• Login
  • Register
Jumat, 9 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Wollstonecraft dan Mill: Kritik terhadap Esensialisme Gender dalam Pernikahan

Menurut Wollstonecraft, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang berdasarkan pada persahabatan.

Fadlan Fadlan
22/11/2024
in Pernak-pernik
0
Pernikahan

Pernikahan

858
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel saya sebelumnya yang berjudul ‘Immanuel Kant: Cinta, Seks dan Pernikahan’.

Mubadalah.id – Sejak tahun 1792, dengan diterbitkannya ‘A Vindication of the Rights of Woman’ karya Mary Wollstonecraft, kritik gerakan feminisme terhadap pernikahan pun bermunculan.

Di salah satu babnya yang berjudul “Observations on the State of Degradation to which Woman is Reduced by Various Causes,” Wollstonecraft mengutip pendapat dari beberapa pemikir laki-laki di zamannya. Di mana pemikira itu menyatakan bahwa “perempuan kurang rasional, terlalu emosional, berpikiran lemah, plin-plan dan lebih banyak terlibat dalam hal-hal yang remeh.”

Namun berbeda dari pendahulu-pendahulunya. Dia percaya bahwa kondisi perempuan yang terbelakang adalah akibat dari ketimpangan pendidikan. Selain itu tidak meratanya kesempatan yang perempuan dapatkan dibandingkan laki-laki, sehingga membuat perempuan terus-menerus bergantung kepada laki-laki.

Bagi Wollstonecraft, ketergantungan material perempuan pada laki-laki memaksanya untuk menikah. Yakni dengan asumsi bahwa ia tidak dapat melakukan semuanya sendirian tanpa laki-laki. Hasilnya adalah perempuan akan terus “dilacurkan secara hukum” dalam lingkup pernikahan.

Perlindungan dan arahan laki-laki, yang sebelumnya, menurut Kant, menguntungkan perempuan, justru Wollstonecraft anggap sebagai penyebab utama degradasi perempuan.

Baca Juga:

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Semua Adalah Buruh dan Hamba: Refleksi Hari Buruh dalam Perspektif Mubadalah

Menikah atau Menjomlo: Mana yang Lebih Baik?

Perempuan selalu kita anggap sebagai makhluk yang secara alamiah lemah dan rapuh, sehingga mereka mau tak mau harus mengandalkan laki-laki. Wollstonecraft membongkar kedok pandangan ini. Dia mengklaim bahwa kelemahan perempuan, baik secara moral dan intelektual, adalah produk dari asumsi liar patriarki yang terus kita pertahankan. Tujuannya agar supaya perempuan bersedia melayani kepentingan-kepentingan laki-laki.

Di sisi lain menurutnya, gagasan tentang kesempurnaan perempuan yang terletak pada kecantikan fisik, sementara laki-laki terletak pada pikirannya adalah prasangka laki-laki saja.

Terlepas dari itu, dia tidak menyepelekan pentingnya pernikahan. Dia menyatakan bahwa pernikahan adalah “fondasi dari hampir setiap kebajikan sosial.” Namun begitu, ia mengakui adanya masalah dalam konsepsi pernikahan kita.

Yang bermasalah dalam pernikahan adalah situasi perempuan yang terkungkung dalam paradigma bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain menikah. Perempuan tidak memiliki peluang untuk maju secara intelektual dan tidak dapat mandiri secara ekonomi.

Cinta Persahabatan

Meskipun Wollstonecraft tidak mengabaikan pentingnya cinta dalam pernikahan, ia tetap mempertanyakannya. Menurutnya, selama cinta hanya kita pandang sebagai “nafsu hewani”, maka cinta tersebut akan berumur pendek. Lebih jauh, ide tentang cinta romantis saat ini sangat tidak realistis sehingga perempuan dan laki-laki mendapat tuntutan untuk sama-sama “mengejar kesempurnaan” yang pada dasarnya ilusif.

Cinta yang Wollstonecraft harapkan adalah cinta persahabatan. Persahabatan adalah ikatan yang berdasarkan pada penghargaan, “prinsip-prinsip egaliter, dan diperkuat oleh waktu.” Persahabatan dapat mengalahkan “ketakutan tak berdasar dan kecemburuan yang membabi buta.”

Atas nama cinta dan egoisme sekaligus menumbuhkan “kepercayaan dan rasa hormat yang tulus.” Jadi, menurut Wollstonecraft, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang berdasarkan pada persahabatan.

Dukungan John Stuart Mill

Dalam salah satu karyanya, ‘The Subjection of Women’, John Stuart Mill melanjutkan argumen yang Wollstonecraft ajukan mengenai pernikahan yang berdasarkan pada persahabatan. Namun, Mill sedikit memperluas masalah pernikahan ke isu-isu perbudakan. Menurutnya ada unsur-unsur perbudakan dalam pernikahan.

Jauh lebih eksplisit dari Wollstonecraft, Mill membahas perbudakan perempuan dalam pernikahan tidak hanya melalui pencabutan hak politik dan ketergantungan material semata. Tetapi juga melalui hak absolut suami untuk berhubungan seks. Lalu bertambah dengan tuntutan suami terhadap temperamen dan kepribadian pasangannya.

Mill mengklaim bahwa “laki-laki menginginkan kepatuhan perempuan bukan sebagai budak yang dipaksakan tetapi budak yang patuh dengan suka rela. Bukan budak sekadar budak tetapi budak kesayangan.”

Menurut pandangan ini, bahkan perasaan cinta yang perempuan anggap sebagai jaminan bahwa suaminya akan tulus kepadanya pun patut kita curigai. Karena perasaan cinta sering kali hadir dalam kondisi sosial yang tidak memberikan kebebasan berpikir dan kemandirian yang cukup bagi perempuan. Olehnya sering kali cinta tidak jauh berbeda maknanya dengan egoisme dan superioritas gender.

Maka dari itu, Mill pernah berkata bahwa “hukum perbudakan dalam pernikahan merupakan kontradiksi yang mengerikan terhadap semua asas dunia modern.… Pernikahan adalah satu-satunya perbudakan yang sebenarnya yang terkenal dalam hukum kita. Tidak ada lagi budak yang sah, kecuali nyonya rumah.” Mill mengungkap adanya dominasi psikologis berupa “suap dan intimidasi” yang laki-laki lakukan terhadap perempuan dalam pernikahan.

Sampai di sini, jelas bahwa Wollstonecraft dan Mill menantang gagasan pernikahan dengan esensialisme gender yang masih Immanuel Kant percayai. Mereka menolak pernikahan sebagai puncak dari perkembangan manusia atau fondasi bagi cinta yang luhur. Selama pernikahan tersebut tidak berdasarkan pada persahabatan dan prinsip-prinsip yang egaliter. []

Tags: feminismefilsafatkeluargaKonsep CintapernikahanRelasi
Fadlan

Fadlan

Penulis lepas dan tutor Bahasa Inggris-Bahasa Spanyol

Terkait Posts

perempuan di ruang domestik

Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

9 Mei 2025
PRT

Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

9 Mei 2025
Aurat dalam Islam

Aurat dalam Islam

9 Mei 2025
Menikah adalah Separuh Agama

Benarkah Menikah Menjadi Bagian dari Separuh Agama?

9 Mei 2025
Kopi Kamu

Kopi Kamu: Ruang Kerja Inklusif yang Mempekerjakan Teman Disabilitas

8 Mei 2025
Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan

Menikah sebagai Kontrak Kesepakatan

8 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Kesaksian Perempuan

    Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Perempuan Menurut Abu Hanifah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama
  • Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?
  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai
  • Aurat dalam Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version