Mubadalah.id – Selain istilah childfree atau childless yang belakangan ramai diperbincangkan, ada pula istilah Waithood atau dalam Bahasa Indonesia bermakna penantian. Istilah ini kini merajuk pada tren untuk menunda pernikahan. Di Indonesia sendiri juga cukup banyak yang mengikuti tren tersebut. Meski begitu tentu ada berbagai alasan yang melatarbelakangi pilihan mereka ini.
Memasuki abad ke-21 tren Waithood semakin dianggap normal. Beberapa riset bahkan menunjukkan bahwa tren ini akan terus berlanjut hingga pada tahun 2050. Salah satu riset pew research bahkan menunjukkan bahwa generasi milenial rata-rata menikah pada usia 25 hingga 37 tahun. Usia ini dianggap usia nikah yang lebih tua jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Sebenarnya tidak hanya di Indonesia, tren waithood ini juga marak dilakukan di berbagai negara di dunia, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Alasan yang mendasari orang memilih melajang juga cukup bervariasi. Mulai dari alasan ingin melanjutkan pendidikan hingga fokus berkarir untuk membantu perekonomian keluarga.
Perempuan yang belum menikah di usia tertentu dianggap perempuan yang melanggar norma, kurang bahagia, kesepian, mendapat stigma yang kurang baik dari masyarakat setempat atau bahkan disebut perawan tua , terlalu pemilih dan lain sebagainya. Padahal hukum menikah pun dalam Islam beragam.
Nikah hukumnya wajib jika baik pihak laki-laki dan perempuan sudah memasuki usia wajib nikah, tidak ada halangan, memiliki kemauan untuk berumah tangga dan khawatir terjadi zina. Kondisi seperti ini menjadi wajib untuk segera melangsungkan pernikahan.
Nikah juga berhukum sunnah. Menurut pendapat para ulama, sunnah adalah kondisi di mana seseorang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menikah namun belum juga melaksanakannya. Orang ini juga masih dalam kondisi terhindar atau terlindung dari perbuatan zina sehingga meskipun belum menikah, tidak khawatir terjadi zina.
Makruh apabila seseorang memiliki kemampuan untuk menahan diri dari perbuatan zina. Akan tetapi belum berkeinginan untuk melaksanakan pernikahan dan memenuhi kewajiban sebagai suami atau istri.
Berhukum mubah, jika pernikahan dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dan keinginan, akan tetapi jika tidak pun dia bisa menahan diri dari zina. Jika pernikahan dilakukan, orang tersebut juga tidak akan menelantarkan istrinya.
Atau bisa jadi hukumnya haram, ketika pernikahan dilaksanakan saat seseorang tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk menikah, namun dipaksakan. Hal ini dikhawatirkan karena nantinya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, pasangan dan anaknya ditelantarkan, atau mendatangkan kemudharatan dan kemafsadatan .
Kalau menurut temanku, pernikahan itu bukan perkara yang mudah juga bukan perkara yang sulit. Akan tetapi sebelum menikah hendaknya harus sudah punya mental yang kuat, persiapan yang matang, kedewasaan, finansial yang cukup dan lain sebagainya. Jangan menikah karena paksaan, cuman pengen uwu-uwuan apalagi ngikuti tren karena banyak temannya yang sudah menikah duluan. Dan yang pasti harus sudah berdamai dan selesai dengan diri sendiri tentang segala hal agar tidak menyesal.
Sekarang lazim kalau orang lebih mementingkan pendidikan, karir, bahkan lebih mementingkan dirinya sendiri tanpa harus menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain. Atau terkadang beberapa orang ada pada kondisi tertentu yang memaksanya untuk menjalani hidup dan lebih memilih waithood. Seperti, trauma masa lalu, belum selesai dengan dirinya sendiri, dan masih banyak alasan lainnya.
Ada beberapa yang memilih waithood baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang tidak ditentukan, bahkan ada pula yang memilih melajang seumur hidup. Tanpa bermaksud mempromosikan hidup melajang, ternyata ada beberapa ulama yang mashur sudah tidak asing lagi bagi kita lebih memilih waithood jangka panjang atau memilih melajang seumur hidup.
Bukan tanpa sebab pilihan melajang seumur hidup tersebut, salah satu alasannya karena sibuk dengan kecintaannya terhadap belajar dan pencarian ilmu. Dan banyak ilmu agama yang sampai kepada kita saat ini berkat warisan dari ulama-ulama yang terdahulu tersebut.
Keputusan perihal waithood atau tidak itu pilihan masing-masing selama pilihan tersebut dipilih secara sadar dan tidak merugikan orang lain. Jika pilihan tersebut lebih mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan jelas tidak apa-apa. Sebab yang memiliki otoritas penuh atas dirimu sendiri ya kamu. []