Mubadalah.id – Beberapa hari lalu Magdalene mencuitkan diskusi tentang Perempuan di Dunia Podcast. Menurut obrolan Instagram Live dengan Ida Umamah (podcaster, yang menginisiasi @iwannadateyou), menurut data sekunder Ida, pendengar podcast dan podcaster perempuan masih rendah. Dunia podcast masih dipandang masih boys club.
Kemudian ada netizen yang berkomentar “Jumlah tukang bangunan juga masih didominasi laki-laki. Karena itu, ada yang menganggap dunia pertukangan masih boys club banget”. Tentu ini satire pada Magdalene. Banyak yang mendukung ini, dan banyak juga yang menganggap komentar ini misoginis. Ada stereotipe gender di sini bahwa bekerja yang membutuhkan kekuatan fisik biasa dilakukan laki-laki.
Sebenarnya, apakah mungkin perempuan menjadi tukang bangunan? Tentu saja bisa. Di Bali dan Pontianak, ada sekumpulan perempuan yang bekerja sebagai tukang bangunan. Misalnya saja Radiah, dia bekerja sebagai tukang bangunan karena desakan ekonomi. Dia memiliki tujuh anak dan sudah bercerai dengan suaminya.
Ada beberapa berita yang menyoroti perempuan-perempuan yang bekerja sebagai tukang bangunan. Tapi yang disoroti adalah kecantikan mereka saja. Saya juga pernah membaca berita tentang perempuan yang bekerja mengangkut bata sambil menggendong bayinya. Apakah ini pertanda bahwa perempuan itu dapat melakukan banyak hal, kuat dan maskulin?
Sejak dalam kandungan pun, masyarakat sudah membedakan manusia berdasarkan alat kelamin dan gendernya. Stereotipe gender ini memiliki ciri-ciri gender yang dilekatkan pada perempuan adalah lembut, keibuan, emosional, dan irasional, maka perempuan pantas di wilayah publik. Hal ini biasa disebut sebagai feminin.
Sedangkan laki-laki memiliki stereotipe gender sebagai orang yang kuat, perkasa, tegas dan rasional. Maka laki-laki dianggap pantas berada di wilayah publik, baik untuk bekerja ataupun untuk bersosialisasi. Padahal, ciri dan sifat yang melekat pada feminin dan maskulin ini dapat dipertukarkan. Bukan merupakan kodrat.
Namun sejak dalam kandungan pun manusia sudah membedakan janin berdasarkan maskulin dan feminin dengan warna pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki. Stereotipe gender atau pelabelan gender ini juga tercermin pada model pakaian, mainan, warna dan aktivitas anak-anak yang diatur berdasarkan jenis kelamin mereka.
Perempuan akan diberikan mainan alat memasak, boneka, alat kecantikan, dll. Sedangkan laki-laki diberikan mobil-mobilan, robot, pedang, dll. Sejak kecil perempuan diajarkan untuk mengambil peran dalam tugas domestik dan laki-laki dalam wilayah publik. Maskulinitas dan feminitas diajarkan dalam pengasuhan, dalam sekolah dan lingkungan yang lebih luas.
Karena stereotipe gender tersebut maka ada keyakinan bahwa kedudukan perempuan adalah sebagai kanca wingking, yaitu sebagai teman di belakang. Maksudnya adalah perempuan memiliki posisi di belakang yaitu dalam peran domestik. Kemudian juga ada stereotipe gender bahwa kodrat perempuan adalah 3M yaitu masak, macak, dan manak.
Hal ini disebut sebagai kodrat perempuan. Sehingga ketika perempuan tidak menjadi kanca winking dan tidak menjadi perempuan 3M, maka dianggap melanggar kodrat. Padahal kodrat adalah hal-hal yang merupakan pemberian dari Tuhan yang tidak dapat diubah oleh manusia. Sedangkan gender adalah konstruksi sosial tentang bagaimana sikap, sifat dan peran manusia yang dapat dipertukarkan.
Menurut Kamla Bhasin dalam buku “Menggugat Patriarki”, dalam sistem patriarki, hubungan perempuan dan laki-laki bersifat hierarkis. Laki-laki ditempatkan pada posisi yang dominan dan perempuan subordinat,sehingga laki-laki yang menentukan dan perempuan yang ditentukan.
Kamla menambahkan, maka setelah dewasa, anak-anak menjadi manusia yang sikap, sifat dan perannya ditentukan menggunakan aturan kultural dan sosial. Hal ini mempersempit wilayah gerak dan kebebasan mereka dalam menentukan pilihan. Maka tidak heran jika kita melihat perempuan berada di wilayah domestik dan laki-laki berada di wilayah publik sesuai stereotipe gender yang dibangun masyarakat.
Apa jadinya jika perempuan sejak kecil dibolehkan memanjat, bermain sepak bola, dan kegiatan lain yang dianggap maskulin? Apa jadinya jika laki-laki dan perempuan diberi kebebasan untuk memilih pembagian tugas dalam rumah tangga?
Jika perempuan terbiasa kuat seperti laki-laki, perempuan juga bisa melakukan hal-hal yang dianggap maskulin. Laki-laki juga bisa melakukan sebaliknya. Jika perempuan diberi kesempatan dan fasilitas yang sesuai kebutuhannya, perempuan bisa memiliki banyak opsi dalam hidupnya. Bukan tidak mungkin perempuan sebagai kepala rumah tangga bekerja sebagai tukang bangunan dan suaminya melakukan tugas domestik di rumah.
Tapi, yang menjadi persoalan adalah stereotipe gender ini menjadikan perempuan memiliki beban ganda atau bahkan multi beban. Mereka menjalankan peran biologis seperti mensturasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. Dan mereka juga bekerja di wilayah publik, mendapatkan pelecehan di tempat kerja, dan pulang ke rumah harus mengerjakan tugas domestik.
Jika maskulinitas itu tentang kekuatan fisik, bukankah perempuan secara biologis juga kuat? Mensturasi, hamil, melahirkan dan menyusui itu tidak mudah dan butuh kekuatan fisik. Tapi masyarakat tidak mengakui bahwa ini juga butuh kekuatan. Nyatanya setiap manusia memiliki maskulinitas sekaligus femininitas.
Peran domestik perempuan juga dianggap rendah karena tidak menghasilkan uang secara ekonomi. Padahal perempuan yang menjalankan tugas domestik telah menyelamatkan keuangan keluarga. Peran domestik, pengasuhan dan mendidik anak jika dijadikan pekerjaan juga dapat mengasilkan uang.
Stereotipe gender hanya mendikotomikan manusia berdasarkan tugas domestik dan publik. Jika dipertukarkan maka dianggap aneh dan tidak normal. Kemudian akan membawa ketidakadilan bagi perempuan dengan mengizinkan perempuan melakukan tugas publik namun tetap membebankan tugas domestik pada perempuan. []