• Login
  • Register
Senin, 12 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Unfollow Selebgram Impulsif: Upaya Merawat Alam dan Diri Sendiri

Tak terhitung, berapa kali check out impulsif ini terjadi, sampai pada suatu saat, saya melihat tumpukan bubble wrap menggunung di pojok ruangan

Ayu Alfiah Jonas Ayu Alfiah Jonas
16/05/2024
in Personal
0
Selebgram

Selebgram

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Seberapa sering kita menggunakan media sosial, terutama Instagram? Satu jam, tujuh jam, tiga belas jam, seharian penuh, tanpa henti? Dalam laporan Napoleon Cat pada Maret 2024, tercatat ada 90,41 juta pengguna Instagram di Indonesia, hampir sepertiga dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 277 juta, berdasarkan World Population Review per Maret 2024. Kita, para pengguna instagram, adalah bagian dari sepertiga itu.

Saya menggunakan Instagram sejak 2014 dan baru pada 2019 membatasi penggunaannya selama 60 menit sehari dengan pengatur waktu aplikasi ponsel. Waktu melimpah ini saya pakai untuk menyisir berita terkini, berinteraksi dengan teman-teman daring, membagikan a—z kekaryaan, merayakan hidup, membalas komentar, mengikuti war fandom k-pop, dan kadang-kadang mengintip kehidupan gemerlap para selebgram.

Konten-konten yang selebgram bikin mampu menjeda hidup dan membikin senyum merekah. Dwi Handayani misalnya, membagikan keseharian kedua anaknya—Freya dan Ilayya—dengan bungah.  Tingkah dua anak lucu itu mampu meletakkan sebentar rasa lelah setelah seharian berjibaku dengan waktu rekat tenggat pekerjaan. Sejak 2021, saya mulai berhenti lama-lama mengamati para selebgram yang terlalu sering endorse produk.

Dari sekian banyak konten yang saya amati dari para selegram, saya paling tertarik pada sudut pandang mereka terhadap satu hal atau suatu masalah. Ada Nadia Alaydrus, seorang dokter yang piawai meramu informasi kesehatan dalam bentuk sederhana sehingga lebih mudah dipahami warganet. Atau, ada Awkrain yang membagikan awareness tentang mental health. Kedua bentuk informasi tersebut memperkaya pengetahuan saya.

Pengaruh Akun Selebgram

Betapa pun ada hal-hal positif yang dapat kita ambil dari mereka, saya tetap mendapat dampak negatif selama bertahun-tahun. Sejak 2016, yang baru saya sadari per 2021, saya berubah menjadi pribadi impulsif. Belanja tanpa henti. Membuka e-commerce dan menambahkan produk di keranjang hampir setiap hari. Saat melacak alasannya, saya sampai pada satu kesimpulan: Iklan-iklan yang berseliweran di akun para selegram telah banyak memengaruhi saya.

Baca Juga:

Awet Muda di Era Media Sosial: Perspektif dan Strategi Perempuan

Antara Reels dan Realita: Dilema Orang Tua Gen Z di Tengah Arus Media Sosial

Kartini di Era Internet, Habis Gelap, Terbitlah Algoritma

Tren Foto ala Studio Ghibli, dan Bagaimana Menghargai Profesi

Tanpa sadar, saya merasa membutuhkan produk-produk tak penting yang entah kenapa menjadi terasa begitu mendesak untuk dibeli. Fast fashion dinormalisasi, produk-produk receh yang diklaim memudahkan hidup saya beli tanpa henti, dan berbagai macam inovasi makanan yang sejatinya tidak diperlukan tubuh justru terus-menerus dikonsumsi. Kesemuanya terjadi hanya karena saya tak mampu mengendalikan diri.

Kesadaran untuk mengendalikan diri kian menguat ketika saya menyadari begitu banyak sampah yang saya hasilkan hanya karena membeli barang-barang yang kerap disebut-sebut sebagai “racun selebgram” itu. Saat melihat Tasya Farasnya mengunggah lipstik yang ia labeli sebagai produk “Tasya Farasya Approved” misalnya, jari-jemari saya bergerak sendiri, membuka aplikasi, lalu check out dengan riang gembira.

Tak terhitung, berapa kali check out impulsif ini terjadi, sampai pada suatu saat, saya melihat tumpukan bubble wrap menggunung di pojok ruangan. Spontan saya bergumam, “betapa bodoh diri ini, membeli hanya karena teracuni.” Esok harinya, saya mulai unfollow para selebgram yang saya anggap masuk dalam kategori impulsif dan mulai melerai pelan-pelan apa yang menjadi kebutuhan dan sekadar keinginan.

Filterisasi

Keputusan tersebut tak saya sesali sama sekali. Justru, saya meneruskan filterisasi tersebut hingga saat ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendata, sepanjang 2023, ada sekitar 19,56 juta ton sampah yang dihasilkan di Indonesia. Data tersedia dari 96 kabupaten/kota. Filterisasi yang saya lakukan memiliki pengaruh kecil sekali. Amat kecil bila tak kita lakukan secara konsisten, dalam skala besar, dan berkelanjutan.

