Mubadalah.id – Dalam keberagaman yang menyusun wajah Indonesia—dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote—terpatri harapan besar akan kehidupan yang damai dan harmonis. Namun, realitas sering menunjukkan bahwa keberagaman ini, jika tidak terawat dengan kesadaran dan literasi yang bijak, dapat menjadi celah munculnya prasangka, intoleransi, bahkan konflik.
Di tengah tantangan tersebut, hadir sebuah pendekatan yang membawa harapan baru. Yaitu Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Diprakarsai oleh Institut Leimena, LKLB bukan sekadar program pendidikan, melainkan jalan sunyi menuju kedamaian yang terbangun di atas fondasi pemahaman lintas iman, penghargaan terhadap perbedaan, dan kolaborasi sosial. Melalui LKLB, suluk damai Indonesia kembali kita tapaki. Pelan, reflektif, dan penuh harapan.
Jalan Sunyi di Tengah Bisingnya Perbedaan
Indonesia sebagai bangsa yang teranugerahi keberagaman agama, budaya, dan suku bangsa, tidak hanya kaya secara identitas. Tetapi juga rentan terhadap potensi perpecahan.
Dalam konteks ini, jalan menuju kedamaian bukanlah sesuatu yang instan. Melainkan sebuah “suluk” — jalan spiritual yang menuntut ketekunan, kesadaran, dan kesungguhan. Suluk damai di negeri Bhineka bukanlah sekadar jargon, tetapi upaya nyata yang harus kita landasi dengan literasi—khususnya literasi keagamaan lintas budaya.
Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) hadir sebagai jawaban atas kebutuhan zaman. Program ini merupakan inisiatif strategis dari Institut Leimena, yang mengusung visi untuk memperkuat kehidupan beragama yang inklusif dan kolaboratif di tengah masyarakat majemuk.
LKLB memadukan pemahaman akan moral pribadi dan spiritualitas individu (kompetensi pribadi), dan pengenalan terhadap keyakinan orang lain secara setara (kompetensi komparatif). Selain itu kemampuan bekerja sama lintas iman (kompetensi kolaboratif).
Melalui berbagai program seperti webinar internasional, konferensi lintas agama, pelatihan daring, dan lokakarya hybrid, LKLB berupaya menanamkan nilai-nilai damai kepada para peserta. Mereka terdiri dari kalangan guru, dosen, mahasiswa, tokoh agama, dan pemangku kebijakan. Program ini bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi ruang dialog yang menghadirkan pemahaman mendalam tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan.
LKLB sebagai Medium Rekonsiliasi Sosial dan Pendidikan Perdamaian
Keunikan LKLB terletak pada pendekatannya yang tidak memaksa penyeragaman. Melainkan mengangkat perbedaan sebagai kekayaan untuk kita kaji, kita hargai, dan kita jadikan fondasi membangun masyarakat inklusif.
Dalam praktiknya, LKLB membekali peserta dengan kemampuan untuk memahami narasi keagamaan secara reflektif, sekaligus membangun empati terhadap umat beragama lain. Hal ini penting dalam konteks Indonesia yang sering kali terguncang oleh ujaran kebencian, intoleransi, dan stereotip keagamaan.
Salah satu agenda penting yang menandai langkah konkret LKLB adalah Webinar Internasional Seri LKLB dalam rangka Hari Melawan Ujaran Kebencian Sedunia. Kegiatan tersebut terselenggara atas kerja sama Kementerian Agama Republik Indonesia bersama Institut Leimena, Voice of Istiqlal, dan Nasaruddin Umar Office. Dengan tajuk “Menata Kata, Menebarkan Cinta”, acara ini menegaskan bahwa perubahan sosial kita mulai dari bahasa, narasi, dan cara kita membingkai perbedaan.
Selain itu, Institut Leimena juga mendorong integrasi LKLB ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi, bekerja sama dengan kementerian dan lembaga pendidikan.
Upaya ini merupakan langkah strategis untuk menyemai toleransi sejak usia dini. Bukan sekadar melalui ceramah normatif, tetapi lewat diskusi yang membuka ruang pertanyaan, refleksi, dan pemaknaan spiritual yang mendalam. Dengan pendekatan seperti ini, pendidikan tidak hanya melahirkan siswa cerdas, tetapi juga warga negara yang bertanggung jawab secara moral dan sosial.
Alumni dari berbagai angkatan pelatihan LKLB menjadi agen perubahan di daerah masing-masing. Mereka membagikan praktik baik dalam menyampaikan materi keagamaan dengan pendekatan lintas iman, memfasilitasi ruang diskusi antaragama, hingga mendorong sekolah atau komunitas mereka untuk mengembangkan “literasi damai” secara berkelanjutan.
Menuju Ekosistem Damai: Peran Kolaboratif Semua
Suluk damai tidak bisa kita tapaki sendirian. Peran LKLB yang sudah terbangun selama ini adalah contoh nyata pentingnya kerja kolaboratif antar-institusi, baik dari pemerintah, masyarakat sipil, tokoh agama, akademisi, maupun media.
Program-program LKLB tidak berdiri sendiri, tetapi lahir dari kemitraan kuat lintas sektor dan internasional, termasuk dukungan dari Templeton Religion Trust, serta berbagai organisasi agama dan lembaga pendidikan di dalam maupun luar negeri.
Melalui Digital Library LKLB, publik juga bisa mengakses sumber-sumber pembelajaran yang memperkaya pemahaman lintas budaya dan lintas iman. Ini adalah bentuk komitmen untuk membangun ekosistem damai yang tidak eksklusif. Melainkan terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja yang ingin belajar tentang kerukunan.
Tantangan ke depan adalah bagaimana LKLB tidak hanya menjadi gerakan sesaat atau terbatas pada peserta pelatihan. Tetapi menjadi bagian dari kebijakan publik dan budaya kelembagaan. Untuk itu, penting kiranya memperluas jaringan alumni, dan memperkuat kurikulum berbasis toleransi. Selain itu mengembangkan metode asesmen yang dapat mengukur transformasi nilai dalam diri peserta didik.
Akhirnya, suluk damai di negeri Bhineka adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran dan komitmen bersama. LKLB bukan hanya sebuah program pelatihan, tetapi gerakan literasi spiritual dan sosial untuk membangun peradaban damai di tengah keberagaman.
Dari ruang kelas hingga ruang publik, dari webinar hingga kebijakan pendidikan, LKLB menyalakan lentera harapan. Bahwa damai bukan utopia, melainkan cita-cita yang bisa diraih lewat literasi, dialog, dan cinta. []