Mubadalah.id – Karena budaya adalah kreasi bersih manusia maka kehadirannya tak selalu senafas dengan agama. Di mana, keberadaan agama (dengan diutusnya Nabi dan turunnya kitab suci) sebagai tata atur, serta tuntunan hidup bani Adam yang dibuat Allah subhahu wa ta’âla, zat sang pengatur semesta. Seperti yang tercermin di lembar awal kitab suci al-Qur’an yang berbunyi, Alif lâm mîm, dzâlika al-kitâbu lâ raiba fîh, hud(an) lil muttaqîn, “Alif lâm mîm, inilah kitab suci (al-Qur’an) yang tiada keraguan padanya, kehadirannya sebagai cahaya petunjuk bagi yang bertakwa”. (Al-Baqarah (1-2)).
Itulah agama, cahaya petunjuk yang tidak mungkin diciptakan sia-sia (tidak bermanfaat, malah mengandung mudarat). Lain dengan budaya. Buah tangan manusia itu ada kalanya manfaat, kadang juga mudarat, atau mungkin opsi ketiga; satu sisi bermanfaat sekaligus mudarat. Mustahil ada opsi keempat; kosong manfaat juga kosong mudarat. Karena ini merupakan konsekuensi logis, pasti punya dampak.
Ketika Islam dengan ajarannya yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan ini berhadapan dengan suatu budaya di satu masyarakat tertentu, keduanya tak mesti rukun. Bahkan kerap kali adu tanduk. Jika hanya sekadar beda jalur, bisa dimaklumi. Sebab memang banyak jalur menyusuri syariat Tuhan. Fatalnya saat budaya tersebut melaju menabrak jalur agama. Tak heran jika banyak aturan Tuhan di persada ini morat-marit. Dan, budaya-budaya lokal seperti ini harus digawangi. Absurd sekali kedamaian universal bisa tercipta ketika budaya-budaya lokal masih carut-marut, belum rapi tertata.
Itulah salah satu motif komunitas Lingkar Ngaji Lesehan hadir, dalam upaya mengedukasi dan menciptakan masyarakat yang cerdas berbudaya sehingga mengerti norma adat dan agama secara proporsional. Juga, menanamkan paham bahwa Islam adalah agama yang penuh cinta. Bukan agama yang menormalisasi kekerasan, pemaksaan dan laku amoral lainnya.
Dengan perkawinan kajian dua kitab; Manbaussa’adah fi Ususi Husnil Mu’asyarah wa Ahammiyatitta’awun wal Musyarakah fi al-Hayat az-Zaujiyyah, karya kiai Faqihuddin Abdul Qadir dan kitab al-Busyra fi Manaqib Sayyidah Khadijah al-Kubra, karya Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki, kami harap-dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala-mampu melahirkan ‘laki-laki baru’ laiknya baginda Nabi dan perempuan tangguh meneladani Sayyidah Khadijah.
Di mukadimah kitab karya kiai Faqih ini, mengutip statement Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, tegas menyatakan bahwa agama itu isinya keadilan murni. Orientasi hukum dan kebijakannya tak keluar dari rel kemaslahatan, kenyamanan, serta ketentraman seluruh umat. Di sana dikatakan:
الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد في المعاش والمعاد، وهي عدل كلها ورحمة كلها ومصالح كلها فكل مسألة خرجت عن العدل إلى الجور وعن الرحمة إلى ضدها وعن المصلحة إلى المفسدة وعن الحكمة إلى العبث فليست من الشريعة وإن أدخلت بالتأويل.
Artinya, “Agama itu dibangun di atas kebijaksanaan dan kemaslahatan bagi seluruh umat. Syariat Islam itu pasti adil, penuh kasih sayang, dan sarat dengan misi-misi luhur. Maka setiap yang keluar; dari rel keadilan menuju kesewenangan, dari kasih sayang menuju kekejaman, dari yang baik ke yang buruk, dari kebijaksanaan menuju kesia-siaan, maka pasti bukan ajaran Islam, walaupun harus dipaksa masuk bagaimana pun caranya”.
Semukabalah dengan itu, Ahmad ar-Roisuni dalam al-Fikr al-Maqashidi Qawa’iduhu wa Fawaiduhu (hal. 39) menulis sebuah kaidah maqashid yang berbunyi:
كل ما في الشريعة معلل وله مقصوده ومصلحته
Artinya, “Apapun yang masuk dalam kategori hukum syariat (fiqh), pasti memiliki alasan-alasan tertentu, ada misi agung dan kemaslahatan yang besar di dalamnya”.
Hal ini, tentu jauh berbeda dengan konstruk budaya. Satu bentuk hukum dan norma yang dibuat manusia seiring perkembangan serta peradaban kehidupan mereka. Darinya, kaidah fikih kita mengklasifikasi budaya (al-‘urf wa al-‘adah) menjadi dua; (1) budaya yang sejalan dengan syariat (al-‘urf as-shahih) dan (2) budaya yang berlainan arah dengan syariat (al-urf al-fasid). Terkait mana yang shahih dan yang fasid, tergantung apakah budaya tersebut sesuai dangan teks dan misi besar (high politic/al-maqashid al-udhzma) agama atau tidak.
