Mubadalah.id – Umat Islam di Indonesia, terdiri dari berbagai unsur yang berbeda. Mereka berasal dari latar belakang keagamaan, pendidikan, pelaksanaan ajaran-ajaran agama serta kemampuan ekonomi, peran politik dan lain-lain yang berbeda. Kondisi semacam ini jika tidak kita sikapi dengan bijak maka akan cenderung memunculkan benih-benih konflik. Sehingga bagaimana upaya umat Islam untuk memperkuat perdamaian.
Namun menurut Azyumardi Azra, ternyata negara Indonesia masih tergolong sebagai negara yang damai meski penduduknya berasal dari unsur yang sangat majemuk. Meski masih kerap terjadi kegaduhan politik atau konflik-konflik ringan, namun sejauh ini masyarakat Indonesia masih berhasil menjaga keutuhan perdamaian. Namun tentunya, menurut beliau hal ini masih belum bisa dianggap final. Indonesia masih memiliki tugas penting untuk mempertahankan atau bahkan makin memperkuat perdamaian yang ada.
Secara singkat, beliau menyebutkan beberapa poin yang hendaknya kita lakukan untuk bisa melaksanakan tugas tersebut dengan baik (baca: NU Online, 20 Juli 2022 “Guru Besar Sejarah islam Azyumardi Azra: Perdamaian di Indonesia Perlu Diperkuat”). Penulis di sini hanya menyebutkan ulang poin-poin tersebut dengan disertai sedikit komentar sejauh kemampuan penulis. Berikut poin-poin tersebut:
Menengok kembali sejarah
Sejarah keberislaman di Indonesia, yang dulunya terkenal dengan Nusantara berawal sejak kira-kira abad ke-13. Menurut satu versi, pada saat itu Islam terbawa oleh pedagang yang berasal dari Gujarat, India. Sembari berdagang, mereka menyebarkan Islam kepada penduduk yang mereka temui. Pada saat itu, transportasi lintas negara mayoritas menggunakan kapal laut. Oleh karena itu, penduduk pesisir menjadi pihak pertama yang menerima ajaran Islam.
Selain dengan menggunakan metode berdagang, para pendakwah Islam dari mulai melakukan akulturasi lebih lanjut dengan penduduk lokal. Sebagian dari mereka menikahi warga pesisir. Hal ini lambat laun membuat keluarga yang dinikahi tersebut meninggalkan kepercayaan lamanya dan beralih untuk masuk Islam. Mereka memilih untuk memeluk Islam dengan suka rela dan tanpa paksaan.
Poin yang dapat kita tarik dari sejarah ini, adalah bahwa Islam terbawa ke Nusantara dengan jalan damai dan toleran. Para pembawa Islam pada masa-masa awal mencerminkan Islam sebagai agama yang anti kekerasan, ramah dan tidak anarkis. Cara semacam inilah yang membuat agama Islam mampu bertahan dan tetap dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia saat ini.
Sekarang coba kita bandingkan masuknya Islam ke Spanyol misalnya, yang nota bene menggunakan jalan perang dan penaklukan wilayah kekuasaan. Maka kita lihat sekarang, perkembangan Islam di Spanyol tidak begitu signifikan. Tercatat hanya 4% penduduk Spanyol yang beragama Islam.
Pertanyaannya mengapa? Tak lain karena setiap hal, apapun itu jika kita awali dengan cara kasar dan anarkis, maka hanya akan terikuti sejauh mana hal itu masih menakutkan. Alih-alih mencintai, mereka hanya akan memeluk Islam karena takut akan pemerintahan yang tengah berlangsung.
Saat ini, dalam perkembangannya alangkah baiknya jika kita kembali berusaha mencitrakan Islam sebagaimana awal mula ia masuk ke Nusantara. Alih-alih terlarut dalam isu-isu radikalisme yang seringkali masih muncul, lebih baik kita menampilkan sikap, perilaku dan keberagamaan yang toleran dan jauh dari sifat anarkisme. Tak lain karena dengan begitu, maka Islam akan lebih mudah penerimannya oleh tiap lapisan masyarakat.
Memaksimalkan potensi pesantren
Pada awal perkembangannya, salah satu unsur keberagamaan Islam di Indonesia yang penilaiannya unik dan berbeda dengan kehidupan Islam yang ada di belahan dunia lain adalah adanya pesantren. Pesantren di Indonesia, adalah satu institusi Islam yang murni tumbuh dari rahim kultur Indonesia sendiri. Ia tumbuh, berkembang dan memainkan peran penting dalam kebudayaan Islam Indonesia.
Pesantren sebagai lembaga kultural di Indonesia memegang peran yang luar biasa urgen dalam misi penyebaran Islam. Tak hanya itu, pesantren juga menjadi pusat sebagian besar kegiatan hidup penganut Islam di Indonesia. Semenjak awal, kehidupan di pesantren mencerminkan nilai-nilai kerukunan, ramah, toleransi dan perdamaian. Berbagai unsur yang berbeda menyatu dalam kehidupan bersama di pesantren.
Potensi besar ini akan memiliki daya guna jauh lebih maksimal jika kita bisa memaksimalkan potensi pesantren. Kesempatan untuk terlibat dalam ruang publik, menyetarakan akses informasi dan edukasi serta mengalih digitalkan aspek-aspek tertentu dari pesantren dapat kita lakukan. Misal naskah keilmuan yang pesantren kaji, informasi, kegiatan dan lain-lain yang tersebar dengan masif menggunakan kemajuan teknologi saat ini, akan dapat memperluas jangkauan pesantren dalam menyebarkan keberislaman yang moderat.
Memperkuat potensi ekonomi dan kehidupan sosial
Tak dapat kita pungkiri, kesenjangan ekonomi dan berbagai aspek kehidupan sosial lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, bidang pekerjaan hingga politik dapat menjadi penyebab munculnya intoleransi di masyarakat. Terlebih dengan masifnya perkembangan internet dengan penggerak media sosial saat ini, kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan yang idealnya seimbang dapat dengan mudah kita temukan.
Misal, dalam kesempatan kerja dan pendidikan. Faktor-faktor seperti privilege keturunan, relasi, akses transportasi dan lain-lain dapat dengan mudah kita temukan menjadi jurang pemisah yang cukup lebar antar beberapa pihak. Kita tak dapat memungkiri bahwa mereka yang hidup di kota, dengan privilege kedekatan tertentu dengan suatu elite politik atau elite pendidikan akan mendapatkan akses pekerjaan dan pendidikan yang lebih layak dari pada mereka yang sebaliknya.
Terlebih dengan penggunaan media sosial yang masif belakangan ini, kita makin mudah mendapatkan akses untuk melihat ‘keberhasilan’ orang lain lalu membandingkannya dengan diri kita sendiri. Oleh karena itu, menjadi tugas kita bersama –pemerintah terutama– untuk memaksimalkan kesetaraan peluang ekonomi, akses pendidikan, kesehatan dan unsur-unsur penting kehidupan sosial lainnya. Agar kesenjangan antara kelas mesyarakat dapat kita jembatani.
Mungkin ini bukan tugas yang mudah. Tapi kita sebagai bagian dari komunitas majemuk di Indonesia bisa memulainya dengan melakukan langkah-langkah kecil. Dengan harapan, kesenjangan sosial antar berbagai pihak dapat terjembatani dengan baik. Allahu a’lam.