• Login
  • Register
Sabtu, 4 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Shadow in the Cloud: Perang, Gremlin, dan Perempuan yang Bukan-Bukan

Saat Maude berada di turret, saya bisa merasakan pesan kuat perjuangan perempuan. Tapi setelah ia berhasil keluar dari sana, adegan-adegan di luar nalar mulai bermunculan. Dan, pesan yang saya tangkap sebelumnya menjadi berhamburan.

Miftahul Huda Miftahul Huda
08/10/2021
in Film
0
Shadow in the Cloud

Shadow in the Cloud

67
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Fakta bahwa perempuan menjadi entitas paling tertindas pada zaman Perang Dunia I dan II adalah nyata adanya. Mulai dari menjadi budak, diperkosa, hingga menjadi tenaga kerja cadangan bergaji rendah di pabrik-pabrik selama laki-laki pergi berperang. Memang ada perempuan yang pergi berperang mengangkat senjata, namun dengan konsekuensi direndahkan martabatnya sebagai perempuan. Sebab, pada waktu itu bukan hal “lazim” bagi perempuan mengangkat senjata.

Alhasil, perang mengangkat senjata adalah perwujudan paling mutakhir maskulinitas. Pasca perang, subordinasi itu masih terus berlanjut meski mengalami beberapa perbaikan. Pasca itu, agenda politik feminis adalah memperbaiki citra perempuan melalui berbagai bidang, termasuk sinema/film. Misalnya film “Shadow in the Cloud” yang disutradarai oleh Roseanne Liang, yang berbicara perempuan dalam Perang Dunia II, mencoba memperbaiki citra perempuan.

Secara sederhana, film tersebut “cukup feminis” jika dilihat dari komposisinya. Yakni sutradara perempuan, tokoh utama perempuan serba bisa, dan tidak meninggalkan sisi estetik sinema. Namun pandangan sederhana itu terlalu dini untuk menganggap film tersebut masuk dalam agenda feminis.

Bagi Teresa de Lauretis dalam “Rethinking Women’s Cinema: Aesthetic and Feminism Theory”, sinema perempuan bukan sekadar film yang menampilkan tokoh utama perempuan atau yang dibuat perempuan. Melainkan, yang utama, membawa visi politik feminis untuk perubahan sosial, menyediakan horizon makna bagi spektatornya, serta tidak keluar dari konteks sosialnya.

Pandangan Lauretis tersebut adalah kritik terhadap sinema yang mengedepankan sisi sinematik dan mendukung patriarki Barat sebagai budaya dominan serta menjadi “master narrative”. Sebagai gantinya, film harus membebaskan diri dari kamera yang male-gaze, yang heteronormatif dengan gerak motorik kamera pada bentuk tubuh dan ketelanjangan perempuan untuk memuaskan hasrat salah satu jenis kelamin.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Teladan Umar bin Khattab Ra Saat Bertemu Perempuan Miskin
  • Merawat Optimisme Gerakan untuk Menghadapi Mitos Sisyphus
  • Pada Masa Nabi Saw, Para Perempuan Ikut Aktif Terlibat Dalam Politik
  • Hari Kanker Sedunia: Pentingnya Deteksi Dini untuk Cegah Kanker

Baca Juga:

Teladan Umar bin Khattab Ra Saat Bertemu Perempuan Miskin

Merawat Optimisme Gerakan untuk Menghadapi Mitos Sisyphus

Pada Masa Nabi Saw, Para Perempuan Ikut Aktif Terlibat Dalam Politik

Hari Kanker Sedunia: Pentingnya Deteksi Dini untuk Cegah Kanker

Ada beberapa catatan bagi film “Shadow in the Cloud”, terutama dalam menampilkan agenda feminis sekaligus saya sebagai spektator yang mengambil horizon makna di dalamnya.