Sampai di sini, seberapa besar peran budaya terhadap kehidupan kita? Dan, seberapa penting menggawangi budaya lokal demi mewujudkan keadilan universal?
Lagi-lagi mengutip sebuah kaidah fikih yang berbunyi, Isti’mal an-nas hujjat(un) yajibu al-‘amal bihi, “Pola hidup dan budaya suatu masyarakat juga diperhitungkan sebagai dalil hukum yang harus diberlakukan”. Imam Abu Hanifah-dalam posisinya sebagai imam mazhab kawakan dari empat mazhab mu’tabarah-adalah yang pertama kali mendeklarasikan Urf sebagai dalil hukum. Ini juga bermakna bahwa kita-para ulama perempuan dengan misi kesetaraan dan keadilan hakiki-perlu menggawangi kajian budaya lokal. Di daerah manapun. Sebab, tanpa itu, kita tidak pernah mampu membimbing moralitas umat dan mengejawantahkan keadilan universal.
Terutama kaitannya dengan ajakan kebenaran, menyuarakan keadilan, kemanusiaan dan seterusnya. Sejak dahulu, para ulama kita tak pernah lepas dari menggawangi budaya. Jejak sejarah menyatakan demikian. Raden Sahid putra Tumenggung Wilatikta, atau yang kita kenal dengan Sunan Kalijaga hadir sebagai tokoh yang masyhur dalam hal ini. Ia menyebarkan agama lewat seni dan budaya. Raden Sahid tidak hanya dikenal sebagai juru dakwah. Melainkan juga seorang dalang kondang dalam pertunjukan pewayangan.
Bahkan, di Pejajaran ia terkenal dengan nama panggung Ki Dalang Sida Brangti. Di Tegal, masyhur disapa Ki Dalang Bengkok, sedangkan di Purbalingga tenar dengan sebutan Ki Dalang Kumendung. Dan, jejak-jejak tokoh Walisongo lainnya.
Teruntuk kajian budaya (al-‘Urf wa al-‘Adat), para ulama salafuna as-shalih merujuk-salah satunya-kepada surah al-A’raf (199), Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Artinya, “Mulailah menebar kebaikan dengan lembut dan penuh sayang, dan perintahkan untuk melakukan yang makruf, dan abaikanlah (sabarlah dalam menghadapi) orang-orang bodoh”.
Imam Fakhruddin ar-Rozi (604 H) dalam Mafatihul Ghaib (juz 15, hal. 80) menafsiri frasa khudzil ‘afwa dan wa’mur bi al-‘urfi. Ar-Rozi bilang bahwa al-‘afwa tidak hanya bermakna ‘maaf’, melainkan juga bermakna tidak kasar (tarku at-tasyaddud), serta berakhlak baik kepada sesama (at-takhalluq bi al-khuluq at-thayyib). Adapun redaksi wa’mur bi al-‘urfi, dalam Mafatihul Ghaib ditafsiri dengan wa’mur bi idhzhari ad-din al-haq wa taqriri dalailihi (perintahkanlah mereka untuk memperlihatkan ajaran agama yang benar serta menegakkan perlambang-perlambang agama).
Dalam penggalan ayat tersebut, pada waktu yang sama kita diperintah untuk dua hal berbeda; (1) tidak kasar dan selalu ramah, dan (2) mendakwahkan agama dan menyuarakan kebenaran. Itu artinya, oleh al-Qur’an kita sedang dicetak agar menjadi para pendakwah juga penyeru kebenaran yang ramah, santun, penyayang, tidak kasar dan pasti tidak arogan. Inilah yang dikenal di Ushul Fiqh dengan pendekatan rabthu an-nushush bi nassh(in) akhar (melibatkan teks lain dalam al-Qur’an atau hadis untuk memahami maksud suatu teks).
Jadi, sudah barang pasti, berdakwah di tengah masyarakat multikultural-secara terutama-mengharuskan kita menggawangi kajian budaya dan adat yang ada di masyarakat tersebut. Mengingat, mustahil masyarakat akan merespon baik satu gerakan dakwah yang buta budaya. Gelap mata dari melihat apa yang telah tumbuh dan mengakar kuat di tengah mereka. Hanya dengan memahami budaya secara benar lah yang mampu menyongkong kesuksesan dakwah. Sebab, dengan itu kita bisa memilah baik-buruknya budaya yang menjamur di sana. Sehingga, muncul sebuah kaidah:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Artinya, “Mempertahankan tradisi lama yang mesih relevan serta terbuka untuk menerima hal baru yang lebih baik”.
Ibarat kata, kita sebagai penyampai ajaran kebenaran yang dibawa Nabi tak ubahnya bagai juru penyelamat bagi mereka yang tenggelam di lautan budaya yang luas nan dalam. Untuk berhasil, kita mesti lihai renang dan mampu menaklukkan badai laut. Terjun dan berkecimpung dalam kajian budaya. Mengajarkan sedikit demi sedikit bagaimana cara berenang menaklukkan badai, sehingga selamat dari cengkraman budaya yang meregang nyawa. Namun, yang penting diingat, bahwa melawan arus budaya tak semudah menggoreng pisang. Kita butuh waktu yang panjang. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []