Mubadalah.id – Hampir semua umat Islam kenal dan meyakini bahwa Islam adalah agama akhlak mulia. Risalah yang dibawa Nabi Muhammad Saw, sebagaimana sering tersampaikan dalam berbagai ceramah para ulama, adalah untuk “menyempurnakan akhlak mulia”. Akhlak, seperti dalam pernyataan Abdullah bin Mubarak (w. 181 H), dalam Sunan Turmudzi (no. hadits: 2136), adalah soal relasi dengan orang lain, yang memberi kenyamanan (basth al-wajh), menghadirkan kebaikan (badz al-ma’ruf), dan menahan diri dari segala tindak keburukan (kaff al-adza).
Ajaran seperti ini sudah sering kita dengar dan banyak yang mengetahuinya. Tetapi bagaimana akhlak mulia dalam rumah tangga dan keluarga bisa berlaku? Mungkin masih banyak yang belum mengenal. Terutama dalam hubungan antara suami dan istri. Begitupun, sepertinya, masih banyak juga yang belum membaca akhlak mulia Rasulullah Saw dalam relasi rumah tangga. Rasulullah Saw sebagai suami, ayah, maupun kakek. Karena selama ini, yang lebih banyak menceritakan kisah-kisah relasi sosial yang lebih luas.
Selama ini, seringkali, narasi tentang Nabi Muhammad Saw adalah lebih banyak tentang heroisme dalam memperjuangkan dakwah dan kemuliaan relasi sosial dalam masyarakat. Sementara keteladanan Nabi Saw dalam relasi pasutri maupun keluarga dan rumah tangga masih jarang kita ajarkan.
Fikih dan Dakwah Perkawinan dalam Islam
Pembicaraan fikih dan dakwah mengenai perkawinan dalam Islam, juga, lebih banyak tentang nikah sebagai media penghalalan hubungan seksual. Kewajiban suami untuk memberi nafkah dan hak istri atasnya di satu sisi, dan di sisi lain mengenai kewajiban istri untuk taat dan hak suami atas dirinya dalam segala situasi.
Teks hadits yang amat populer adalah tentang anjuran menikah: “Ya ma’syarasy-syabaab”. Yaitu pernyataan Nabi Saw yang menganjurkan para pemuda yang mampu menikah untuk segera menikah. Jika tidak mampu, kata Nabi Saw, maka para pemuda itu diminta untuk berpuasa, agar bisa mengendalikan diri dari nafsu syahwat (Lihat: Sahih al-Bukhari, no. hadits: 5120).
Hadits ini menjadi sumber motivasi para penceramah untuk mendorong anak-anak muda segera menikah. Definisi kemampuan (al-ba’ah) yang teks hadits sebutkan ini artinya sebagai kemampuan fisik untuk bersetubuh. Atau paling jauh: untuk memberi nafkah. Sementara kesiapan mental spiritual, atau karakter akhlak mulia yang menjadi pondasi relasi pasutri sama sekali tidak menjadi pembicaraan sebagai bagian dari konsep kemampuan menikah (al-ba’ah).
Teks hadits ini lebih banyak ditujukan tentang kesiapan dan kemampuan laki-laki sebagai calon suami. Sementara kesiapan dan kemampuan perempuan sebagai calon istri juga seringkali absen dari pembicaraan. Perempuan menjadi objek yang dinikahi tanpa kita telusuri kesiapan dan kemampuannya, sebagaimana substansi dari teks hadits tersebut.
Pemaksaan Pernikahan
Bahkan, dalam beberapa kasus, izin dan persetujuan perempuan sama sekali tidak kita perhitungkan. Sehingga mereka sering dinikahkan orang tua mereka, tanpa pemberitahuan kepada mereka. Bahkan secara paksa tanpa persetujuan mereka sama sekali. Suatu praktik yang sesungguhnya menyalahi ajaran Nabi Muhammad Saw.
أَنَّ رَجُلًا، زَوَّجَ ابْنَةً لَهُ وَهِيَ كَارِهَةٌ، فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ- وَذَكَرَ كَلِمَةً مَعْنَاهَا- أَبِي زَوَّجَنِي رَجُلًا، وَأَنَا كَارِهَةٌ وَقَدْ خَطَبَنِي ابْنُ عَمٍّ لِي، فَقَالَ: «لَا نِكَاحَ لَهُ انْكِحِي مَنْ شِئْتِ»
Ada seorang pria menikahkan anak perempuannya, padahal anak perempuannya itu tidak suka. Lalu anak perempuan itu mendatangi Nabi dan mengadu: Ayahku menikahkan aku dengan seorang pria, padahal aku tidak suka, dan saat itu sebenarnya sepupuku sudah melamarku. Nabi Saw bersabda kepadanya: Tidak ada (hak) baginya (ayahmu untuk menentukan) pernikahan (mu) itu, silahkan menikahlah dengan siapa pun yang kamu inginkan.” (Sunan an-Nasâ’i al-Kubrâ, No. 5359, j. 5, hlm. 174).
Praktik pemaksaan pernikahan pada perempuan, termasuk anggapan tidak pentingnya persetujuan perempuan, di antaranya karena memaknai kata al-ba’ah dalam hadits Bukhari sebagai kesiapan dan kemampuan laki-laki semata, yang seringkali bersifat fisik dan material. Tanpa memasukkan kesiapan moral spiritual dan akhlak mulia, terutama yang terkait dengan relasi pasutri. Padahal, pernyataan Nabi Saw sangat jelas mengenai pentingnya pertimbangan akhlak calon mempelai, terutama laki-laki sebagai calon suami.
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian restui akhlak dan agamanya, maka, nikahkanlah dirinya. Jika tidak, akan timbul fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas” (Sunan Ibn Majah, no. hadits: 2043).
Akhlak Mulia dalam Rumah Tangga
Teks hadits ini juga cukup populer dalam narasi motivasi untuk menikah. Sayangnya, pertimbangan akhlak yang secara jelas disebutkan dalam teks hadits, seringkali tidak disinggung dan kita bicarakan secara memadai. Para pengguna teks hadits ini lebih banyak tertuju pada pentingnya segera menikah agar tidak ada kerusakan dan keburukan. Pertimbangan mengenai akhlak, dan kesiapan pasutri dengan karakter akhlak yang memadai untuk kehidupan rumah tangga mereka, sedikit, bahkan tidak menjadi pembicaraan sama sekali.
Narasi keagamaan tanpa pertimbangan akhlak mulia, mengenai pernikahan dan rumah tangga ini, membuat banyak pasangan suami istri yang tidak peduli dengan persiapan mental dan karakter diri untuk membangun rumah tangga. Tidak peduli juga tentang akhlak apa dan bagaimana dalam membina rumah tangga, bagaimana mengenali diri dan pasangan, bagaimana mengelola konflik rumah tangga, bagaimana menghiasai kehidupan pasutri dan keluarga dengan praktik-praktik akhlak mulia yang menguatkan relasi.
Perhatian utama narasi seperti ini, lebih banyak, hanya fokus pada nafkah lahir yang bersifat material, dan nafkah batin yang seringkali kita artikan sebagai pemenuhan kebutuhan seksual.
Padahal, pasutri, keluarga, dan rumah tangga adalah medan utama dalam mempraktikkan akhlak mulia yang menjadi risalah Islam dan teladan Nabi Muhammad Saw. Ada banyak teks hadits yang menegaskan hal ini. Di antara yang jelas pesannya adalah berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِكُمْ.
Dari Abu Hurairah Ra. berkata: bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Keimanan yang paling sempurna di antara orang-orang yang beriman adalah dia yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik perilaku terhadap istri kalian.” (Musnad Ahmad, no. 10247).
Inti Ajaran Islam adalah Akhlak Mulia
Riwayat lain, yang serupa, bisa kita temukan di Sunan Turmudzi (no. Hadits: 4269) dan Sunan Ibnu Majah (no. Hadits: 2053). Pesan teks-teks hadits seperti ini adalah tentang pentingnya laki-laki memiliki akhlak mulia dengan berbuat yang terbaik pada keluarganya. Tentu saja, secara mubādalah, atau kesalingan, adalah tentang berbuat baik terhadap keluarga sebagai praktik akhlak seseorang dalam Islam. Baik laki-laki maupun perempuan.
Teks-teks ini menuntut laki-laki agar berbuat yang terbaik kepada istrinya, anak-anaknya, orang tua dan mertuanya, serta saudara-saudaranya. Ia juga meminta setiap perempuan agar berlaku baik kepada suaminya, anak-anaknya, orang tua dan mertuanya, serta saudara-saudaranya.
Sebab, inti ajaran Islam adalah akhlak mulia dengan berperilaku baik kepada diri dan orang lain. Bahkan, dalam sebuah hadits ditegaskan, bahwa majlis Rasulullah Saw adalah perkumpulan orang-orang yang berakhlak mulia. Yang paling dekat dengan Rasul Saw adalah yang terbaik akhlaknya. Yang paling jauh adalah yang paling buruk akhlaknya (Sunan Turmudzi, no. hadits: 2150). Tentu saja, termasuk akhlak mulia yang harus kita praktikkan setiap umat Islam dalam berkeluarga dan kehidupan rumah tangga. Wallahu a’lam. []