kakak, adik. Di Lampung, AG (18) menjadi korban perkosaan ayah, kakak dan adik laki-lakinya selama dua tahun. SP (56) di Kediri Jawa Timur memperkosa DR (16), putri kandungnya hingga hamil. SD (42) warga Alam Barajo, Jambi, memperkosa anak kandungnya sejak 2017–29 Januari 2020.
Pada kasus kekerasan seksual, trauma korban, luka fisik, psikis, dan seksual berlangsung lama. Itu sebabnya, UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga/PKDRT ada perintah perlindungan bagi korban (Pasal 10), termasuk misalnya perintah larangan pelaku mendekati korban dalam beberapa meter dan beberapa tahun. RUU sangat tidak berperspektif perlindungan korban, jauh dari tujuan maslahat. Islam—hadist Nabi SAW—memberikan ketegasan perlindungan pada korban.
Keempat, hampir semua pasal dalam RUU mengatur bagaimana orang tua mengasuh anak, meminta negara (pusat – daerah) turut campur dalam pembinaan keluarga (Pasal 14, 35, 38, 40, 46, dan 130). Sehingga berpotensi menafikan kebhinekaan yang majemuk.
Kelima, RUU tumpang tindih pada Undang-undang/UU yang sudah baik. Misalnya, definisi keluarga dalam RUU hanya mencangkup para pihak yang memiliki hubungan perkawinan atau darah (Pasal 1 ayat (1)). Definisi ini lebih sempit, bandingkan Pasal 2 UU PKDRT, anggota keluarga dalam rumah tangga tidak hanya suami, isteri, anak tetapi orang-orang yang punya hubungan darah, perkawinan, perwalian, persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga termasuk pekerja rumah tangga, sopir, tukang kebun.
Sehingga aneh, ide ketahanan keluarga tetapi melupakan anggota keluarga yang masuk dalam lingkup rumah tangga sebagaimana tercantum dalam UU 23/2004. Nabi saw menghormati khodim/PRTnya dan tidak pernah memukulnya.
Pasal 18 perjanjian perkawinan dalam RUU mengulang Pasal 29 UU 1/1974 tentang Perkawinan. Pasal 51 pencatatan akta kelahiran, sudah di Pasal 27 UU 24/2013 tentang Perlindungan Anak/PA, Pasal 33 Peraturan Presiden 96/2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk/Pencatatan Sipil.
Pengangkatan anak Pasal 117-119 RUU sudah ada UU PA, Pasal 12,13, dan 16 Peraturan Pemerintah/PP 54/2007 tentang Pelaksaan Pengangkatan Anak, UU 3/2006 tentang Pengadilan Agama dimana anak angkat tetap agama/kepercayaan awalnya tidak berubah serta SEMA 2/1979 jo SEMA 6/1983.
RUU Pasal 29 ayat 1 huruf a, b, c, d tentang cuti hamil dan menyusui, sudah diatur dalam Pasal 82 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Penyediaan waktu menyusui Pasal 83 UU 13/2003, fasilitas ibu menyusui di kantor, ruang publik, ada dalam Pasal 128 UU 36/2009 tentang Kesehatan, PP 33/2012 tentang Pemberian ASI Ekslusif, Permenkes 15/2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui, serta Peraturan Bersama Tiga Menteri 48/MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008, 1177/MENKES/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.
Artinya, RUU tidak diperlukan. RUU juga mendomestikasikan perempuan, menjadikan suami raja dan isteri pelayan. Nabi SAW adalah pemimpin negara dan umat tetapi di rumah sebagai suami, beliau menjahit terompahnya, menumbuk gandum, merawat anak-anak dan cucunya. Pernikahan seperti inilah yang sejatinya kita contoh.
Sebuah kemunduran Konstitusi Negara UUD 1945 bila negara masuk ke wilayah personal. Biarlah pembagian kerja domestik suami dan isteri dibagi mereka. Bila RUU tetap dipaksakan pembahasannya, negara mengabaikan maqashid syariah, melanggar Pasal 2,3,4 UU 7/1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Perempuan. []
*Tulisan pernah dimuat di Media Indonesia, 25 Februari 2020