Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu seseorang yang mengaku memiliki penyakit mental yaitu depresi mendatangi saya. Sebut saja namanya Sansivera, bukan nama sebenarnya. Ia mengatakan sudah berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri. Ia menceritakan banyak hal tentang dirinya ke saya dan meminta bantuan, padahal kami baru saling mengenal.
Singkat cerita saya membantunya. Namun, ternyata keadaaan berbalik. Saya mendapat berbagai macam fitnah. Saya yang membantunya justru dituduh ingin mengajaknya belajar yang tidak benar. Kabar buruk saya terima dari teman-teman saya yang melaporkan fitnah itu.
Selain membawa ke tempat tidak benar, dia dan teman-temannya menfitnah bahwa saya sengaja membuat Sansivera bergantung pada saya agar dia mengikuti apa kata saya. Padahal ia datang ke saya dan mengatakan tak punya uang, tentu saya membayari makan dan beberapa keperluannya. Bukan karena saya punya uang, tapi karena saya tidak ingin membiarkannya mati kelaparan juga melakukan percobaan bunuh diri lagi.
Anehnya fitnahan itu bergulir, Sansivera bergeming dan malah menghentikan kontak dengan saya. Saya kemudian konsultasi ke beberapa orang tentang hal ini. Saya konsultasi ke penderita penyakit mental, depresi berat dan bipolar.
Teman saya ini sudah belasan tahun mengalami depresi dan melakukan percobaan bunuh diri. Lalu saya konsultasi juga pada psikolog, hasilnya saya disuruh berhati-hati dengan Sansivera. Ternyata dia attention seeker (pencari perhatian) dan mencari keuntungan di baliknya.
Penyakit Mental
Penyakit mental kini bukanlah hal aneh dan tabu. Hampir semua orang mengetahui isu ini. Film, series, drama korea banyak mengangkat isu ini. Ada pula info di reels dan tiktok tentang kesehatan mental. Juga para psikolog yang kini mulai aktif membagikan konten tentang kesehatan mental.
Meski akhirnya masyarakat sadar dan menjadi hal positif, namun ternyata ada yang menjadikan isu ini sebagai kesempatan untuk menipu orang, memanipulasi, atau mencari perhatian agar viral belaka. Banyak penyintas yang menceritakan pengalaman dan prosesnya ketika konsultasi ke psikolog atau psikiater di media sosial.
Mereka menceritakan pengalaman dengan detail dan akurat. Banyak orang kini bisa mengakses psikolog dan psikiater, bahkan bisa menggunakan BPJS. Hal ini justru dimanfaaatkan oleh orang manipulatif untuk mencari korban.
Pergi ke psikolog dan psikiater di masa ini bukanlah hal memalukan. Bahkan banyak orang bangga dengan penyakitnya. Jika dahulu masyarakat menganggap orang yang ke psikolog itu gila, kini malah banyak orang ingin dianggap orang yang sakit jiwa. Tentu hal ini bagus, artinya banyak orang sadar akan kesehatan mental.
Banyak hal fatal bisa dicegah. Misalnya, orang yang sudah ingin bunuh diri dan bertemu psikiater biasanya bisa sembuh dengan terapi. Orang yang menyiksa anak-anak karena depresi bisa menjadi normal dan mengendalikan amarah.
Mengaku Menjadi Penyintas agar Viral dan Mendapat Keuntungan
Meski kesadaran akan kesehatan mental ini bagus, namun ternyata hal ini juga memberi dampak negatif. Beberapa orang manipulatif justru menggunakan ini untuk menipu. Mereka mempelajari dengan baik detail orang-orang yang memiliki penyakit mental. Mereka juga mempelajari detail gejala serta bagaimana mengaku sebagai penyintas.
Banyak orang meminta belas kasihan dan mencari perhatian lewat hal ini. Seiring dengan kesadaran masyarakat, mereka justru menghargai dan mendukung penyintas dengan berbagai cara. Baik dengn moral maupun materi. Beberapa orang juga melakukan diagnosis mandiri hanya untuk meminta perhatian dan mendapat kemudahan dari orang lain.
Depresi
Penderita depresi atau penyintas tidak biasanya menceritakan tentang dirinya pada orang baru. Penyintas biasanya tidak ingin menceritakan kehidupannya, beberapa orang justru malu. Beberapa bercerita untuk edukasi, namun pada umumnya saat kondisinya sudah mulai stabil. Beberapa penyintas juga tidak ingin dikasihani dan memilih untuk bercerita pada orang-orang yang dipercaya saja.
Seorang teman yang bipolar dan pernah beberapa kali mencoba bunuh diri bercerita pada saya bahwa ia sudah mengalami depresi selama belasan tahun, tapi ia tidak tahu. Ya, zaman dulu isu ini masih belum dikenal.
Barulah tiga tahun terakhir isu ini mulai mencuat dan ia mulai terapi ke psikiater. Dari sana lah ia mengetahui bahwa ia memiliki penyakit mental. Dan kala itu dia benar-benar tidak menceritakan kondisinya pada siapa pun. Termasuk kondisinya yang ingin bunuh diri. Ia sangat tidak stabil dan tidak bisa bercerita dengan leluasa. Ia baru bisa menceritakan kondisinya setelah bertahun-tahun menjalani terapi dan sudah mulai membaik.
Sekarang ia sering berbagi tentang penyakitnya untuk edukasi dan agar orang-orang lebih waspada. Pada umumnya orang yang benar-benar sakit menceritakan pengalaman untuk tujuan edukasi, bukan mencari perhatian.
Jadi, marilah kita lebih waspada pada orang-orang manipulatif yang memanfaatkan kondisi ini. Kita perlu mempelajari betul gejala dan kondisinya, sehingga kita tidak menjadi korban dari orang-orang manipulatif. Justru kasihan penyintas betulan yang butuh pertolongan tapi tidak mampu menceritakan kondisinya. []