Mubaadalahnws.com,- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan putusan MA RI terkait kasus Baiq Nuril (BN). Demikian yang terdapat di dalam Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Penghukuman BN yang beredar pada Kamis 15 November 2018 kemarin.
Putusan MA nomor 547 K/Pid.Sus/2018 terkait kasus BN tersebut membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
Di PN Mataram, BN bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi terhadap putusan PN Mataram tersebut.
Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, membatalkan Putusan PN Mataram. Majelis menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara kepada BN dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Menurut Komnas Perempuan, putusan MA itu telah tidak sejalan dengan semangat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Hakim mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma 3/2017), yang mencoba untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan.
Pada Pasal 4 Perma 3/2017 disebutkan dalam pemeriksaan perkara hakim agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan.
Fakta persidangan yang dimaksud adalah ketidaksetaraan status sosial antara para pihak berperkara, ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, diskriminasi. Kemudian dampak psikis yang dialami korban, ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.
Pola berulang
KUHP tidak mengenal tindakan seksual, kecuali jika memenuhi unsur pencabulan. Hal ini telah menyebabkan banyak korban pelecehan seksual bungkam. Jikapun kasus itu diungkapkan, hanya kepada orang-orang terdekat saja.
Ungkapan kepada orang-orang terdekat itu kerap digunakan oleh pelaku untuk melaporkan korban ke Kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar UU ITE, dan sebagainya. Komnas Perempuan melihat hal ini sebagai upaya ‘memindahkan’ pertanggungjawaban hukum pelaku pelecehan seksual kepada korban.
“Pola ini terus berulang, sehingga impunitas terhadap pelaku pelecehan seksual berjalan bersamaan dengan dikriminalkannya para korban,” kata pernyataan sikap Komnas Perempuan yang diterima redaksi, Jumat 16 November 2018.
Komnas menilai, tindakan BN merekam kejadian merupakan haknya untuk membuktikan dia mengalami pelecehan seksual. Dalam hal ini, pelecehan tersebut terjadi dalam ketimpangan relasi kuasa.
Komnas juga menyatakan, putusan yang menjerat BN dengan Pasal UU ITE, itu tidak sesuai dengan filosofi Undang-undang tersebut.
UU ITE disahkan guna menjawab tantangan digunakannya teknologi untuk melakukan kejahatan. Sementara BN menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan.
“Masalahnya memang karena hukum formil belum mengakui teknologi sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam tindak pidana pelecehan seksual. Sehingga UU ITE tidak layak digunakan dalam kasus yang penuh ketidakmutakhiran perlindungan terhadap perempuan korban,” katanya.
Komnas pun meminta Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjawab kebutuhan perempuan korban kekerasan seksual dan mencegah tindakan kekerasan seksual berulang.
Demikian penjelasan Komnas Perempuan menyesalkan Putusan MA dalam Kasus Baiq Nuril. Semoga bermanfaat.[AR]