• Login
  • Register
Senin, 28 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Ulasan Buku Concubines and Courtesans: Kisah Para Selir yang Mengubah Sejarah Islam

Mereka tidak hanya mengubah sejarah, tetapi juga mengubah cara masyarakat memandang dunia.

Fadlan Fadlan
28/07/2025
in Buku
0
Selir

Selir

838
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Masa-masa keemasan Islam ternyata bukan hanya karena tangan dingin para pemimpin laki-laki. Ada sosok lain yang membuat kekuasaan Islam kian berjaya: Selir dan perempuan penghibur. Tidak banyak yang tahu bahwa ada perempuan—yang oleh masyarakat saat itu (bahkan saat ini) terlihat hanya sebagai properti atau “objek kotor”—menjadi aktor utama di balik kegemilangan imperium Islam.

Salah satu perempuan yang dijadikan sebagai properti ini adalah Khayzuran bin ‘Atha. Ia merupakan selir dari Khalifah Al-Mahdi yang berasal dari sebuah desa kecil di Yaman. Ia awalnya merupakan seorang budak yang kemudian dibeli oleh sang khalifah.

Namun hanya dalam beberapa tahun setelah dimerdekakan dan masuk ke dalam istana Abbasiyah, ia menjadi salah satu perempuan terkaya dan paling berkuasa di dunia. Bagaimana tidak? Ia merupakan ibu dari dua khalifah paling terkenal dalam sejarah Islam. Musa Al-Hadi dan Harun Al-Rashid dari kisah Seribu Satu Malam.

Kisah ini pertama kali saya ketahui ketika saya menemukan sebuah video yang menarik di YouTube, yang mengisahkan kisah Khayzuran. Mungkin bagi beberapa orang, kisah Khayzuran terdengar seperti dongeng. Tapi ini nyata.

Dan menurut buku ‘Concubines and Courtesans: Women and Slavery in Islamic History’ yang disunting oleh Matthew S. Gordon dan Kathryn A. Hain, Khayzuran bukanlah satu-satunya. Buku ini mengumpulkan tulisan dari berbagai sejarawan untuk menceritakan kisah para selir dan perempuan penghibur (yang disebut courtesans atau qiyan) dalam sejarah Islam.

Baca Juga:

Nyai Khoiriyah Hasyim: Pelopor Pendidikan Bagi kaum Perempuan

Di hadapan Ribuan Jamaah Salat Tarawih di Masjid Istiqlal, Nyai Badriyah Jelaskan Peran Perempuan dalam Sejarah Islam

Althusser, Seorang Filsuf Marxis yang Membunuh Isterinya

Membincangkan Sejarah Muslim Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara

Buku ini menunjukkan bagaimana para perempuan yang dianggap sebagai “properti” atau “barang” ini ternyata bisa menjadi tokoh kunci yang mengubah nasib mereka sendiri. Bahkan ikut menentukan arah sejarah sebuah imperium paling berkuasa di dunia.

Mengapa Ada Selir yang Begitu Berkuasa?

Pertanyaan pertama yang muncul adalah: Bagaimana mungkin sistem yang menempatkan perempuan sebagai properti justru bisa melahirkan tokoh-tokoh sekuat Khayzuran? Buku ini menjelaskan bahwa ada beberapa alasan kuat.

Pertama, aturannya memang ada dan dibolehkan. Dalam ajaran Islam, Al-Qur’an mengizinkan seorang laki-laki berhubungan seksual dengan budak perempuannya. Ini dicontohkan oleh dua tokoh perempuan yang sangat dihormati dalam Islam: Hajar dan Mariyah Al-Qibtiyyah.

Hajar adalah selir Nabi Ibrahim yang melahirkan Nabi Ismail, nenek moyang bangsa Arab. Sementara itu, Mariyah Al-Qibtiyyah adalah “selir” Nabi Muhammad yang memberinya seorang putra bernama Ibrahim. Keberadaan dua tokoh ini memberikan pembenaran atau legitimasi yang kuat bagi praktik selir di masyarakat Muslim di masa lalu, dari rakyat biasa hingga para penguasa.

