Mubadalah.id – Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang berdiri sejak tahun 1917 Masehi. pendirinya adalah K.H Bisri Syansuri bersama istrinya Nyai Hj. Noor Khadijah. Melalui restu gurunya K.H Hasyim Asy’ari, berdirilah pesantren dengan jarak 2 km dari Jombang. Secara geografis, Desa Denanyar terletak di garis batas kota Jombang. Lokasi tersebut sangat strategis. Di sebelah utara merupakan sawah dan perkebunan subur yang memengaruhi kehidupan sosial masyarakat di sekitar pesantren.
Kiai Haji Bisri Syansuri, kakek Gus Dur dari ibu, adalah kiai yang pertama kali mengenalkan kelas putri ke dunia pesantren. Dalam proses pembelajaran, pesantren masih menerapkan sistem pemisahan laki-laki dan perempuan. Tidak hanya terjadi pada tingkat pembagian ruangan, namun termasuk keilmuan. Pada masa berdirinya santri laki-laki diberi kesempatan lebih leluasa untuk mengakses informasi ilmu, daripada santriwati.
Materi pendidikan pada awal berdirinya asrama putri, yang santriwati perempuan dapatkan tidak sepadat santri laki-laki. Santriwati mereka arahkan untuk menghafal Al-Qur’an dari pada menganalisis. Sedangkan santri laki-laki belajar ilmu alat seperti Nahwu, Sharf, Bahasa Arab, Mantiq, Balaghah, dll.
Santriwati lebih diarahkan keilmuan yang bersifat ubudiyyah seperti Fiqh dan Akhlak. Maka hal ini menunjukkan adanya pemisahan ruang gerak antara laki-laki perempuan di mana orientasi pemikiran perempuan diarahkan untuk berpikir di ranah domestik sementara laki-laki diarahkan urusan publik, sehingga terasah keilmuannya untuk bisa berpikir lebih logis dan kritis.
Banyak Terjadi Praktik Kekerasan
Pada masa sebelum ada sejarah pesantren putri, kondisi nilai moral sangat rendah, marak terjadinya praktik-praktik kekerasan misal sabung ayam, berjudi, dll. Kiai Bisri berniat mendirikan pesantren di desa tersebut sebagai pendekatan untuk mengubah pola hidup masyarakat. Hal itu menarik perhatian penduduk desa untuk belajar ilmu-ilmu agama dari beliau.
Berawal dari sebuah surau dengan hanya empat orang murid, kemudian berkembanglah pesantren tersebut. Pada tahun 1919 Kiai Bisri mendirikan kelas khusus santri putri yang pada masa itu belum lazim. Di sinilah cikal bakal pesantren putri di Indonesia khususnya Jawa. Sumber lain di buku profil sosok K.H Bisri Syansuri, perintisan pesantren putri berdiri ada tahun 1920.
Menurut pengakuan Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, “Santrinya adalah anak tetangga sekitar, yang diajar di beranda belakang rumah beliau. Langkah penting ini adalah percobaan pertama di lingkungan untuk memberikan Pendidikan sistematis kepada anak-anak perempuan muslim, setidaknya di Jawa Timur. Meski masih dianggap aneh pada masa itu, namun Kiai Bisri tetap menyelenggarakan pendidikan dan ngaji kitab untuk perempuan. Mendidik para kaum perempuan dengan kesempatan yang sama seperti para santri putra, nilainya sama membangun keluarga yang baik ke depannya.”
Hal senada juga almarhum Gus Dur ungkapkan dalam sebuah bukunya, bahwa pendirian pesantren putri ini sebagai wadah perempuan memiliki hak untuk mengenyam Pendidikan setara dengan kaum laki-laki. Gus Dur adalah cicit dari Kiai Bisri Syasuri dari jalur ibu. Ibunya adalah putri dari pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, yaitu Nyai Hajah Solihah Bisri.
Pesantren Berkembang dengan Sangat Baik
Dalam catatan lainnya yaitu oleh Kiai Haji Aziz Mayhuri menyebutkan, berkat kegigihannya memperjuangkan perempuan dalam Pendidikan pesantren, Kiai Bisri dan istrinya kemudian membuka Madrasah Diniyah khusus perempuan di tahun 1930. Pada masa itu, santriwati menggunakan seragam kebaya sebagai atasan, kemudian sarung atau jarit “sewek” sebagai bawahan, dan memakai kerudung penutup kepala.
Model berpakaian di kalangan santriwati tersebut mengacu pada kebiasaan berpakaian bu Nyai Hj. Chodijah, yang dipakai sebagai acuan para santriwati dalam melaksanakan Pendidikan di pesantren. Hal ini sebagai identitas bagi kaum perempuan di masa itu, dan kemudian menjadi ciri khas di kalangan pesantren.
Keberadaan pesantren putri, sangat berdampak pada kondisi sosial masyarakat pada masa itu. Para kaum hawa memahami pandangan tentang kemuliaan perempuan, harga dirinya, ajaran-ajaran Islam yang sangat memuliakan perempuan.
Dari sinilah sesungguhnya awal perjuangan emansipasi wanita di Indonesia. Perempuan-perempuan berkerudung dengan anggun dan semangat belajar ilmu agama, membaca kitab kuning, belajar ilmu alat dan memahami hakekat akan diri.
