Mubadalah punya semangat etik yang bersumber dari ajaran-ajaran tasawuf. Demikian kalau saya tidak salah tangkap dari paparan yang disampaikan Kang Faqih Abdul Kodir, Selasa 12 Desember 2019, kemarin siang. Mubadalah meniscayakan adanya self-reflection (refleksi diri) dalam segala upaya pemaknaannya terhadap teks dan realitas.
Dalam praktiknya, sebagai sebuah tawaran etis, Mubadalah mendatangi orang-orang tidak dengan menggugat dan mendebat, bahkan menyalahkan pandangan yang berbeda. Tapi lebih pada dialog yang membangkitkan kesadaran dari dalam individu. `
Dalam semesta mubadalah, teks dilihat dalam tiga aspek, mabadi’, qawa’id, dan juz’i. Mabadi’ adalah teks yang mengandung nilai-nilai dasar Islam seperti yang disebutkan dalam maqashid syari’ah. Mabadi’ adalah prinsip utama kehidupan seperti kemaslahatan, keadilan, keamanan, kebaikan, kehormatan, dan sebagainya.
Qawa’id adalah teks yang mengandung nilai dasar Islam yang sudah berada pada bidang tertentu seperti dalam perdagangan dan sejenisnya, ada prinsip taraadhin (saling ridho), jujur, tidak menipu, dan sebagainya.
Sementara juz’i adalah teks tentang perilaku, perbuatan, atau sikap yang spesifik seperti hubungan seks suami istri, pemberian nafkah, kepemimpinan perempuan, dan sebagainya.
Ketiga aspek teks ini berada pada posisi hierarkis sehingga dalam pemahaman mubadalah, teks yang bersifat juz’i tidak boleh bertentangan dengan yang qawa’id. Begitupun, yang qawa’id tidak boleh bertentangan dengan yang mabadi’.
Secara terbalik kita bisa mengatakan, yang mabadi’ memayungi (menjadi prinsip bagi) yang qawa’id, dan yang qawa’id memayungi yang juz’iyyat.
Dari sini kita tahu bahwa nilai-nilai kemanusiaan, atau sebutlah “Yang Etik” dalam metode mubadalah bukan hanya soal strategi menyampaikan gagasan tapi yang lebih penting adalah tentang yang mabadi’ dan mungkin yang qawa’id di atas.
Selanjutnya saya beranggapan bahwa yang mabadi’ (dengan asumsi inilah nilai yang tetap dan universal) harus dicari qawa’id bahkan juz’iyyatnya dalam kehidupan relasional yang lain, selain relasi perempuan-lelaki. Kita pun bisa meminjam praksis interpretasi mubadalah seperti melakukan proses tabdil terhadap teks-teks yang mafhum (implisit).
Mubadalah untuk Relasi Lainnya
Kerangka di atas tadi mungkin akan bermanfaat bagi kita untuk mencari teks-teks relasional lainnya yang di tengah kehidupan kita saat ini terjadi ketimpangan, diskriminasi. Agaknya Quran sudah memberikan kita petunjuk yang amat jelas tentang relasi yang potensial terjadi diskriminasi di dalamnya.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ …
“Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa.” (QS. Al-Hujarat [49:13])
Pertama, ayat tersebut bicara tentang relasi eksistensial yang bersifat primer sebagai sebuah pemberiaan (penciptaan)- khalaqa, yakni jenis kelamin. Relasi inilah yang paling banyak disorot Quran dan dibahas dalam banyak tempat. Tapi Quran juga menjelaskan tentang relasi yang merupakan konstruksi (ja’ala) seperti adanya suku dan kabilah.
Kedua, kata “an-naas” memberikan pemahaman pada kita bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya selalu mengandung relasi. Karena setiap manusia diciptakan dalam “bentuk” yang berbeda-beda.
Ketiga, sebagai sebuah konstruksi, relasi manusia yang berpotensi berlangsung secara tidak setara (diskriminatif) pada akhirnya bisa sangat banyak. Untuk menyebut beberapa misalnya, relasi antar pemeluk agama dan keyakinan, mayoritas-minoritas dalam sebuah bangsa, bangsa penjajah-koloninya, negara maju-negara berkembang, pemilik modal-buruh, borjuis-proletar, dan lain sebagainya.
Keempat, segala relasi itu akan menjadi relasi yang membahagiakan, bukan relasi yang diskriminatif, jika didasari pada prinsip “saling mengenal” (ta’aarafuu).
Pada saat menyadari ayat ini mempunyai pesan yang sangat luar biasa, saya segera bertanya kepada KH Husein Muhammad, kenapa ayat ini menggunakan kata ‘arafa bukan ‘alama? Kemudian beliau menjelaskan bahwa ‘arafa bukan hanya “mengetahui” secara dangkal seperti kita mengenal orang lain dari namanya, jenis kelaminnya, alamatnya, agamanya, bangsanya, sukunya, rasnya, atau bahasanya, melainkan lebih pada memahami betul hakikat orang itu.
Dalam upaya untuk saling memahami itu, Islam mengajarkan tentang cinta dan kasih kepada sesama manusia. Bisa dikatakan, cinta adalah semacam tali yang menghubungkan antara manusia satu dengan manusia yang lainnya, juga yang menghubungkan manusia dengan sumber Cinta.
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
“Tidak beriman seseorang di antara kamu kecuali mencintai untuk orang lain apa yang dicintai untuk dirinya sendiri.” (Musnad Ahmad No. 14083)
Islam, bagi seorang muslim, adalah agama kasih (rahmat) bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Tadi siang, Kiai Husein menjelaskan tiga makna kata “rahmat.” Pertama, rahmat berarti riqqotul qolbi (merasakan apa yang dirasakan orang lain/empati); kedua, al-luthfu (lembut) baik perangai maupun cara bicaranya); ketiga, maghfiroh, memaafkan atas keluputan yang telah terjadi sebelumnya.
Ketiga makna rahmat tersebut sekaligus menjadi tawaran bagi kita untuk menjawab masalah-masalah diskriminasi yang terjadi di tengah kehidupan. Baik dalam relasi kehidupan umat beragama, kehidupan antar bangsa, antar negara, antar suku, antar kelas sosial-ekonomi, antar majikan-buruh, antar rakyat-penguasa, dan sebagainya. Meski tentu saja dibutuhkan lebih banyak pencermatan lanjutan dan kajian lebih mendalam.
Mungkin akan muncul lebih banyak lagi alternatif-alternatif yang bisa diusulkan berdasarkan pada waqi’i (realitas) partikular yang berbeda-beda. Dengan tetap bersumber pada mata air yang satu: tauhid. Bahwa hanya Allah yang patut disembah. Dialah yang berada pada posisi tertinggi. Oleh karena itu, yang selain-Nya, termasuk manusia memiliki relasi yang setara antar sesamanya. Tidak ada yang lebih tinggi antara satu dibandingkan yang lain.[]