• Login
  • Register
Rabu, 1 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Tradisi Haul Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial

Dalam perkembangannya, konsep tradisi haul diperluas. Tak hanya menjadi peringatan wafatnya individu, tapi juga menjadi sarana silaturahmi antar anggota keluarga terutama saat Hari Raya Idul Fitri tiba

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
12/05/2022
in Publik, Rekomendasi
0
Tradisi Haul Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial

Tradisi Haul Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial

79
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di beberapa daerah, lebaran tidak hanya identik dengan tradisi mudik dan silaturahmi, tapi juga dilengkapi dengan tradisi haul atau acara memperingati kematian kerabat yang telah meninggal dunia ketika berkumpul di kampung halaman. Artikel ini akan membahas terkait tradisi haul sarana memperkuat solidaritas sosial.

Haul sendiri berasal dari Bahasa Arab, al-haulu yang berarti sekitar, perpindahan waktu, pemisah, dan setahun. Dalam Kamus Bahasa Arab kata tersebut memiliki dua makna. Pertama, haul berarti berlakunya waktu dua belas bulan, tahun Hijriyyah terhadap harta yang wajib dizakati di tangan muzakki/pemiliknya. Kedua, tradisi haul berati upacara peringatan ulang tahun wafatnya seseorang. (Baca: Wafatnya Mbah Moen Juga Dirasakan Semua Umat Beragama)

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, haul diartikan sebagai peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali. Dari sini kemudian dipahami bahwa haul merupakan peringatan tahunan wafatnya seseorang, terutama wafatnya seorang tokoh yang berjasa, ulama besar dan kharismatik, imam tarekat dan sufi. Meski realitanya tradisi haul juga diselenggarakan bagi kalangan warga biasa. (Baca: Haul Gus Dur, dan Doa Permohonan untuk Negeri yang Aman)

Daftar Isi

  • Sejarah Tradisi Haul
  • Baca Juga:
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih
  • 7 Prinsip Dalam Berkeluarga Ala Islam
  • Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah
  • Pemaksaan Perkawinan Tidak Sejalan Dengan Ajaran Islam
  • Bagaimana Tradisi Haul Membentuk Solidaritas Sosial?

Sejarah Tradisi Haul

Tak ada penjelasan pasti kapan tradisi haul pertama kali dilaksanakan, namun tradisi haul diyakini pertama kali berkembang di kalangan masyarakat muslim di Hadramaut, Yaman. Dengan berkembangnya niaga dan dakwah agama Islam di masa lampau, budaya haul pun turut dibawa semasa migrasi kalangan sayyid dari Hadramaut ke Asia Tenggara yang puncaknya terjadi sekitar abad ke-19. (Baca: Derita Berlipat Perempuan Yaman di tengah Konflik dan Pandemi)

Kalangan sayyid ini kemudian banyak diterima baik oleh pihak Hindia Belanda maupun Malaya Britania yang mengikutsertakan mereka dalam aktivitas perdagangan. Para sayyid ini kemudian mendapat tempat tersendiri di kalangan para penguasa daerah maupun masyarakat setempat karena selain sukses dengan kegiatan perdagangan namun juga dikenal sebagai tokoh spiritual karena kedalaman ilmu agama dan pertalian darahnya dengan Nabi Muhammad (Muslih, 2006). (Baca: Memahami Lima Bahasa Cinta Nabi)

Baca Juga:

Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

7 Prinsip Dalam Berkeluarga Ala Islam

Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

Pemaksaan Perkawinan Tidak Sejalan Dengan Ajaran Islam

Sekali dalam setahun, para sayyid dan masyayikh tersebut akan berkumpul/memperingati tradisi haul di makam tokoh spiritual dan mengundang semua orang. Acara ini biasanya dipimpin oleh keturunan/penerus tokoh yang telah wafat. Bagian inti kegiatan berisi orasi/ceramah yang dimaksudkan untuk mengingat kembali memori leluhur yang telah tiada, dari sini lah tradisi haul semakin memperkuat fungsi sosial para sayyid yang dikenal sebagai pewaris kekuatan spiritual dari para pendahulunya (Alatas, 2007; Algar, 2018). (Baca: Kiat Membaca Kecerdasan Spiritual Perspektif Danah Zohar dan Ian Marshal)

Ketika Islam masuk ke Indonesia, terutama di Jawa, tradisi haul tidak terlihat seperti budaya baru. Sebab budaya lokal zaman dahulu sudah familiar dengan penghormatan individu-individu yang telah meninggal dunia. Sehingga ketika tradisi haul diperkenalkan oleh para sayyid, yang terjadi justru akulturasi budaya. Tradisi penyembahan kepada tokoh atau benda yang dikeramatkan berganti dengan pembacaan doa dan mengenang kebaikan-kebaikan orang yang telah meninggal dunia (Al-Hasan, 2014). (Baca: Tak ada yang Mati, Kita Semua hanya Meninggal(kan) Dunia)

Lalu, apa yang membedakan haul dengan ziarah kubur? Perbedaan keduanya terletak pada esensi acara. Ziarah kubur dilakukan khusus untuk mendoakan mayit; haul lebih merupakan tradisi reflektif terhadap sejarah, mereka yang melaksanakan haul mencoba menghadirkan kembali seorang tokoh yang telah wafat dengan berbagai perjuangan atau perbuatan baik yang dapat menginspirasi orang yang masih hidup. Dan ziarah kubur, bisa jadi merupakan salah satu rangkaian acara haul.

Bagaimana Tradisi Haul Membentuk Solidaritas Sosial?

Dalam perkembangannya, konsep tradisi haul diperluas. Tak hanya menjadi peringatan wafatnya individu, tapi juga menjadi sarana silaturahmi antar anggota keluarga terutama saat Hari Raya Idul Fitri tiba. Oleh karenanya tradisi haul tak bisa selalu dituding sebagai ritual sirik. Justru haul menyimpan banyak hikmah dan kebaikan di dalamnya.

Dengan praktik umat muslim sekarang, haul dapat dikatakan sebagai sebuah ritual keagamaan yang dikemas secara sosial dengan rangkaian acara yang tidak hanya menyangkut agama secara langsung, tetapi dikombinasikan dengan bermacam-macam acara yang dapat memeriahkan dan menarik minat orang banyak untuk hadir bersama dan mendoakan, serta mendapatkan pelajaran bersama dari sejarah almarhum/almarhumah, dengan harapan dapat memetik hikmah, khususnya dalam hal agama, untuk kehidupan umat Islam selanjutnya.

Melalui pidato atau ceramah yang disampaikan ketika haul diselenggarakan, masyarakat yang hadir diajak melakukan ‘napak tilas’ sejarah orang yang wafatnya sedang diperingati, terutama berkaitan dengan kebaikan-kebaikan yang selama ini ia telah lakukan di dunia.

Jika yang wafat, adalah tokoh publik/pemuka agama, jasa-jasa serta pelayanan yang selama ini ia telah dedikasikan pada umat akan dikenang bersama dengan harapan para peserta haul ke depannya akan meneladani tindakan positifnya semasa hidup.

Momentum reflektif tradisi haul ini acap kali menggetarkan jiwa karena seakan-akan sosok mayit tersebut hadir secara utuh bersama para peserta acara, meskipun lebih dirasakan secara subjektif dengan cara beragam bagi masing-masing individu.

Demikian tradisi haul sarana memperkuat solidaritas sosial. Semoga tradisi haul sarana memperkuat solidaritas sosial. []

Tags: agamaBudayaIndonesiaislamKebangsaanNusantaraTradisiTradisi Haul
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Akhlak Manusia

Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

1 Februari 2023
Pengelolaan Sampah

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Pemakaman Muslim Indonesia

5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia dan Kontribusinya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

30 Januari 2023
Ulama Perempuan

Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama

30 Januari 2023
Tradisi Tedhak Siten

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

29 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kesehatan Calon Pasangan

    Pentingnya Mengetahui Kesehatan Calon Pasangan Sebelum Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan, Patah Hati, dan Krisis Percaya Diri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Prinsip Dalam Berkeluarga Ala Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist