Mubadalah.id – Sebutan ulama dalam banyak komunitas muslim selama ini hanya ditujukan kepada laki-laki, dan bukan untuk perempuan.
Penyebutan perempuan sebagai ulama harus dengan menambahkan kata “perempuan” di awal atau akhirnya, sehingga menjadi “ulama perempuan” atau “perempuan ulama.” Kenyataan ini jelas memperlihatkan bahwa kaum perempuan tidak atau belum layak menjadi ulama.
Dengan kata lain mereka dianggap tidak memiliki kapasitas intelektual, keilmuan, moral, dan keahlian yang lain. Ini adalah fakta peradaban patriarkhis yang telah berlangsung berabad lamanya.
Perempuan dalam peradaban patriarkhis sangat jarang, atau tidak terpublikasi, untuk tidak mengatakan terlarang, berada pada posisi pengambil keputusan, mengelaborasi, dan mengimplementasikan hukum-hukum agama.
Penciptaan konstruksi sejarah ini sesungguhnya merupakan gagasan manusia-manusia yang ketakutan dan tak percaya diri. Gagasan ini sungguh bertentangan dengan gagasan kemanusiaan dan misi agama-agama yang lurus. Pembatasan, peminggiran atau pengucilan perempuan telah mengabaikan perintah Tuhan dan Nabi.
Tuhan dalam banyak ayat al-Qur’an sudah lama menyerukan kepada manusia, bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan agar mereka memahami kehidupan dan menggali berbagai ilmu pengetahuan.
Perempuan Berhak Menjadi Ulama
Ini berarti bahwa kewajiban menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya bagi laki-laki melainkan juga bagi kaum perempuan. Dan karena itu, kaum perempuan berhak menjadi ulama dan kita menyebutnya sebagai ulama.
Kita tidak tahu siapa sebenarnya yang melakukan inisiatif yang mendistorsi dan membatasi perintah Tuhan itu, melalui cara mengkhususkan sebutan ulama hanya untuk jenis kelamin laki-laki. Siapakah yang mengecualikan perempuan dari ketentuan ayat-ayat Tuhan ini?.
Lebih jauh, siapakah sesungguhnya yang secara terus menerus sibuk menggelapkan peran-peran para ulama perempuan di panggung sejarah.
Padahal, terlalu banyak para ahli hadis yang mengambil riwayat dari kaum perempuan. Bahkan, para ulama hadis sepakat bahwa riwayat perempuan adalah terpercaya. Al-Dzahabi, seorang kritikus hadis terkemuka mengatakan:
“Tidak pernah terdengar bahwa riwayat seorang perempuan adalah dusta.”
“Aku tidak tahu ada perempuan yang disanksikan kejujurannya, dan (aku juga tidak tahu) mereka membiarkannya.”*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.