Mubadalah.id – Narasi-narasi yang membahas bahwa perempuan adalah salah satu kelompok rentan di masa pandemi covid-19 sudah banyak dilakukan. Hal tersebut terus digencarkan dan diberitakan oleh berbagai pejuang keadilan sebagai upaya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat yang selanjutnya diharapkan bisa ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan oleh perempuan.
Perempuan dalam kondisi pandemi memang menerima banyak tantangan. Siaran Pers (14/10/20) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menyampaikan bahwa perempuan sebagai Ibu juga berperan penting dalam menjaga kesehatan keluarga. Tentu hal tersebut selain memang kewajiban perempuan juga tantangan baru yang dihadapi di masa pandemi seperti saat ini.
Tulisan ini berusaha untuk menguraikan beberapa hal berkaitan dengan alasan-alasan perempuan menjadi salah satu kelompok rentan di masa pandemi. Pusat Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS) dari Kementerian Sosial pada artikel yang berjudul “Perlindungan Kelompok Rentan di Era Pandemi covid-19” menyebutkan bahwa ada beberapa kelompok rentan di era pandemi antara lain adalah perempuan, penyandang disabilitas, lansia, penderita penyakit bawaan (komorbid) dan pekerja sektor formal.
Perempuan sebagai kelompok rentan mungkin menjadi menimbulkan pertanyaan bagi beberapa orang yang masih bingung mengenai: apa pengaruh atau alasan perempuan menjadi salah satu kelompok rentan di masa pandemi?
Artikel yang ditulis oleh Helen Jaqueline McLaren dkk yang bertajuk COVID-19 and Women’s Triple Burden: Vignettes From (Sri Langka, Malaysia, Vietnam dan Australia) telah memaparkan dari beberapa hasil penelitian terhadap fenomena memprihatinkan yang dialami oleh perempuan, hal tersebut juga sekaligus sebagai alasan mengapa perempuan termasuk kelompok rentan.
Perempuan pada masa sebelum pandemi telah mendapatkan beban yang berat. Beban-beban tersebut lahir dari peran perempuan di ranah publik maupun domestik. Kasus demikian banyak terjadi pada perempuan yang berkarir atau pekerjaan di ruang publik. Beban yang telah lahir sejak pra-pandemi akhirnya juga melahirkan ketidaksetaraan atau adanya penindasan terhadap perempuan. Lahirnya ketidaksetaraan atau penindasan adalah pertanda jauhnya perempuan untuk mencapai kesejahteraan.
Pandemi covid-19 menambah beban kepada perempuan yang memiliki dampak pada resiko penularan covid-19 terhadap perempuan. Artinya, karena ada ketidakadlilan dalam kebijakan yang diberikan mengakibatkan perempuan khususnya yang bekerja di sektor publik adalah salah satu kelompok rentan terinfeksi oleh virus covid-19.
Beban tambahan yang lahir di masa pandemi meliputi beban produksi, beban reproduksi dan beban komunitas. Beban produksi adalah beban yang diterima perempuan dari dunia kerja. Beban reproduksi adalah beban perempuan yang diterima dari peran reproduksi seperti melahirkan, mens, dan menyusui. Sedangkan, peran komunitas adalah beban yang ia terima sebagai ibu rumah tangga dengan kuatnya budaya patriarkhi dan peran-peran tradisonal perempuan di tengah masyarakat. Sedangkan beban komunitas adalah beban perempuan yang lahir dari peran-peran perempuan di ruang publik.
Poin-poin tersebut dikuatkan dengan beberapa kasus tentang perempuan yang terjadi di beberapa negara. Penulis akan menguraikan mengenai tiga beban yang diterima oleh perempuan di tengah pandemi dengan beberapa data temuan Helen dkk di empat negara.
Pertama, Kasus yang terjadi di Sri Langka adalah diskriminasi terhadap perempuan pekerja kesehatan. Mereka tidak mendapatkan fasilitas penginapan di Rumah Sakit. Dengan demikian perawat perempuan di Sri Langka sangat rawan tertular dan menularkan virus covid 19, hal ini merupakan beban produksi. Selain itu, perawat perempuan masih dituntut untuk menjalankan peran reproduksinya sebagai pengasuh anak dan lansia atau kerabat di keluarganya, hal tersebut terjadi akibat kuatnya budaya patriarkhi.
Kedua, kasus pengucilan perempuan di Malaysia. Perempuan-perempuan di masa pandemi tidak memiliki akses untuk keluar rumah. Pemerintah menetapkan suatu peraturan bahwa yang diizinkan untuk keluar rumah berjumlah satu orang dan khususnya kepala keluarga. Perempuan-perempuan yang memiliki karir di ranah publik harus bekerja dari rumah dan ditambah dengan bebannya untuk mengurus urusan domestik di rumah sebagai peran reproduksi yang dimilikinya.
Ketiga, kasus peran reproduksi perempuan yang berakar di Vietnam. Perempuan karir di Vietnam juga memiliki beban yang berat saat dunia patriarkhi masih mengakar kuat. Mereka harus tinggal bersama keluarga untuk bekerja di rumah sekaligus mengurus anak dan melayani suami selama masa pandemi.
Anggapan tentang seorang perempuan yang bisa melayani suami dengan baik sebagai bentuk kemewahan adalah impian dari perempuan di Vietnam. Konstruksi pemikiran demikian yang semakin memperburuk keadaan perempuan ditengah pandemi karena beban yang berlipat ganda.
Keempat, kasus beban perempuan dan tanggung jawab pengasuhan anak di Australia. Fenomena yang lain juga terjadi di Australia, semua tanggung jawab pengasuhan anak jatuh kepada perempuan. Perempuan memiliki tuntutan untuk mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik sebagai pemenuhan terhadap peran produksinya.
Akan tetapi, urusan mengasuh, mengantarkan anak ke layanan penitipan anak tetap menjadi tugas seoarang perempuan. Tidak adanya pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga akhirnya menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan berupa pelimpahan beban yang bertumpuk pada perempuan.
Uraian yang telah disampaikan diatas memberikan kesimpulan bahwa perempuan khususnya yang bekerja di sektor publik di masa pandemi memiliki resiko tinggi terpapar covid-19. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya kebijakan pemerintah yang mengarah pada kesejahteraan terhadap perempuan. Harapannya para pembaca mendapat informasi baru tentang perempuan sebagai kelompok rentan dan lebih peduli kebutuhan perempuan. Sekian. []