Perspektif komunitas pesantren mengenai keberhasilannya berkaitan dengan tujuan dan pengharapan dalam Pendidikan pesantren. Perspektif mereka mencerminkan kepercayaan yang mereka pegang serta mengartikulasikannya.
Menurut informan, ulama perempuan dapat kita katakan berhasil dalam meningkatkan mutu Pendidikan dari indikator output santri, manajemen dan kepemimpinannya, keamanan dan kedisiplinan. Indikator keberhasilan pesantren adalah output yang lebih baik.
Pesantren dan Lembaga Formal
Seiring berkembangnya waktu, Pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif memiliki Lembaga Pendidikan formal yang menyelenggarakan Ujian Nasional mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah, menengah pertama dan menengah atas. UNAS terselenggara setiap tahun pada akhir masa belajar di tiap tingkat sekolah mulai dasar sampai menengah. Meski terdapat perdebatan keras mengenai pentingnya Ujian Nasional dalam konteks otonomi daerah, otoritas Pendidikan tetap melaksanakannya.
Saat ini beragam institusi pendidikan yang tersedia di Pesantren Mamba’ul Ma’arif memiliki keunikan tersendiri. Memilik insititusi dasar, menengah dan institusi favorit yaitu MAPK. Selain itu, living cost di Jombang termasuk murah, dan transportasi umum mudah terjangkau. Menjadi daya tarik tersendiri bagi santri dan wali untuk mengenyam pendidikan di pesantren Jombang.
Indikator lain output santri yang lebih baik adalah banyaknya yang berhasil memasuki institusi Pendidikan ternama. Tampaknya terdapat konsensus di kalangan komunitas pesantren. Termasuk wali santri, bahwa keberhasilan pesantren dapat kita ukur dari indikator ini.
Pesantren yang memiliki Lembaga Pendidikan formal sudah selayaknya memfasilitasi dan mendukung lulusannya untuk memasuki ke jenjang perguruan tinggi. Misi dari pesantren yang di dalamnya ada Lembaga formal memberikan peluang bagi santrinya dapat mengenyam Pendidikan ke universitas.
Output santri tidak hanya terukur dari performa akademik, tetapi juga indikasi dari komitmen yang lebih kuat terhadap agama dan moralitas. Dengan nama lain budaya religiusitas santri selama di pesantren dan pada saat di tengah masyarakat. Iman berarti keyakinan atau kepercayaan, taqwa berarti kesalehan. Keseimbangan Imtaq dan Iptek adalah tujuan keberhasilan Pendidikan di pesantren.
Indikator Keberhasilan Pesantren
Ketua Yayasan juga menyebutkan indicator lain sebagai keberhasilan pesantren. Indikator ini mengacu pada kemampuan pesantren untuk mengadakan program-program ketrampilan kerja bagi para santri. Apabila mereka tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, maka pesantren menyediakan program-program ketrampilan tersebut.
Indikator ini sangat kontekstual mengingat pesantren adalah Lembaga Pendidikan tua di Indonesia. Terkenal dengan kemampuan mencetak alumninya dapat bertahan hidup dengan memiliki banyak ketrampilan. Prestasi santri non akademik tersebut sebagai kontribusi bagi pembekalan santri untuk memiliki output yang baik.
Pesantren memberikan fasilitas kegiatan ekstrakurikuler, olahraga, ketrampilan berupa kegiatan-kegiatan di luar jam Pendidikan formalnya. Turut andil dalam perlombaan baik tingkat local sampai nasional juga menjadi wadah kompetisi dalam mencetak karakter santri semisal Porseni.
Keberhasilan pesantren juga dapat terlihat pada saat mampu menjalankan praktik-praktik manajemen dengan baik. Manajemen yang dimaksud di sini adalah menyusun program-program yang terencana dengan baik dan mudah kita terapkan. Menciptakan kultur pesantren beserta strukturnya yang kolaboratif.
Output Santri
Keselamatan dan keamanan santri tidak hanya mengacu baik area pesantren juga dari lingkungan sekitar. Keberhasilan terbukti dengan santri yang krasan dan mengatakan pada orang tuanya bahwa lingkungan pesantren dianggap aman dan nyaman. Penting bagi seluruh anggota pesantren untuk mengikuti aturan kedisiplinan dan tata krama.
Dari paparan tersebut ada tiga aspek yang terindentifikasi; output santri yang lebih baik, manajemen pesantren dan kedisiplinan pesantren. Ketiga aspek tersebut dapat kita anggap sebagai tolok ukur dari harapan-harapan para konsumen Pendidikan yaitu wali santri dan santri. Pihak pesantren menyepakati bahwa keberhasilan pesantren terwujud apabila komponennya bekerja secara kohesif dan koheren oleh pimpinan ketua Yayasan di segala lini di pesantren.
Output santri juga mengimplikasikan kualitas kurikulum dan instruksi yang baik, yang diterapkan di pesantren, dengan kurikulum yang terintegrasi baik di Lembaga formal dan unit asrama. Koordinasi dan kerja sama antar komponen termasuk para stakeholder dapat mengindikasikan kualitas manajemen mutu pesantren tersebut. []