• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Untuk Apa Khitan Perempuan?

Tidak ada korelasi yang niscaya (luzumiyah) antara clitoris yang tidak dipotong/digores dengan kebinalan perempuan. Saya kira pandangan atau lebih tepat disebut mitos, khas budaya patriarkhi

Redaksi Redaksi
11/08/2024
in Publik
0
Khitan Perempuan

Khitan Perempuan

600
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pertanyaan krusial yang tersisa adalah untuk apa khitan perempuan?. Ini adalah pertanyaan yang dari padanya kita akan memperoleh pengetahuan tentang maksud dan tujuan dari khitan perempuan. Untuk menjawab ini saya kira hadits-hadits di atas menarik untuk dianalisis dari beberapa sisi.

Pertama, adalah kata-kata Nabi kepada juru khitan perempuan: “janganlah berlebihan”. Yakni jangan berlebihan memotong clitorisnya. Pernyataan Nabi ini menurut saya adalah kritik beliau terhadap praktik khitan perempuan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Arabia bahkan juga dalam tadisi di berbagai tempat lain di dunia pada masa itu. Yakni memotong atau menggunting ujung klitoris dalam kadar yang cukup besar.

Dengan pernyataan itu, Nabi Muhammad tampaknya sedang melakukan proses perbaikan dan transformasi kultural melalui pendekatan gradual dalam bentuk reduksi atas tradisi tersebut, sebagaimana sudah disebutkan di atas. Ada kesan kuat dari pernyataan itu bahwa Nabi menginginkan penghapusan praktik khitan perempuan ini meski dengan cara yang paling sederhana sekalipun.

Mengakar

Akan tetapi beliau menyadari sepenuhnya bahwa tradisi ini tidak mudah dihapuskan seketika, karena praktik itu telah sangat lama mengakar dalam tradisi dan budaya masyarakatnya. Penghapusan seketika atasnya, sangat mungkin dapat menimbulkan resistensi dan reaksi keras masyarakat, bahkan boleh jadi mereka akan menentang misi utamanya, yakni Tauhid.

Argumen ini bukanlah hal asing dan mengada-ada. Metode transformasi gradual dengan cara mereduksi bertahap selalu dipakai dalam al-Qur’an untuk praktik-praktik tradisi dan kebudayaan yang sifatnya merugikan dan menyakiti orang, terutama mereka yang lemah dan dilemahkan.

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Perempuan dan anak-anak adalah entitas sosial yang paling rentan diperlakukan seperti itu. Perbudakan, minum-minuman, judi, kekerasan terhadap istri, poligami dan lain-lain adalah beberapa contoh saja dari banyak tradisi yang diperbaiki Nabi Saw melalui pendekatan tersebut.

Pernyataan Nabi: ”makrumah li al-Nisa ”(kehormatan bagi perempuan), juga merupakan bahasa budaya, bukan bahasa hukum. Dalam tradisi patriarkis, perempuan harus selalu berada di bawah kendali laki-laki/suami, terutama dalam perkara seksual. Klitoris adalah bagian dari organ reproduksi yang memiliki daya sensitifitas seksual tinggi yang melahirkan hasrat-hasrat libido yang kuat.

Tradisi Patriakhis

Perempuan mampu mencapai pengalaman orgasme yang tak habis-habisnya, melalui erotisisme klitoral. Karena itu pembiaran organ ini tetap ada atau menonjol, bisa ”membahayakan” laki-laki. Dan laki-laki dalam tradisi patriarkhis tak boleh perempuan kalahkan, karena akan berakibat fatal bagi perempuan sendiri.

Maka dalam pandangan tradisi adalah kehormatan bagi perempuan untuk memotong klitorisnya agar tidak bisa mengalahkan laki-laki/suami, meski harus mengalami pelukaan atas bagian tubuh yang penting itu sekaligus juga kedukaan psikologis.

Jadi kata ”makrumah” merupakan bahasa persuasif dan akomodatif Nabi terhadap budaya yang sedang berlangsung itu. Tetapi dalam waktu yang sama juga mereduksinya.

Ucapan Nabi Saw: ”fa innahu ahzha li al mar’ah wa ahabb li al ba’l”, memperlihatkan bahwa clitoris adalah organ yang membahagiakan perempuan dan menyenangkan laki-laki (suami). Identik dengan makna kalimat ini adalah ”fa innahu anwar li al wajh wa ahzha ’ind al Rajul”.

Yakni bahwa clitoris adalah bagian tubuh yang membuat wajah perempuan berseri-seri, sebuah kalimat yang menunjukkan ekspresi kenikmatan, dan menyenangkan atau menguntungkan laki-laki/suami.

Dari sini tampak jelas bahwa Nabi Saw sebenarnya sedang mengingatkan masyarakat bahwa clitoris perempuan adalah bagian tubuhnya yang amat berharga. Karena ia memberikan kenikmatan seksual bagi kedua pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (istri).

Seharusnya bahasa persuasi Nabi yang indah tersebut dapat kita pahami sebaik-baiknya. Saya ingin memahami bahwa kata-kata itu mengandung arti : “biarkanlah bagian tubuh perempuan yang menjadi sumber kenikmatan kedua jenis kelamin tersebut tumbuh apa adanya. Tanpa dipotong atau digores oleh benda tajam apapun”. Dengan begitu relasi laki-laki dan perempuan/suami-istri akan menjadi indah.

Asumsi Negatif

Sebagian pandangan menyebut bahwa khitan perempuan mereka butuhkan sebagai upaya pengendalian perempuan atas nama moral. Mereka mengatakan bahwa klitoris perlu terpotong agar hasrat libido perempuan tidak menjadi liar. Keliaran hasrat seks perempuan akan mengganggu atau bahkan membahayakan ketertiban sosial. Ini adalah sebuah asumsi yang memperlihatkan pandangan negatif.

Perempuan sejak masa bayi atau anak-anak, dalam pandangan tersebut. Maka sudah mereka anggap sebagai makhluk yang berpotensi mengumbar nafsu seksualnya jika kelak sudah dewasa. Jelas sekali bahwa pandangan ini telah merendahkan martabat dan kehormatan perempuan, termasuk ibu dan saudara perempuan kita semua.

Sesungguhnya tidak ada bukti bahwa perempuan tanpa khitan selalu memperlihatkan keliaran dan kebinalannya. Sebagaimana juga perempuan yang melakukan khitan, tidak liar atau binal. Tidak ada relevansi moral yang niscaya antara tubuh dan hasrat seksual.

Tidak ada korelasi yang niscaya (luzumiyah) antara clitoris yang tidak dipotong/digores dengan kebinalan perempuan. Saya kira pandangan atau lebih tepat disebut mitos, khas budaya patriarkhi, sebuah budaya di mana pendefinisian dan kontrol atas soal-soal hidup. Dan kehidupan perempuan ada di tangan dan dibuat untuk kepentingan laki-laki. []

Tags: KhitanP2GPperempuan
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version