Mubadalah.id – Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi ya gais. Sebagai anak baru yang lumayan nggak baru banget di lingkaran gerakan perempuan. aku melihat banyak fenomena terjadi dalam lingkaran aktivisme gerakan perempuan. Salah satunya adalah persoalan kampanye “women support women,” yang sepertinya “kita juga butuh banyak refleksi.”
Gerakan “women support women” menjadi sebuah agenda andalan gerakan perempuan untuk memberikan dukungan kepada sesama perempuan tanpa memandang latar belakang seorang perempuan. Namun, pernahkah kita berpikir gimana sih realitasnya gerakan ini bisa bergaung oleh aktor penggerak kampanyenya?
Realita Dukungan dalam Gerakan Perempuan
Realitanya dalam gerakan perempuan isinya bukan hanya perempuan-perempuan hebat yang bisa pasang badan untuk menentang kekerasan. Tapi gerakan perempuan juga menghadapi hambatan struktur sosial, politik, dan kekuasaan yang berwatak patriarki. Dinamikanya pun bagaikan roller coaster.
Oleh karenanya strategi dan orientasinya juga mengalami perubahan, apalagi ketika berhadapan dengan persoalan kekuasaan. Di sinilah letak hambatan yang gerakan perempuan alami. Dalam konteks individu misalnya, masih ada saja oknum yang masih melakukan peminggiran terhadap perempuan lain.
Membicarakan rekan sesama aktivis perempuan yang tidak punya paradigma yang sejalan, atau hanya sekedar memberikan sikap “side eye” ke sesama aktivis perempuan yang perilakunya berbeda. Biasanya memang oknum begini masih membutuhkan pelatihan kapasitas untuk mengubah cara pandangnya.
Belum lagi dalam hal komunitas, harus kita akui bahwa gerakan perempuan saat ini banyak yang masih bergantung secara finansial dari pihak ketiga. Yah mau gimana lagi ya, karena kita hidup di negara yang masih kurang memberi perhatian khusus pada isu kesetaraan gender. Sehingga kerap kali gerakan perempuan terjebak pada urusan yang sangat administratif sehingga mengabaikan permasalahan substansial perempuan.
Semuanya ingin berlari mencapai kedudukan tertinggi, saingan eksistensi dan capaian jadi hal yang sering kita temui. Klaim kader terbaik mulai terbiasa dilakukan antara satu lembaga dan lembaga lainnya.
Meskipun begitu, kita juga nggak boleh menghilangkan fakta bahwa orang-orang yang ada dalam lingkaran aktivisme gerakan perempuan juga manusia yang bisa merasa marah, kesal, kecewa, dll.
Layaknya seorang dokter yang juga bisa sakit. Aktivis juga boleh marah dan kecewa dengan sesama perempuan, tetapi dengan catatan jangan sampai kita terjebak dalam budaya yang misoginis.
Lalu, jika begitu apakah gerakan “women support women” hanya jadi wacana dalam lingkaran aktivisme gerakan perempuan? Untuk pertanyaan ini, mari kita simak mengapa women support women ini menjadi PR yang sama panjangnya dengan urusan kesetaraan gender.
Akses Bagi Perempuan yang Terbatas
Dunia yang didominasi oleh laki-laki tidak jarang membuat ruang-ruang bagi perempuan semakin sempit. Nilai-nilai patriarki yang menempatkan perempuan di bawah kuasa laki-laki makin mengakar dan mempengaruhi budaya kita. Persaingan jadi semakin meresap ke alam bawah sadar kita. Akhirnya kita jadi patuh pada budaya yang berwatak patriarki.
Dengan adanya persaingan, peminggiran perempuan yang tidak disukai karena perilaku atau karakternya. Selain itu, perebutan eksistensi, akses akan semakin sulit teradvokasi oleh gerakan perempuan. Padahal akses merupakan satu indikator penting agar perempuan bisa berdaya.
Tantangan lain yakni sistem budaya masyarakat kita yang lebih melihat ruang publik lebih berharga dan lebih dihargai ketimbang ruang domestik. Sehingga semakin banyak juga laki-laki dan perempuan yang bersemangat untuk masuk dalam ruang publik, tetapi ruang yang tersedia tidak seimbang dengan semangat kita.
Lingkaran yang Sudah Besar Jangan Jadi Kecil
Bayangkan saat ini kita berada dalam lingkaran besar yang sudah kita namai “women support women”. Tetapi, karena persoalan kecemburuan dan persaingan tadi, dan kita merasa kita sudah punya kapasitas lalu kita membuat ruang tandingan baru dengan istilah “Girls support girls.” Bukankah ruang pertama akan semakin mengecil? Padahal spirit yang kita gaungkan punya tujuan yang sama.
Sadar atau tidak, dengan semakin kita memperbesar rasa kecemasan dan persaingan tadi terhadap kemajuan perempuan lain, hal itu semakin mempersempit jaringan pertemanan kita. Kita seakan membuat lingkaran-lingkaran kecil yang baru, padahal sudah ada lingkaran besar yang harus kita dukung agar semakin terdengar oleh publik.
Dengan tajamnya gesekan ini bukankah orang awam akan semakin enggan bersentuhan dengan feminisme? Apalagi orang yang membenci feminis juga mungkin akan tertawa karena kita menunjukkan ketidaksolidan kita dalam membangun sinergitas.
Apalagi, ada juga teman-teman perempuan penggerak HAM untuk isu-isu sensitif seperti isu seksualitas dan toleransi yang rentan menjadi sasaran diskriminatif dan persekusi. Bukankah mereka akan semakin kita jauhkan dari keadilan? Ketahuilah bahwa urgensi dalam mengadvokasi isu lebih penting daripada memenuhi ego internal.
Satu hal yang juga krusial adalah soal regenerasi. Karena keberlanjutan organisasi sangat bergantung pada proses regenerasi yang baik. Regenerasi ini, bukan hanya menyangkut keanggotaan secara kuantitas, melainkan yang lebih signifikan yaitu regenerasi ideologi untuk menjamin perjuangan perempuan agar tetap eksis.
Jadi, mulailah untuk lebih legowo melihat semua perempuan maju. Siapapun dia, dari manapun asalnya, atau apapun warna yang ia pilih. Jangan sampai kita menumbuhkan crab mentality dalam diri atau komunitas kita. Terus bergerak dengan tetap menerima, saling mendukung, dan jauhkan kontrol negatif yang dapat menyebabkan perpecahan dengan kawan kita. []