Mubadalah.id – Keadilan sering kali dipahami dengan kacamata pihak yang dominan. Ukuran adil atau tidaknya suatu kebijakan, keputusan, atau perlakuan kerap diukur berdasarkan standar kelompok yang kuat.
Padahal, menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., keadilan justru tidak boleh menjadikan pihak kuat dan dominan sebagai tolak ukur tunggal bagi pihak yang lemah dan rentan.
Lebih dari itu, keadilan harus lahir dari kesadaran bahwa setiap kelompok memiliki kondisi dan kebutuhan khas yang berbeda. Termasuk, orang miskin tidak bisa kita ukur dengan standar orang kaya, sebagaimana orang sehat tidak bisa kita jadikan patokan bagi orang sakit.
Bahkan anak-anak dan lansia, difabel, kelompok kulit hitam, maupun minoritas agama tidak dapat dipandang dengan kriteria kelompok mayoritas. Justru, kondisi khusus dari pihak-pihak ini perlu mendapat perhatian ekstra agar mereka benar-benar memperoleh keadilan sesuai kebutuhan mereka.
Selain itu, Dr. Nur Rofiah juga menekankan bahwa kelompok lemah dan rentan sendiri tidaklah tunggal. Ada spektrum kebutuhan dan kerentanan di dalamnya. Misalnya, kebutuhan kelompok bisu tidak bisa kita jadikan standar bagi kelompok buta. Masing-masing kelompok memiliki tantangan dan cara pandang hidup yang berbeda.
Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya untuk menerapkan perspektif keadilan hakiki yaitu bukan hanya sekadar kesetaraan, tetapi keberpihakan pada kondisi unik setiap individu dan kelompok. Terlebih dalam masyarakat yang beragam, keadilan harus mengakui bahwa standar keberagaman hanya akan menyingkirkan mereka kelompok yang rentan. []