Mubadalah.id – Kerusakan lingkungan hidup akibat industri ekstraktif yang destruktif, pengelolaan sampah yang tidak sehat, dan lemahnya penegakan kebijakan ramah lingkungan masih menjadi persoalan serius di Indonesia.
Ironisnya, kerusakan ini sering kali mendapat pembenaran dari sebagian pihak, bahkan dengan membawa nama agama.
Menyadari hal ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah mengeluarkan fatwa keharaman perusakan lingkungan pada tahun 2017, dan memperkuatnya dengan fatwa kewajiban pengelolaan sampah secara sehat dan berkelanjutan pada tahun 2022.
Sejak itu, berbagai jaringan ulama perempuan KUPI di banyak daerah mulai menginisiasi praktik pelestarian lingkungan dan pengelolaan sampah yang ramah alam di ruang-ruang khidmah masing-masing. Terutama di lingkungan pesantren.
Beberapa contoh inisiatif ini dapat ditemukan di Garut, Cirebon, Jepara, Sumenep Madura, Purworejo, Aceh Barat Daya, Kalimantan Selatan, Makassar, Metro Lampung, Magelang hingga Bantul Yogyakarta.
Inisiatif-inisiatif ini lahir dari kesadaran mendalam untuk merawat bumi sebagai amanah ilahi, dan menjadi bagian dari dakwah membangun kehidupan berkeadilan bagi manusia dan seluruh makhluk.
Ulama Perempuan yang tergabung dalam Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengadakan agenda konsolidasi pada 22-24 Juli 2025 di Yogyakarta.
Agenda ini didukung oleh Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Climateworks Foundation. Pertemuan ini menegaskan bahwa melestarikan lingkungan merupakan wajib ‘ain, di mana tanggung jawabnya diemban oleh seluruh manusia tanpa terkecuali.
9 Poin Seruan KUPI
Oleh karenanya, aksi nyata perlu dilakukan oleh berbagai pihak secara sinergis dan kolaboratif demi terciptanya lingkungan yang sehat, berkelanjutan, dan berkeadilan. Pertemuan itu menghasilkan sembilan poin seruan sebagai berikut:
Pertama, mendesak pemerintah sebagai ulil amri untuk menegakkan konstitusi terkait pelestarian lingkungan dengan menjalankan prinsip berkeadilan dan berkelanjutan. Pemerintah perlu lebih tegas melakukan penegakan hukum terhadap berbagai tindak perusakan lingkungan.
Khusus terkait proyek-proyek ekstraktif, pemerintah harus menjamin agar aktivitas tersebut membawa manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Serta memastikan tidak adanya kerusakan permanen bagi ekosistem yang ada.
Kedua, mengecam kriminalisasi yang dialami oleh pegiat lingkungan di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah harus memberi ruang kepada warga negara untuk menyampaikan kritik dan masukan terkait pelestarian lingkungan. Serta menjamin keselamatan warga yang kritis sebagai bagian dari hak konstitusi.
Ketiga, mendesak pemerintah agar lebih serius mencurahkan sumber daya untuk mengembangkan teknologi ramah lingkungan dan mendukung segala upaya dari masyarakat untuk mengatasi persoalan lingkungan.
Keempat, meminta para pelaku usaha untuk mematuhi peraturan yang berlaku dengan mengedepankan ekonomi berkelanjutan dan mengupayakan transisi ekonomi menjadi ekonomi yang ramah lingkungan.
Selain itu, para pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas segala dampak lingkungan dari aktivitas mereka, termasuk pemulihan ekosistem.
Mendampingi yang Terpinggirkan
Kelima, mengajak organisasi masyarakat untuk menjadi kekuatan penyeimbang mendampingi mereka yang terpinggir (mustadh’afin/marjinal) dalam menghadapi korporasi yang melakukan aktivitas ekstraktif atau aktivitas lain yang berpotensi merusak lingkungan dan merampas ruang hidupnya.
Keenam, mengajak lembaga pendidikan untuk mengintegrasikan isu lingkungan yang berkeadilan ke dalam kurikulum dan mendorong lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren. Serta perguruan tinggi keagamaan untuk lebih sering mengeksplorasi teks-teks keagamaan terkait kewajiban menjaga lingkungan.
Ketujuh, mendesak media, baik konvensional atau non-konvensional, untuk melakukan tugasnya sebagai pilar demokrasi. Media harus menjadi sumber informasi terkait isu lingkungan dan menyuarakan kepentingan rakyat, bukan menjadi corong oligarki.
Kedelapan, mengajak masyarakat (umat) untuk berjejaring dalam kerja-kerja pelestarian lingkungan dengan berbagai elemen. Baik sesama masyarakat sipil, maupun para pemangku kebijakan, akademisi, ormas, dll.
Kesembilan, mengajak keluarga untuk menjadi basis pertama edukasi tentang kewajiban menjaga lingkungan (hifz al-bi’ah). Sertta pembiasaan pengelolaan sampah mulai dari mengurangi sampah. Hingga memilah dan mengolah sampah/limbah konsumsi. []