• Login
  • Register
Minggu, 6 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

The Second Sex : Menjabarkan Alienasi Betina (Part II)

Mariana Amiinudin Mariana Amiinudin
25/08/2020
in Buku, Figur, Personal
0
gangguan kesehatan mental
120
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Klaim Soal Menstruasi dan Alienasi

Beauvoir kemudian mengurai soal perkembangan laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki perkembangannya lebih sederhana dimana dimasa remaja mengalami spermatogenesis dan berlanjut sampai tua dengan hormone-hormon yang diproduksi membentuk tubuh yang maskulin dan proses ini disebut Beauvoir sebagai ia adalah tubuhnya (laki-laki memiliki tubuhnya).

Sementara kisah perkembangan perempuan jauh lebih rumit. Mari kita eksplore soal indung telur terlebih dahulu.
Indung telur berisi sekitar 40.000 telur yang belum matang, yang barangkali hanya 400-an yang akan mencapai kematangannya. Saat perempuan mengalami pubertas, sistem genitalnya tak berubah, tetapi spesiesnya menegaskan klaimnya. Akibat dari sel telur, indung telurnya menerima darah lebih banyak dan tumbuh lebih besar, ovulasi terjadi dan masa menstruasi pun dimulai; tubuh menjadi feminine, dan tercipta keseimbangan kelenjar endokrinnya. Keseluruhan peristiwa perkembangan ini memiliki aspek krisis.

Bahwa pada periode perempuan mulai puberitas sampai monopouse, De Beauvoir menggambarkannya sebagai sebuah panggung permainan yang terbentang, dimana di dalam dirinya (perempuan) tidak terlalu diperhatikan secara personal. Proses yang rumit pada perempuan ini, yang detilnya menurut Beauvoir masih misterius, melibatkan keseluruhan organisme perempuan, karena ada berbagai reaksi hormonal antara indung telur dan organ-organ kelenjar lainnya, seperti kelenjar di bawah otak, kelenjar gondok, dan adrenal, yang mempengaruhi sistem syaraf pusat, sistem saraf simpatetik dan berakibat pada organ-organ besar tubuh lainnya.

Dampaknya, (seperti yang sering terjadi pada saya, dan bahkan perempuan lainnya) tekanan darah menjadi meningkat, denyut nadi dan temperature meningkat, demam bisa terjadi, perut terasa sakit, cenderung sembelit yang diikuti diare, membengkaknya hati, dan albuminuria bahkan ada yang kesulitan mendengar dan melihat. Darah merah menurun. Darah yang berisi garam kalsium, zat-zat penting yang menumpang di situ, yang mempengaruhi kelenjar-kelenjar penting.

Baca Juga:

Bekerja itu Ibadah

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

Jangan Malu Bekerja

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

Ketidakstabilan kelenjar ini berakibat ketidakstabilan saraf yang berat. Sistem simpatetik menjadi berlebihan, kontrol bawah sadar melalui sistem pusat berkurang, menjadi lebih emosional, nervous, gampang marah, bahkan gangguan psikis yang serius. Perempuan, seperti halnya laki-laki, adalah tubuhnya, namun, tubuhnya adalah sesuatu yang lain dari dirinya sendiri.

Itu baru soal menstruasi. Pengalaman kehamilan lebih rumit lagi. Kehamilan adalah tugas melelahkan yang tidak memberikan keuntungan individual perempuan, melainkan menuntut adanya pengorbanan yang sangat besar. Fosfor, kalsium, zat besi hilang. Melahirkan itu sendiri menyakitkan dan berbahaya. Inilah krisis hidup fase berat yang dialami perempuan. Sebagai bukti paling nyata bahwa tubuh tidak selalu bekerja untuk kebaikan spesies dan individual sekaligus, ditempatkan pada beberapa risiko yang dilematis, yaitu janin yang mati, atau ibu yang mati, atau keduanya mati.

Ada hal lainnya pada masa kehamilan yaitu soal hormone prolactin, pelepasan susu di kelenjar payudara, rasa nyeri dan sering membuat demam. Bayangkan, ibu menyusui bayi berasal dari vitalitasnya sendiri. Tubuh secara feminin menjadi lemah, karena perempuan memiliki elemen tubuh yang antagonistic, yaitu spesies (janin) yang menggerogoti organ vital mereka. Penyakit yang bukan disebabkan oleh infeksi dari luar melainkan ketidakmampuan menyesuaikan diri internal (yang disebut peranakan).

Kelihatannya, laki-laki tampak lebih diuntungkan… kehidupan seksualnya tidak bertentangan dengan eksistensi peribadinya, dan secara biologis hal itu berjalan datar saja tanpa krisis, tanpa risiko. Fakta-fakta biologi adalah memahami dan mencari jawaban atas berbagai pertanyaan tentang perempuan, terutama menganggap perempuan menjadi “sosok yang lain”; dan membuat perempuan menjadi terpuruk, tersubordinat selamanya. Ini baru pertanyaan dasar Simone de Beauvoir, sebelum sampai pada soal antropologi, sejarah, mitologi, psikoanalisa, sampai mistisisme.

Adalah (Bukan) Takdir

Pada bagian kedua buku The Second Sex dalam bab tentang Takdir, Beauvoir memperhatikan bahwa kondisi perempuan bukan semata-mata biologinya, melainkan seluruh pengalamannya. Perempuan adalah seorang perempuan pada tingkatan ketika ia merasakan dirinya yang nyata dan memiliki pengalaman. Ia mengatakan, bukan alam yang mendefinisikan perempuan, tetapi dirinya sendiri, dengan mengaitkan alam dan lingkungan atas dasar pertimbangannya sendiri, dalam kehidupan emosionalnya.

Pada bagian psikoanalisis ini Beauvoir mengkritik Freud dan sintesis dari Adler serta para psikoanalis lainnya yang menjadi Freudian dan Adlerian. Freud mengatakan anatomy is destiny (anatomi adalah takdir) – ia menegaskan, Freud tidak pernah peduli dengan takdir perempuan (anatomi perempuan). Freud mengadaptasi pendapatnya terhadap takdir perempuan dari sudut pandang takdir laki-laki, dengan sedikit modifikasi.

Freud memang tidak se-ekstrim seksolog Maranon yang mengatakan “libido merupakan kekuatan dari sifat jantan, hal yang sama mengenai orgasme”, dan menyebut perempuan yang mencapai orgasme berarti adalah perempuan yang kejantan-jantanan, dan perempuan hanya menempuh setengah jalan dalam mencapainya. Freud memang tidak seperti Maranon seksolog itu, ia menganggap hasrat seksual laki-laki dan perempuan sama, tetapi sayangnya Freud tidak pernah mempelajari kesamaan itu secara khusus.

Freud ambigu, ia tetap mengatakan “lelaki adalah pemilik libido”, meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama memilikinya. Freud tidak mengakui adanya libido feminin dengan sifat alaminya, sebab menurutnya tampak menyimpang dari libido manusia secara umum. (bersambung)

Mariana Amiinudin

Mariana Amiinudin

Terkait Posts

Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Gerakan KUPI

    Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bekerja itu Ibadah
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi
  • Jangan Malu Bekerja
  • Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID