Mubadalah.id – Salah satu kewajiban orang tua terhadap anak adalah pendidikan. Hal ini menjadi tanggung jawab orang tua supaya seorang anak dapat tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas, dan pintar.
Namun sayangnya, dalam memberikan pendidikan kepada anak, masih ada sebagian orang tua yang menggunakan pola mendidik dengan cara kekerasan. Bahkan tidak sedikit yang menganggap bahwa pemukulan kepada anak termasuk sebagai salah satu metode mendidik yang baik.
Saya sebagai anak yang hidup di desa, saya pernah merasakan pendidikan dengan cara pemukulan seperti di atas. Orang tua, terutama ayah merupakan sosok yang cukup keras dalam mendidik saya.
Tidak jarang, ayah kerap memarahi saya ketika saya main keluyuran tanpa batas waktu. Selain itu, ayah saya juga kerap memukul betis kaki saya dengan menggunakan rotan ketika saya tidak taat melaksanakan ibadah.
Menurut ayah saya, pola mendidik seperti ini adalah cara yang sangat efektif supaya anak menjadi disiplin, jera dan kapok. Dan ini menurutnya sesuai dengan ajaran Islam, bahwa ketika anak sudah berusia 7 tahun dan ia tidak mengerjakan shalat, maka orang tua harus memukulnya.
Bahkan mungkin apa yang saya rasakan, juga sebagian anak-anak lainnya pernah merasakannya. Alih-alih mendapatkan pendidikan, anak justru menjadi korban kekerasan orang tuanya.
Dampak Buruk Memukul Anak
Mengenai dengan hal ini, terdapat beberapa Hadis yang menjadi rujukan orang tua dalam mendidik anaknya dengan kekerasan. Salah satunya Hadis yang terdapat dalam Sunan Abi Dawud No. 495:
عن عمر ابن شعيب عن أبيه عن جده قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا أولادكم بالصلات وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر سنين وفرقوا بينهم في المضاجع
Artinya: Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulallah Saw. bersabda: “perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka karenanya pada saat berusia sepuluh tahun, juga pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tahun).” (Sunan Abi Dawud, No. 495).
Hadis di atas sering dipakai oleh sebagian orang tua dalam melegalkan pemukulan terhadap anak. Namun pertanyaannya, apakah tidak ada metode lain dalam mendidik anak selain dengan kekerasan?. Apakah tidak ada dampak buruk yang timbul akibat kekerasan yang orang tua pakai dalam mendidik anak?.
Dalam hal ini, melansir dari Urbanjabar.com, United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebutkan bahwa mendidik anak dengan cara kekerasan akan berdampak buruk pada mental dan psikologis anak.
UNICEF menjelaskan ada sekitar delapan dampak yang akan anak alami ketika mendapatkan pola didik dengan cara kekerasan. Delapan dampak buruk tersebut sebagai berikut:
Pertama, mengalami trauma. Kedua, sulit bersosialisasi. Ketiga, mengalami gangguan pada otak. Keempat, membuat anak sulit belajar.
Kelima, berperilaku kasar. Keenam, beresiko melukai dirinya sendiri. Ketujuh, beresiko pergaulan bebas dan terakhir kabur dari rumah.
Dari delapan dampak di atas, beberapa pernah saya rasakan ketika mendapatkan pola mendidik dengan kekerasan dari ayah. Hal yang paling terasa adalah rasa trauma dan keinginan kabur dari rumah. Rasa trauma itu, sampai sekarang masih saya rasakan. Sehingga menyebabkan saya tidak terlalu dekat dengan ayah.
UU PKDRT
Oleh sebab itu, mengingat tentang betapa bahayanya pola pendidikan dengan kekerasan kepada anak, pemerintah Indonesia telah menjadikan kekerasan terhadap anak sebagai bagian dari tindak pidana. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Pada pasal 44 ayat (1) UU PKDRT menegaskan setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana pada pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Selanjutnya dalam ayat (2) menegaskan bahwa apabila dari perbuatan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud ayat (1) menyebabkan jatuh sakit atau luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Lebih lanjut dalam ayat (3) jika perbuatan yang dimaksud ayat (2) mengakibatkan korban mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Kerangka Maqashid al-Syari’ah
Oleh sebab itu, dalam mendidik anak, sebaiknya kemaslahatan harus menjadi prioritas dan perspektif kasih sayang menjadi landasan utama. Maka dari itu, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, Hadis Sunan Abi Dawud No. 495 harus kita interpretasi ulang dengan kerangka maqashid al-syari’ah supaya maslahat terhadap anak.
Dalam kerangka maqashid al-syari’ah, Hadis di atas bisa kita interpretasikan sebagai sanksi tegas atas pelanggaaran yang anak lakukan. Sanksi ini harus kita sesuaikan dengan tujuan pendidikan dan selaraskan dengan usia tumbuh kembang anak.
Tujuan pendidikan dalam maqashid al-syari’ah adalah untuk menumbuhkan kesadaran anak tentang pentingnya komitmen pada aturan main atau kesepakatan.
Kemaslahatan sebagai Prioritas
Dengan menimbang kemaslahatan sebagai prioritas dan kasih sayang sebagai landasan utama. Maka mengenakan sanksi kepada anak yang melakukan pelanggaran tidak harus dengan kekerasan.
Oleh karena itu, sanksinya bisa kita ubah dengan menyesuaikan usia tumbuh kembang anak. Misalnya, bentuk sanksinya adalah menjauhkan dari mainan, atau mengurangi jam main, atau dengan melakukan kerja-kerja sosial untuk kepentingan keluarga.
Bentuk sanksi seperti ini, menurut saya sangat efektif dan lebih maslahat ketimbang dengan bentuk sanksi kekerasan. Meskipun bentuk sanksinya bisa kita ubah, tujuan dari memberikan sanksi pun tetap akan tercapai, yaitu membuat anak akan lebih disiplin. []