Menyelamatkan Bayi dan Berperang

Maude Garet, seorang perempuan berpangkat Flight Officer yang diperankan oleh Chloë Grace Moretz, masuk ke pesawat perang Amerika bersama para kru yang semuanya laki-laki. Ia membawa sebuah kotak “rahasia” yang disebutnya sebagai pesan rahasia dari atasan. Karena itu rahasia, dan kerahasiaan itu dilindungi oleh hukum perang internasional, maka para kru laki-laki tidak mengusik lebih lanjut apa yang dibawa Maude.

Layaknya dunia maskulin dengan topping peperangan, suasana dalam pesawat tempur adalah tempat paling toksik sedunia. Tidak ada sedikitpun pujian bagi seorang perempuan sebagai Flight Officer. Setiap capaian dan kemampuannya diragukan, bahkan direndahkan martabatnya selama di dalam pesawat.

Scene harem layaknya perempuan Arab ada di sini, yaitu ketika Maude ditempatkan di turret, ruang bomber pesawat tempur yang hanya berkapasitas satu orang sekaligus sempit. Pemisahan itu sengaja dilakukan untuk memberi sekat mana yang berperang dan mana yang membawa sial. Selama di bawah sana, Maude mengkhawatirkan kotak rahasianya yang dijaga oleh para kru laki-laki, yang siap melanggar hukum perang internasional kapan saja.

Dalam keadaan terdesak dan terisolasi karena pintu turret rusak, tokoh Maude mulai menunjukkan berbagai talentanya. Misalnya ketika ia melihat pesawat tempur Jepang yang tidak dilihat oleh kru laki-laki, Maude mengendalikan turret untuk menembaki mereka tanpa persetujuan Kapten Reeves. Dan ajaibnya, ia berhasil menembak jatuh semua musuh.

Euforia para kru atas keberhasilan Maude tidak berlangsung lama setelah terdengar suara tangisan bayi yang berasal dari kotak rahasia. Dari situ, Maude mulai menceritakan dari dalam turret bahwa dia berencana membawa keluar bayinya dari Amerika. Tindakan itu dilakukan Maude setelah ia dianiaya suaminya karena ketahuan berselingkuh dengan Quaid (salah satu kru pesawat), dan hamil secara tidak sengaja.

Di sela-sela cerita itu, Maude melihat makhluk mitos dalam Perang Dunia II, yaitu Gremlin. Makhluk itu divisualkan sesuai dengan imajinasi para tentara, yakni merusak pesawat tempur dan kelistrikan. Kekhawatiran Maude semakin menjadi-jadi saat ia melihat Gremlin menemukan jalan masuk ke pesawat. Artinya, bayinya berada dalam kondisi yang lebih berbahaya dari sebelumnya.

Selanjutnya, Maude tidak lagi berhadapan dengan para laki-laki toksik. Melainkan menghadapi Gremlin yang berusaha mencuri bayinya. Ada nilai yang tersirat dari kehadiran Gremlin. Ia disimbolkan sebagai maskulinitas akut, dan Maude adalah sosok yang bisa melawannya. Bahkan, pesawat tempur Jepang yang meledak dan ratusan peluru yang melesat seperti musik pengiring pertarungan antara Maude dan Gremlin.

Teleportasi dan Hal-Hal Aneh Lainnya

Saya sebagai spektator bisa dengan mudah memahami agenda feminisme dalam film Shadow in the Cloud. Peran Maude membawa ingatan saya pada cover majalah MS. Magazine pada tahun 70an.

Cover bergambar perempuan yang memiliki delapan tangan dengan masing-masing tangan memegang bayi, alat-alat domestik dan kantor, adalah sebuah penegasan bahwa perempuan bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan Maude, perempuan yang bisa menyelesaikan semua masalah, bahkan melebihi laki-laki.

Namun saya tidak mau terburu-buru menganggapnya sebagai usaha memukul mundur patriarki.

Sekalipun Shadow in the Cloud adalah film, ia tetap tidak bisa seenaknya mengacak-acak nalar. Malah saya menangkap beberapa adegan dilebih-lebihkan untuk kepentingan “kehebatan perempuan”. Jika kembali kepada de Lauretis, kamera cukup melirik aktivitas kecil perempuan untuk memperbaiki citra perempuan.

Misalnya Aksi Maude yang bergelantungan di sayap pesawat untuk menyelamatkan bayinya, adalah super mengada-ada. Bagaimana mungkin manusia bisa bergelantungan di pesawat yang sedang terbang dengan kecepatan tinggi. Saya bisa menerima fantasi Gremlin, tapi tidak dengan aksi Maude yang bebas meloncat dari turret ke sayap pesawat.

Hal yang lebih gila, adalah tubuh Maude yang terjatuh dari pesawat. Saya yakin, sebagai tokoh utama tidak akan semudah itu mati. Tapi selamat dengan cara terlontar dari ledakan pesawat Jepang yang ada di bawahnya, lalu mengembalikan tubuh Maude ke pesawatnya melalui celah kecil adalah melawan fisika. Itu pesawat yang terbang, di udara, bukan berhenti di bandara!

The Fool’s Errand, tugas si bodoh. Akhirnya saya menangkap arti kata dengan gambar perempuan di pesawat tempur tersebut. Dengan berbagai aksi Maude, film ini ingin mengkonter slogan seksis tersebut. Puncaknya adalah adegan Maude berkelahi dengan Gremlin di daratan, sedangkan Quaid hanya diam saja seolah bukan tentara.

Meski adegan itu terasa perkasa, tapi sisipan adegan teleportasi “tak disengaja” Maude benar-benar merusak akal spektator. Alih-alih nampak kehebatan perempuan, justru malah terpeleset pada perempuan yang bukan-bukan. []

Tags: feminismeFilmPerangperempuanShadow in The Cloud
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Film Troll

Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

1 Februari 2023
Film Gangubai Kathiawadi

Film Gangubai Kathiawadi: Siapapun Bisa Menjadi Pembela Hak Perempuan

17 Januari 2023
Cek Toko Sebelah 2

Review Film Cek Toko Sebelah 2: Makna Hubungan Orangtua-Anak

12 Januari 2023
Relasi Mubadalah

3 Potret Relasi Mubadalah dalam Film Enola Holmes 2

26 Desember 2022
Film Dokumenter

Film Dokumenter Muda Buka Suara: Upaya Mendokumentasikan Rahim Alam Melalui Suara Marginal

22 Desember 2022
Peran Ibu

Pentingnya Peran Ibu dalam Membentuk Karakter Anak dalam Film Laal Singh Chadda

14 Desember 2022
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Miskin

    Teladan Umar bin Khattab Ra Saat Bertemu Perempuan Miskin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengembangan Industri Halal yang Ramah Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Optimisme Gerakan untuk Menghadapi Mitos Sisyphus

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Prinsip Mendidik Anak Ala Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lima Pilar Penyangga Dalam Kehidupan Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Teladan Umar bin Khattab Ra Saat Bertemu Perempuan Miskin
  • Merawat Optimisme Gerakan untuk Menghadapi Mitos Sisyphus
  • 5 Prinsip Mendidik Anak Ala Islam
  • Pengembangan Industri Halal yang Ramah Lingkungan
  • Pada Masa Nabi Saw, Para Perempuan Ikut Aktif Terlibat Dalam Politik

Komentar Terbaru

  • Indonesia Meloloskan Resolusi PBB tentang Perlindungan Pekerja Migran Perempuan - Mubadalah pada Dinamika RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang Tak Kunjung Disahkan
  • Lemahnya Gender Mainstreaming dalam Ekstremisme Kekerasan - Mubadalah pada Lebih Dekat Mengenal Ruby Kholifah
  • Jihad Santri di Era Revolusi Industri 4.0 - Mubadalah pada Kepedulian KH. Hasyim Asy’ari terhadap Pendidikan Perempuan
  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist