Mubadalah.id – Fikih tentang relasi laki-laki dan perempuan yang dibangun atas asumsi bahwa perempuan adalah fitnah, sudah tidak layak lagi dipertahankan. Konsep ini lahir dari kondisi sosial yang penuh gejolak, kecurigaan, ketakutan, dan kewaspadaan kepada perempuan.
Dalam konteks semacam itu, kelompok yang dianggap lemah terutama perempuan kerapkali mendapatkan berbagai aturan atas nama perlindungan. Padahal, yang terjadi justru kontrol berlebihan terhadap perempuan, sementara laki-laki tetap merasa berhak mengatur.
Fikih fitnah juga mengukuhkan prasangka bahwa perempuan semata-mata adalah sumber masalah dan godaan. Dalam kesadaran kolektif masyarakat muslim (yang umumnya dipimpin laki-laki), tersimpan pikiran-pikiran bias yang memandang tubuh perempuan tidak lebih dari sekadar penggoda iman.
Akibatnya, setiap gerak dan aktivitas perempuan selalu dicurigai sebagai rayuan yang menyesatkan.
Dalam masyarakat yang lebih damai seperti saat ini, paradigma hukum Islam seharusnya bergeser. Kita memerlukan fikih amanah, bukan lagi fikih fitnah.
Sebab dalam masyarakat damai, hukum tidak berdasarkan pada rasa curiga atau takut satu sama lain. Melainkan pada moralitas tanggung jawab.
Bahkan, fikih amanah mengembangkan norma yang berpijak pada nilai-nilai tanggung jawab, kebersamaan, saling pengertian, dan penghargaan. Inilah fikih yang kita bangun di atas prinsip kemaslahatan bersama, keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan untuk semua.
Adil
Sebagaimana dalam pandangan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah bahwa persoalan relasi laki-laki dan perempuan, syariat Islam mestinya kita kembalikan pada tujuan utama yaitu menghadirkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak secara adil. Ini tentu bukan sekadar pragmatisme hukum, sebab prinsip kemaslahatan tetap merujuk pada dasar ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Dengan semangat itulah, sudah waktunya kita menghapus stigma perempuan sebagai fitnah atau penggoda. Termasuk hadis-hadis yang kerap orang-orang kutip untuk menjustifikasi anggapan ini sesungguhnya tidak memberi label negatif pada perempuan.
Bahkan jika kita teliti, Al-Qur’an menggunakan kata fitnah dalam hubungan yang timbal balik, bukan hanya menuding satu pihak.
Menjadikan perempuan semata-mata sebagai sumber fitnah hanya akan merusak sendi keadilan dan menghambat terwujudnya relasi sosial yang sehat. Karena itu, mari kita bangun fikih amanah, yaitu fikih yang memuliakan martabat manusia, laki-laki maupun perempuan, secara setara. []