Kedua, karena situasi sejarah. Setelah penaklukan besar-besaran di awal-awal kemunculan Islam, sejumlah besar perempuan dari daerah penaklukan masuk ke dunia Islam sebagai tawanan perang. Sejarawan Majied Robinson, dalam salah satu bab di buku ini, menggunakan data statistik untuk menunjukkan bahwa jumlah anak yang lahir dari “ibu-budak” langsung melonjak drastis sejak zaman para sahabat Nabi. Bukan baru di masa Abbasiyah seperti yang sering kita duga.

Artinya, sejak awal, banyak keluarga elite Arab yang memiliki anak dari perempuan asing (budak atau mantan budak). Hal ini membuat masyarakat saat itu menganggap bahwa menikahi selir itu lebih praktis secara politik. Seorang istri dari suku Arab yang kuat berisiko membawa kepentingan keluarganya ke dalam istana. Sedangkan seorang selir asing tidak punya siapa-siapa, sehingga loyalitasnya (dan anaknya) cukup terjamin.

Bagaimana Mereka Naik Kelas?

Setelah menjelaskan beberapa alasan mengapa ada para selir begitu berkuasa, buku ini kemudian menjelaskan berbagai cara atau mekanisme yang digunakan para perempuan budak (atau mantan budak) ini menaikkan status sosial mereka. Jalan mereka tidak mudah, tapi ada beberapa jalan yang bisa mereka lewati:

Jalan Pertama: Rahim

Ini merupakan cara yang paling umum bagi seorang selir untuk memperbaiki nasibnya. Melahirkan anak dari tuannya. Ketika ini terjadi, statusnya berubah menjadi Umm Al-Walad (ibu dari seorang anak). Menurut hukum Islam, seorang Umm Al-Walad tidak bisa lagi terjual dan otomatis akan merdeka. Ini adalah jaminan keamanan yang luar biasa.

Di level istana, melahirkan seorang putra adalah jalan menuju kekuasaan. Hampir semua khalifah Abbasiyah lahir dari rahim para selir yang berasal dari berbagai bangsa. Praktik ini bahkan mencapai puncaknya di masa Dinasti Almohad di Afrika Utara dan Spanyol. Penguasa Almohad sering kali menjadikan putri-putri dari para pemimpin yang mereka kalahkan sebagai selir.

Tujuannya adalah untuk melahirkan putra-putra yang nantinya akan mereka jadikan sebagai gubernur di wilayah asal ibu mereka. Ini adalah strategi politik yang cerdik: Menggunakan ikatan darah dari garis ibu untuk mengamankan kekuasaan di daerah-daerah baru. Dalam kasus ini, rahim para selir mereka jadikan alat untuk membangun imperium.

Jalan Kedua: Otak dan Suara

Jika tidak semua selir bisa melahirkan putra mahkota, ada jalan lain yang terbuka bagi mereka yang memiliki bakat: Menjadi seorang qiyan (perempuan penghibur). Qiyan ini bukan sekadar perempuan penghibur biasa seperti yang kita kenal hari ini, melainkan penghibur yang sangat berbakat. Mereka menguasai musik, sastra, puisi, filsafat, dan retorika. Mereka adalah seorang bintang di zamannya, pusat perhatian di pesta-pesta para bangsawan.

Tentu saja, kehidupan para qiyan ini penuh risiko. Kisah Inan Al-Natifi, seorang penyair budak di zaman Harun Al-Rashid, adalah contohnya. Di satu sisi, ia sangat dikagumi karena bakatnya. Di sisi lain, ia tetaplah seorang budak yang bisa dipukuli oleh tuannya. Namun, keahlian dan kecerdasan inilah yang menjadi “modal” mereka.

Di Andalusia Spanyol, bahkan ada beberapa qiyan yang tercatat memiliki keahlian selain seni dan filsafat, seperti kedokteran dan ilmu militer. Kecerdasan mereka membuat mereka sangat berharga dan memungkinkan mereka bernegosiasi dengan bangsawan dan keluarga kerajaan.

Jalan Ketiga: Harta dan Jaringan

Setelah mendapatkan kedudukan—baik sebagai ibu seorang pangeran maupun sebagai qiyan yang terkenal—langkah selanjutnya adalah mengumpulkan kekayaan dan membangun jaringan atau koneksi. Contohnya seperti Gülnuş Sultan di Kekaisaran Utsmaniyah.

Gülnuş adalah seorang budak berdarah Yunani yang menjadi selir favorit sultan dan melahirkan dua sultan penerus. Namun, ia tidak berhenti di situ. Dengan cerdas, ia menggunakan posisinya sebagai selir untuk membangun aliansi dengan para pejabat penting di istana, seperti kepala kasim.

