Mubadalah.id – Beberapa sarjana menyatakan bahwa jantung masyarakat Jawa adalah slametan. Sebab, ritual slametan selalu dilaksanakan di setiap acara-acara “penting” masyarakat, seperti maulid Nabi, peringatan ulang tahun, peringatan kematian, dan merayakan hasil panen. Maka beberapa sarjana, seperti Clifford Geertz (1960), Mark M. Woodward (1988), dan Masdar Hilmy (1999, 2018) saling beradu argumen demi ritual yang menjadi jantung masyarakat Jawa ini.
Namun perdebatan ketiganya terasa kering aspek gender. Maka, Risa Permanadeli (2015) tidak mau ketinggalan dalam perdebatan para pria tersebut. Baginya, perempuan memiliki peran strategis dalam ritual slametan, “meskipun” melalui ruang domestik. Sebab, dari sana perempuan menafsir dunia sosial Jawa.
Bagaimana bisa perempuan menafsir dunia sosial Jawa melalui “ruang sempit” slametan, yang hanya mendapat ruang di dapur dan menyediakan daftar belanjaan? Bahkan Geertz saja menggambarkan perempuan—dalam The Religion of Java—sebagai orang yang hanya mengintip ritual slametan melalui sela-sela pembatas bambu (wilayah mburi). Inilah yang kurang mendapat perhatian mendalam oleh Woodward dan Hilmy (juga Gerertz): peran perempuan di wilayah mburi.
Maka saya akan sedikit menyinggung gagasan para pria (Geertz, Woodward, dan Hilmy) yang tertarik sekali membahas slametan dari apa yang nampak “di depan”: berkat (prayer meal), donga (dzikir dan doa-doa), siapa yang memimpin (ulama atau abangan/dukun?), apa saja perayaan yang masuk kategori slametan, apakah kenduren bagian dari slametan atau berdiri sendiri, atau malah inti slametan (?). Sekilas, slametan menjadi ritual atau forum all-male panel, karena diabaikannya proses pra-slametan.
Imajinasi Dunia yang Slamet dan Usaha Mewujudkannya
Secara ringkas, slametan memiliki tujuan mewujudkan dunia yang slamet (selamat). Dalam artian, keadaan slamet yang ada di pikiran orang Jawa adalah suatu kondisi di mana relasi antar manusia berlangsung damai, tentram, dan rukun.
Dengan diadakannya slametan, diharapkan dunia akan baik-baik saja, sekaligus ungkapan rasa syukur atas limpahan nikmat yang diberikan oleh Sing Kuoso. Artinya, slamet bagi orang Jawa itu diwujudkan dan dipertahankan. Siapa yang bisa mewujudkan dan mempertahankan, adalah mereka yang diundang dalam ritual slametan. Ini yang disebut Geertz, slametan sebagai fungsi integratif.
Permanadeli kemudian menyelinap masuk di bagian ini: perempuan (nyonya rumah) memiliki otoritas untuk memutuskan siapa yang perlu diundang ke ritual slametan. Tetangga yang mana dan saudara yang mana yang kiranya bisa mempertahankan dan mewujudkan slamet, akan diundang. Namun jika sebaliknya, sekalipun saudara dekat, maka ia tidak akan diundang. Di sinilah perempuan unjuk gigi, ia memilih dan memilah tamu undangan yang mampu merepresentasikan slamet.
Kemudian Permanadeli bergulat dengan diskursus wilayah mburi, tempat perempuan menyiapkan berkat dan meracik bumbu (mana berkat untuk tamu undangan dan mana yang khusus pendoa/kiai). Itu adalah bagian yang perlu diperhatikan, karena di sana kreativitas dan keuletan perempuan ditampilkan.
Untuk “pekerja” wilayah mburi tidak melalui undangan (tapi ada juga yang diundang untuk pekerjaan khusus, misalnya masakan inti), melainkan atas kesadaran gotong-royong dan kemampuan perempuan mengidentifikasi diri untuk masuk dalam lingkaran slamet. Maka, siapa pun yang berada di wilayah mburi adalah mereka yang secara sadar bisa mewujudkan slamet. Sebab, contoh ringan, orang yang merasa tidak cocok dengan nyonya rumah akan merasa canggung untuk mendekat.
Dalam hal mode kerja, perempuan tidak dipatok prosedur layaknya di pabrik-pabrik—dan nyonya rumah tidak membakukan itu, dan memang tidak ada prosedur tugas. Melainkan, perempuan memiliki kesadaran atas kemampuan dan kreativitas yang dimiliki, dan kemudian mengerjakan apa yang sekiranya mampu ia kerjakan. Bagi yang memiliki keahlian memasak, ia akan mengendalikan tungku; jika meracik bumbu adalah keahliannya, perempuan secara reflektif akan menuju penumbuk bumbu.
Soal upah wilayah mburi? Orang Jawa merasa rikuh untuk menyebut angka. Biasanya nyonya rumah memberi imbalan sembako atau masakan matang sepantasnya; atau untuk dunia yang lebih modern, amplop sudah umum dijadikan pembungkus upah.
Mengintervensi Ruang Publik Melalui Ruang Domestik
Permanadeli menjamin, perempuan tidak mungkin diam saja di wilayah mburi. Sebab, orang Jawa mengenal istilah srawung, yang menjadi parameter “dadi wong Jawa”.
Srawung adalah konsep yang menekankan seorang harus bisa bergaul/bersosial dengan orang lain. Jadi, praktik srawung juga berlangsung di wilayah mburi. Salah satu wujud srawung adalah mengobrol “ngalor-ngidul” perihal reproduksi dan isu-isu yang berkaitan dengan dunia perempuan sembari menjalankan tugas masing-masing.
Membicarakan harga sembako, tagihan listrik, perilaku anak, dan menakar kualitas air, adalah tema reproduksi yang sering masuk dalam obrolan di wilayah mburi. Obrolan-obrolan tersebut adalah bagian dari srawung, di sana terjadi pertukaran informasi antar perempuan dari lintas status sosial hingga lintas generasi. Mereka berusaha saling memberi warna dan menafsir ulang ruang domestik—dan tentu saja mengusahakannya untuk menjadi isu politik (publik)—agar “slamet” yang dimaksud benar-benar utuh.
Aktivitas srawung perempuan sering distigma ngerumpi, hal yang—menurut Dale Spender (1980)—tidak penting menurut dunia laki-laki. Padahal, apa yang mereka bahas adalah hal yang politis dan berpotensi “subversif”. Lalu, bagaimana perempuan mewujudkan obrolan yang politis itu? Perempuan harus membincanagkannya dengan pemilik akses langsung ke relasi kuasa: laki-laki (suami).
Dengan ini, slametan adalah ruang di mana sumber informasi tersedia dan wajan untuk menggoreng isu perempuan sebelum mentransmisikannya ke ruang publik. Jika laki-laki (suami) pulang dari ritual slametan menenteng besek berisi aneka makanan (berkat), perempuan pulang membawa isu politis dan—kemungkinan—subversif.
Ketika laki-laki sampai di rumah disambut anak-anaknya karena menenteng berkat, perempuan (istri) akan menyambutnya dengan gelondongan isu reproduksi yang telah matang. Lalu, terjadilah transmisi isu reproduksi dari perempuan ke laki-laki, si pemilik akses ke relasi kuasa. Dus, tafsir slamet semakin radikal dengan adanya intervensi perempuan, dan slamet yang diharapkan masyarakat Jawa semakin kaya dan juga radikal. []