Sampah-sampah yang dihasilkan di Indonesia di antaranya; 41,4% berupa sisa makanan, 18,6% sampah plastik, 11,5% kayu/ranting/daun, dan 10,5% kertas/karton. Angka-angka tersebut menyimpul satu pola: Mayoritas sampah berasal dari limbah rumah tangga dengan proporsi sebesar 39,1%.

Selain berusaha maksimal memotong proporsi sisa makanan, kita wajib menekan yang kedua yakni sampah plastik sebesar 18,6%. Bumi sudah begitu hancur, soal mengurangi sampah, kita tak pantas beralasan apa pun untuk tak melakukannya.

Sampah-sampah plastik dalam total 18,6% itu berasal dari bubble wrap, kemasan plastik, dan kemasan produk yang telah habis. Produk yang mungkin kita beli hanya karena melihat sebuah story. Barang yang mungkin kita beli lantaran ada selebgram yang memberikan klaim tak pasti. Plastik demi plastik dalam berbagai macam bentuk yang kita gunakan sehari-hari.

Sampah plastik tidak bisa terurai begitu saja. Begitu banyak jenis sampah plastik yang baru bisa terurai setelah ratusan tahun. Setiap sampah plastik baru bisa terurai dalam waktu yang berbeda-beda. Sayangnya, meskipun beberapa jenis sampah plastik bisa terurai dalam waktu puluhan hingga ratusan tahun, plastik-plastik tersebut tetap tidak akan hilang begitu saja.

Mikroplastik

Plastik-plastik akan berubah menjadi mikroplastik yakni partikel-partikel plastik kecil yang tidak terlihat mata. United Nations Environment Programme (UNEP) atau Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa  mencatat, sampah plastik yang terurai menjadi mikroplastik kemudian banyak dimakan oleh ikan atau hewan ternak. Mereka mengira mikroplastik adalah makanan. Konsumsi yang tak sengaja tersebut berpotensi menyebabkan penyakit.

Mikroplastik bukan satu benda sederhana. Ia mencakup berbagai bahan, ukuran, bentuk, kepadatan, dan warna yang berbeda (Evangelos Danopoulos, Peneliti Mikroplastik Hull York Medical School, Inggris). Mikroplastik primer yang diproduksi berbentuk kecil, kita gunakan dalam benda-benda seperti kosmetik dan cat. Sementara, mikroplastik sekunder dihasilkan dari penguraian bahan plastik yang lebih besar, sebagai misal botol air dan kantong plastik.

Menimbang asal-usul keduanya, mikroplastik sekunder tentu memiliki lebih banyak bentuk ketimbang mikroplastik primer. Sebagai misal, mikroplastik sekunder berbentuk serat yang terlepas dari pakaian sintetis (poliester, dan lain-lain) atau potongan sendok plastik di sungai, danau, atau lautan.

Pada akhirnya, setiap plastik akan menjadi mikroplastik sekunder. Alam memprosesnya menggunakan angin, arus air, dan radiasi UV, memecahnya menjadi potongan-potongan kecil yang semakin kecil dan terus mengecil.

Mikroplastik mengancam kehidupan manusia, terlahir dari plastik-plastik yang kita gunakan sehari-hari. Plastik-plastik yang kita produksi dari keinginan-keinginan tak terkendali. Kita bisa menekan keinginan dengan membeli barang yang memang mendesak digunakan, tidak karena direkomendasikan.

Lagi pula, tidak sulit rasanya memisahkan yang mana kebutuhan dan yang berupa keinginan. Hal-hal yang tak perlu, sesegera mungkin kita hindari. Apa yang selebgram promosikan tidak semuanya kita butuhkan.

Kita bertarung dengan plastik dan mikroplastik. Bertarung dengan para selebgram impulsif. Kita bertarung dengan diri kita masing-masing. Bila mau terlibat dalam gerakan ekofeminisme, mungkin, berhenti mengikuti para selebgram yang membuat kita berlaku impulsif dapat menjadi langkah kecil. Saking kecilnya, kita mungkin ragu, malu, dan enggan melakukannya. []

Tags: kontenmedia sosialMikroplastikSampah PlastikSelebgramUnfollowviral
Ayu Alfiah Jonas

Ayu Alfiah Jonas

Penulis dan editor lepas

Terkait Posts

Umat Buddha

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

12 Mei 2025
Membaca Kartini

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

10 Mei 2025
Kisah Luna Maya

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

9 Mei 2025
Waktu Berlalu Cepat

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

9 Mei 2025
Memilih Pasangan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

8 Mei 2025
Keheningan

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

8 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pekerja Rumah Tangga

    Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha
  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?
  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version