Ia juga mengumpulkan kekayaan yang sangat banyak. Kemudian ia gunakan untuk membiayai tentara, menyuap para pejabat untuk membuat mereka loyal, dan mendanai pembangunan fasilitas umum seperti masjid dan rumah sakit.

Pada puncaknya, Gülnuş bahkan ikut serta dalam urusan negara dan diplomasi internasional, seperti yang terlihat dari surat-suratnya dengan Raja Swedia. Ia adalah contoh sempurna bagaimana perempuan budak bisa bertransformasi dari sekadar properti menjadi seorang negarawan ulung.

Sisi Gelap dan Warisan

Tentu saja, buku ini tidak melulu bercerita tentang kesuksesan. Di balik kisah-kisah gemilang, ada kenyataan pahit bahwa mereka tetaplah budak. Kekerasan sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Buku ini juga mencatat suara-suara protes dari para perempuan itu sendiri.

Beberapa dari mereka, seperti Fadl dan Shariya di era Abbasiyah, tercatat pernah mengklaim bahwa mereka diperbudak secara tidak sah. Protes-protes ini menunjukkan bahwa mereka sadar akan status mereka dan tidak selamanya pasrah pada keadaan.

Warisan terbesar dari para perempuan ini mungkin adalah bagaimana mereka kita ingat. Mereka tidak hanya mengubah sejarah, tetapi juga mengubah cara masyarakat memandang dunia. Seperti yang tersebutkan di salah satu bagian buku bahwa para qiyan merupakan inspirasi bagi gambaran tentang bidadari (huri) di surga. Keberadaan mereka yang begitu kuat meninggalkan jejak sehingga menciptakan imajinasi keagamaan tentang surga yang sampai hari ini masih kita percayai.

Nasib Perempuan dalam Sejarah Islam

Buku ini membuktikan bahwa nasib para perempuan budak dalam sejarah Islam jauh lebih rumit daripada yang kita bayangkan. Hidup mereka penuh dengan paradoks. Status mereka sebagai budak adalah sumber penderitaan mereka. Namun, anehnya, status itu jugalah yang memberikan mereka kesempatan.

Karena mereka tidak terikat oleh aturan-aturan ketat yang mengikat perempuan merdeka, mereka memiliki akses langsung ke pusat-pusat kekuasaan—ke kamar tidur para khalifah, ke ruang pesta para elite. Di sanalah mereka menggunakan satu-satunya modal yang mereka miliki: Tubuh, suara, bakat, dan otak mereka.

Buku ini menunjukkan bahwa di balik gemerlap istana dan catatan sejarah yang didominasi laki-laki, ada kisah-kisah luar biasa dari para perempuan yang berhasil mengubah status mereka dari “barang” menjadi “kekuatan”. Mereka adalah bukti hidup bahwa bahkan dalam sistem yang paling menindas sekalipun, manusia selalu bisa menemukan cara untuk berjuang, bertahan, dan bahkan, sesekali, menang. []

Tags: martabat perempuanPerempuan di Sejarah islamSejarah DuniaSejarah IslamSejarah Peradaban IslamSelir
Fadlan

Fadlan

Penulis lepas dan tutor Bahasa Inggris-Bahasa Spanyol

Terkait Posts

Ronggeng Dukuh Paruk

Kisah Ronggeng Dukuh Paruk dan Potret Politik Tubuh Perempuan

14 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

4 Juli 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Novel Cantik itu Luka

Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fenomena Rojali

    Fenomena Rojali, Sebuah Privilege Kaum Bawah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah Godaan Laki-laki Adalah Fitnah Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Sekolah Rakyat Menggusur SLB: Potret Pendidikan Inklusi yang Semu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membangun Rumah Tangga Ideal: Belajar dari Keseharian Rasulullah Saw

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • A Letter for 23: Pengalaman Perempuan Menjadi Sehat, Cerdas, dan Berdaya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok
  • Ulasan Buku Concubines and Courtesans: Kisah Para Selir yang Mengubah Sejarah Islam
  • Membangun Rumah Tangga Ideal: Belajar dari Keseharian Rasulullah Saw
  • A Letter for 23: Pengalaman Perempuan Menjadi Sehat, Cerdas, dan Berdaya
  • Pola Relasi Suami dan Istri

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID