Senin, 20 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

    Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

    Jurnalis Santri

    Sambut Hari Santri Nasional 2025, Majlis Ta’lim Alhidayah Gelar Pelatihan Jurnalistik Dasar untuk Para Santri

    Thufan al-Aqsha

    Dua Tahun Thufan al-Aqsha: Gema Perlawanan dari Jantung Luka Kemanusiaan

    Daisaku Ikeda

    Dialog Kemanusiaan Gus Dur & Daisaku Ikeda, Inaya Wahid Tekankan Relasi Lintas Batas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Trans7

    Merespon Trans7 dengan Elegan

    Banjir informasi

    Antara Banjir Informasi, Boikot Stasiun Televisi, dan Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

    Feodalisme di Pesantren

    Membaca Ulang Narasi Feodalisme di Pesantren: Pesan untuk Trans7

    Membaca Buku

    Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

    Suhu Panas yang Tinggi

    Ketika Bumi Tak Lagi Sejuk: Seruan Iman di Tengah Suhu Panas yang Tinggi

    Sopan Santun

    Sikap Tubuh Merunduk Di Hadapan Kiai: Etika Sopan Santun atau Feodal?

    Aksi Demonstrasi

    Dari Stigma Nakal hingga Doxing: Kerentanan Berlapis yang Dihadapi Perempuan Saat Aksi Demonstrasi

    Pembangunan Pesantren

    Arsitek Sunyi Pembangunan Pesantren

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

    Fitrah Anak

    Memahami Fitrah Anak

    Pengasuhan Anak

    5 Pilar Pengasuhan Anak

    Pengasuhan Anak

    Pengasuhan Anak adalah Amanah Bersama, Bukan Tanggung Jawab Ibu Semata

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

    Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

    Jurnalis Santri

    Sambut Hari Santri Nasional 2025, Majlis Ta’lim Alhidayah Gelar Pelatihan Jurnalistik Dasar untuk Para Santri

    Thufan al-Aqsha

    Dua Tahun Thufan al-Aqsha: Gema Perlawanan dari Jantung Luka Kemanusiaan

    Daisaku Ikeda

    Dialog Kemanusiaan Gus Dur & Daisaku Ikeda, Inaya Wahid Tekankan Relasi Lintas Batas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Trans7

    Merespon Trans7 dengan Elegan

    Banjir informasi

    Antara Banjir Informasi, Boikot Stasiun Televisi, dan Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

    Feodalisme di Pesantren

    Membaca Ulang Narasi Feodalisme di Pesantren: Pesan untuk Trans7

    Membaca Buku

    Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

    Suhu Panas yang Tinggi

    Ketika Bumi Tak Lagi Sejuk: Seruan Iman di Tengah Suhu Panas yang Tinggi

    Sopan Santun

    Sikap Tubuh Merunduk Di Hadapan Kiai: Etika Sopan Santun atau Feodal?

    Aksi Demonstrasi

    Dari Stigma Nakal hingga Doxing: Kerentanan Berlapis yang Dihadapi Perempuan Saat Aksi Demonstrasi

    Pembangunan Pesantren

    Arsitek Sunyi Pembangunan Pesantren

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

    Fitrah Anak

    Memahami Fitrah Anak

    Pengasuhan Anak

    5 Pilar Pengasuhan Anak

    Pengasuhan Anak

    Pengasuhan Anak adalah Amanah Bersama, Bukan Tanggung Jawab Ibu Semata

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Toleransi Butuh Pendakwah Agama dengan Pendekatan Ganda; Rasional dan Emosional

Pendek kata, kita saat ini berada pada titik urgensitas yang cukup tinggi untuk menanamkan toleransi, utamanya kepada para mubaligh dan tokoh agama terlebih dahulu. Sebab, sangat tidak etis jika sikap intoleransi muncul dari lisan dan tingkah polah mereka

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
6 Desember 2022
in Publik, Rekomendasi
0
Dakwah Agama

Dakwah Agama

241
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Apa jadinya agama ini bila para pemeluknya, terutama para pendakwah agama, hanya menanam dan menanamkan paham dengan emosional, tentu semua titah dan sabda agama menjadi sakral. Kita harus manggut-manggut menyikapi apa saja yang dipercaya keluar dari tubuhnya. Padahal, bisa jadi bersumber dari tubuh lain yang hanya menumpang bahu agama. Artinya, sebuah kekacauan besar akan terjadi. Agama yang suci sedang ditunggangi berbagai kepentingan.

Demikian tak kalah kacau jika kita menanam dan menanamkan pemahaman dengan dakwah agama secara rasional semata. Karena tidak semua mampu dijangkau logika dengan utuh. Isra-Miraj misalnya. di sana butuh peran iman untuk membuka pintu kejadian luar biasa tersebut. Setidaknya, meyakini ada makhluk bernama Buraq dengan segenap kecepatannya-yang tidak pernah dilihat dan didengar dalam cerita-sebagai transportasi Nabi ke Sidratulmuntaha.

Tulisan ini, terinspirasi oleh catatan guru saya, kiai Muhammad Rizqil Azizi di akun Facebook-nya dengan judul ‘Dakwah Rasional dan Emosional’ dan dimuat di sebuah media onlina, Aswaja Dewata dengan judul yang sama. Di awal tulisan, dosen Ma’had Aly Situbondo itu mengutip buku Islam Aktual karya Jalaluddin Rahmat, bahwa saat ini para mubalig dengan pendekatan dakwah agama yang emosional, kerap mengabaikan porsi rasional sudah kian menjamur. Tak terbendung lagi banyaknya, baik di kota apalagi di pelosok-pelosok desa. Tentu, dampaknya cukup besar.

Kendatipun pendekatan dakwah agama yang emosional lebih hangat di masyarakat, serta lebih cepat meningkatkan gairah beragama mereka, tetapi metode dakwah agama ini menancapkan akar yang lemah. Nilai keberagamaan umat sangat mudah rapuh saat diterpa berbagai gelombang besar. Seperti isu-isu toleransi, keragaman budaya, tali kelindan antara budaya dan agama, dan seterusnya. Sehingga, wajar kiranya banjir sikap intoleransi di mana-mana.

Karena itu, untuk mengejawantahkan toleransi, para pendakwah agama kita perlu menggawangi keduanya, sisi emosional dan rasional. Sebab, dakwah agama yang rasional ini selain memuaskan nalar, juga bertujuan membentengi umat dari logika-logika yang menyesatkan.

Dalam teks-teks agama, kita diajarkan untuk menyandingkan kedua pendekatan tersebut. Karena itu, Allah tidak hanya menyeru hamba-Nya dengan la’allakum tattaqun (agar kalian bertakwa), melainkan juga dengan seruan afala tatafakkarun (apakah kalian tidak berpikir?), la’allakum tatafakkarun (agar kalian berpikir), afala ta’qilun (apakah kamu tidak mengerti?), la’allakum ta’qilun (agar kalian mengerti), dan redaksi lain yang terkait dengan akal budi.

Gampangnya, kita sedang dididik agar tidak menomorsatukan wahyu dan menomorseratuskan akal. Melainkan membuatnya berdampingan. Guru kami di Ma’had Aly Situbondo, KH Afifuddin Muhajir dalam buku Membangun Nalar Islam Moderat (hal. 10) menulis sebuah sub pembahasan yang berjudul Sumber Kebenaran antara Akal dan Wahyu.

Di sana, Rois Syuriah PBNU itu menegaskan bahwa akal dan wahyu memiliki peranan penting dalam Islam secara komplementer. Ia mengutip sebuah statement dalam al-I’tisham (juz 2, hal. 840) karya Abu Ishaq as-Syathibi (w. 790 H) yang berbunyi:

إجعل الشرع في يمينك والعقل في يسارك

“Letakkanlah syariat di tangan kananmu dan akal di tangan kirimu”.

Tak bisa dipungkiri, bahwa kita dihadapkan dengan tiga spektrum intelektual yang amat dahsyat. Yaitu paham tekstualisme (ahl an-naql), paham rasionalisme (ahl al-‘aql), dan paham intuisionisme (ahl ad-dzauq). Dan, kita berada pada paham moderatisme (ahl al-wasath) yang memadukan peran wahyu, akal, dan intuisi dalam beragama.

Saya meyakini, tragedi pembakaran masjid dan beberapa unit mobil milik salah seorang tokoh Salafi di Lombok Timur, NTB beberapa waktu lalu, tiada lain akibat ekspresi beragama masyarakat kita yang terlalu lama dicekoki oleh dakwah-dakwah agama dengan pendekatan emosional.

Baik dari pihak korban maupun pelaku yang emosinya tersulut oleh sikap intoleransi tokoh Salafi tersebut. Alhasil, sikap intoleransi itu muncul karena miskin pemahaman dakwah agama, serta kesadaran akan perbedaan dan keragaman yang ada. Dan, inilah kemiskinan terburuk.

Kemiskinan semacam ini bisa jadi lahir dari egoisme dan fanatisme. Dua faktor yang dapat membutakan siapa saja bagi yang memilikinya. Atau, mungkin juga lahir dari kabut tebal kebodohan yang menutupi hati dan pikiran umat. Masih ingatkah nama Abdurrahman bin Muljam? Seorang sahabat yang berbeda haluan politik dengan sang khalifah keempat, sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Dari sanalah muncul sikap-sikap beragama yang eksklusif dan ekstrem dari seorang Ibnu Muljam. Sampai pada akhirnya, ia dengan hati dingin membunuh Sayidina Ali dengan pedang beracun saat sang khalifah di tengah sujud subuhnya.

Hal yang penting digarisbawahi dari sosok Abdurrahman bin Muljam, bahwa ia bukan orang biasa, melainkan seorang ahli fikih (faqih), ahli ibadah, penghafal juga pengajar al-Qur’an. Tetapi, itu semua tidak menjamin sikap beragama yang merepresentasikan akhlak al-Qur’an. Ajaran-ajaran al-Qur’an yang dihafalnya itu tertutupi oleh fanatisme golongan Khawarij yang dianutnya. Sebab itu, imam Ali pun harus merasakan hangat darahnya di waktu subuh yang dingin.

Sikap fanatisme lainnya juga pernah dialami oleh Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H), saat hijrahnya yang terakhir kali dari negeri Bagdad ke Mesir. Di mana, waktu itu Mesir dipadati oleh dua corong besar fikih; (1) Mazhab Maliki, dan (2) Mazhab Hanafi. Dalam biografi singkat as-Syafi’i yang ditulis oleh tim Percetakan Dar al-Fikr di kitab ar-Risalah, pada lembaran awalnya (hal. 5), sedikit bercerita bagaimana kondisi masyarakat Mesir pasca kehadiran imam Syafi’i di sana.

Singkat cerita, di Mesir, imam Muhammad bin Idris membuka sebuah majelis kajian, dan menyebarkan paham atau mazhab barunya (qoul jadid) melalui majelis tersebut. Hari demi hari, seiring berjalan waktu, majelis tersebut semakin sesak oleh masyarakat dari berbagai daerah di sana. Terutama dari kalangan penganut mazhab Maliki dan Hanafi.

Goncangan besar intelektual as-Syafi’i rupanya mampu mengaduk-aduk hati mereka. Sehingga, banyak pakar fikih dari golongan mereka banting setir menuju Mazhab Syafi’i. Para penggawa mazhab lain pun ketar-ketir, terutama dari kalangan Maliki. Sampai-sampai, mereka berani mengumumkan ‘permusuhan’ (munashabatul ‘ada’) kepada imam Syafi’i sendiri.

Tak heran bila salah seorang promotor mazhab Maliki bernama syekh Asyhab bin Abdil Aziz sampai memanjatkan doa buruk untuk imam Syafi’i. Dan, itu tidak tanggung-tanggung. Ia berdoa sangat serius dalam sujudnya. Ia memohon:

اللهم أمت الشافعي وإلّا مات علم مالك

“Ya Allah, cabutlah nyawa as-Syafi’i, jika tidak, pastilah ilmu (guru kami) imam Malik akan musnah tak tersisa.”

Secara logika normal, pantaskah seorang imam besar, pengemban agama Tuhan yang penuh kasih-sayang ini, mendoakan celaka kepada sesama? Tiada alasan untuk menyebutnya pantas. Namun, lagi-lagi bukan mustahil sikap tersebut muncul dari seorang pakar agama, imam besar, juga ahli hadis ini, ketika terserang penyakit fanatisme.

Pendek kata, kita saat ini berada pada titik urgensitas yang cukup tinggi untuk menanamkan toleransi, utamanya kepada para mubaligh dan tokoh agama terlebih dahulu. Sebab, sangat tidak etis jika sikap intoleransi muncul dari lisan dan tingkah polah mereka.

Tentu, dengan melahirkan sosok para pendakwah agama yang baru, dan tidak hanya berdakwah dengan emosional, tetapi disandingkan pula dengan pendekatan rasional. Sehingga, umat ini tidak hanya beragama dengan emosi, tetapi juga dengan akal mereka.

Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah Hadis dalam kitab Tuhaf al-‘Uqul ‘an Alirrosul (hal. 54) karya seorang ulama kesohor abad keempat Hijriah, Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Husein bin Syu’bah al-Harroni, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنما يدرك الخير كله بالعقل ولا دين لمن لا عقل له

“Kebaikan itu-seluruhnya-hanya mampu dijangkau oleh akal (yang jernih), dan tiada agama bagi yang yang tidak menggunakan akal budinya.”

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []

 

 

Tags: Dakwah RasionalKebangsaanKeberagamaanPendakwahtoleransi
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Berdoa
Publik

Berdoa dalam Perbedaan: Ketika Iman Menjadi Jembatan, Bukan Tembok

16 Oktober 2025
Multitafsir Pancasila
Publik

Multitafsir Pancasila Dari Legitimasi Kekuasaan ke Pedoman Kemaslahatan Bangsa

4 Oktober 2025
Dialog Lintas Iman
Publik

Dialog Lintas Iman: Peran Setiap Generasi Merawat Kerukunan

30 September 2025
Srikandi Lintas Iman
Publik

Satu Dekade Srikandi Lintas Iman: Peran dan Perjuangan Perempuan Dalam Menjaga Perdamaian

29 Agustus 2025
Kemerdekaan
Publik

Kemerdekaan dan Iman Katolik: Merawat Persaudaraan dalam Kebhinekaan

18 Agustus 2025
Bendera Merah Putih
Publik

Tentang Bendera Merah Putih dan One Piece

5 Agustus 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Antara Banjir Informasi, Boikot Stasiun Televisi, dan Refleksi Hari Santri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mbah War Sudah Kaya Sebelum Santri Belajar
  • PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan
  • Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas
  • Merespon Trans7 dengan Elegan
  • Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID