Mubadalah.id – Predikat “Tahun Terburuk Sepanjang Sejarah” telah diraih oleh 2020. Predikat itu diberikan oleh majalah Time setelah banyaknya peristiwa buruk terjadi sepanjang tahun, seperti kegagalan suatu negara menghadapi bencana, pandemi, krisis politik, dan krisis iklim. Sedangkan pandemi covid-19 menjadi alarm bagi manusia untuk memencet tombol “Prioritaskan Krisis Iklim”.
Narasi dan data selalu ditunjukkan, bahwa jumlah manusia di bumi telah mengalami over populasi dengan jumlah 7,5 miliar pada 2020, dan akan mencapai 9,7 miliar pada 2050. Itu akan berdampak pada daya tampung bumi dan memperpendek usianya.
Kajian-kajian ilmiah bermunculan dan menjadikan Barat sebagai role model mengatasi melonjaknya populasi manusia di bumi dengan menyorot gaya hidup tanpa anak. Dan momen covid-19 menguatkan, bahwa terjadi penurunan angka kelahiran bayi di Amerika selama pandemi. Kemudian Italia mengalami penurunan 21,6% dan Spanyol 20%. Negara-negara lain juga menyatakan mengalami penurunan, seperti Perancis, Korea, Taiwan, Estonia, Latvia, dan Lithuania (bbc.com).
Tentu saja itu mematahkan berbagai prediksi para ilmuwan yang mengirakan dampak lockdown akan menjadi momen meledaknya angka kelahiran; selain karena kesulitan akses layanan kesehatan, juga berkurangnya aktivitas di luar rumah. Dengan alasan ekonomi yang tidak stabil dan resiko kelahiran di tengah pandemi, banyak keluarga menunda kehamilan. Dan peristiwa dengan angka-angka tadi disebut sebagai baby bust, sebab menurunnya angka kelahiran dibandingkan baby boomer.
Sarah Baillie, dalam tulisannya di msmagazine.com (15/3/2021), mengajak masyarakat menyambut gembira momen baby bust. Menurutnya, banyak dampak positif dari menurunnya angka kelahiran, seperti mengontrol iklim, memperlambat kelahiran, serta meningkatnya keberdayaan dan kesetaraan perempuan. Jadi, tidak perlu ragu-ragu untuk merayakannya.
Jangan Buru-Buru Berdansa
Manusia dalam angka telah menciptakan imajinasi ketakutan dan masyarakat dibuat selalu membayangkan bagaimana lantai bumi ambrol karena kapasitas yang berlebih. Alih-alih menguatkan pentingnya mengontrol populasi manusia, data dan fenomena yang dihadirkan tersebut malah memberi stigma kepada bayi dan ibu bayi sebagai penyebab krisis iklim.
Anne Hendrixson dan Jade S. Sasser, melalui tulisannya di msmagazine.com (28/5/2021), mengajak untuk mengatasi masalah iklim bersama-sama dan jangan mempersuasi masyarakat untuk menuduh bayi dan ibu bayi sebagai penyebab krisis iklim. Menurut keduanya, ada ragam aspek yang menyebabkan krisis iklim—seperti ras, gender, kelas, dan status sosial. Sebaliknya, narasi baby bust malah seolah mengadu antara manusia (atau bayi) dengan bumi. Dan, apakah yang disebut “baby bust”adalah mereka yang peduli terhadap keadilan reproduksi dan lingkungan?
“Menyerang” orang yang memutuskan untuk memiliki anak menggunakan kampanye tanpa anak dengan dalih mengontrol iklim adalah tindakan tidak menghargai pilihan perempuan. Sedangkan memilih tidak memiliki anak sembari menanam saham di industri kotor tidak serta merta menghapus nama mereka dari daftar orang-orang yang berkontribusi terhadap krisis iklim.
Sebaiknya kita mengukur gaya konsumsi masyarakat, sebagaimana nasihat Mahatma Gandhi. Inggris sebelum abad 21, dengan luas wilayah jauh lebih kecil dan populasi penduduk jauh lebih sedikit dari India, harus mengeksploitasi seluruh wilayah India untuk memenuhi “kebutuhan” masyarakatnya. Bagaimana jika gaya konsumsi masyarakat Inggris itu dimiliki oleh separuh penduduk bumi? Apakah sumber daya di satu bumi cukup untuk memenuhi “kebutuhan” manusia? Saya rasa, ide traveling ke Mars adalah kedok mencari cadangan sumber daya alam untuk perut manusia.
Di Indonesia, dapat kita saksikan bagaimana “Jakarta” mengontrol Papua untuk mengeruk sumber daya alamnya demi memenuhi “kebutuhan” segelintir perut. Banjir, kebakaran hutan, konflik horizontal, dehumanisasi, kekerasan seksual, deforestasi, mortalitas adalah serangkaian fenomena akibat memenuhi “kebutuhan” tersebut.
Selanjutnya, kita belum menghitung masyarakat lokal yang harus menghirup udara kotor dan kesulitan air bersih akibat industri ekstraktif, sedangkan segelintir pemilik menikmati ruangan dingin di apartemen mewah, seolah-olah krisis iklim adalah mitos purbakala.
Perlu juga kita melirik film dokumenter Seaspiracy, yang mengingatkan pola konsumsi kita mempengaruhi krisis iklim. Sedangkan di seberang rumah, industri makanan merespon dengan sepenuh hati: menyediakan lemak omega-3 dan kalori. Namun tidak dengan prosesnya, yang merusak kehidupan laut sebagai penyerap karbon.
Lalu dengan tidak memiliki anak mampu mengontrol krisis iklim? Tidak, jika pola hidup dan konsumsi masih tergantung pada industri kotor dan destruktif.
Memiliki Anak adalah Agenda Politik Feminis
Kelas menengah boleh memilih tidak memiliki anak dan melangsungkan hidup baik-baik saja. Tapi tidak dengan kelas bawah atau masyarakat lokal/pedesaan. Anak bagi masyarakat desa adalah agenda politik feminis (meski tidak secara kreatif), terlebih di daerah yang mengalami konflik ekologi.
Saya akan mencontohkan masyarakat Jawa sebagai representasi. Bagi masyarakat Jawa, keluarga (yang di dalamnya ada anak) adalah pusat kehidupan dan titik berangkat menentukan arah kehidupan. Tidak memiliki anak/keluarga, seolah mereka kehilangan arah ke mana akan berjuang dan apa yang akan diperjuangkan.
Kita bisa melihat perjuangan warga Wadas mempertahankan ruang hidupnya. Tidak lain, kepastian hidup keluarga/anak-cucu di masa depan menjadi alasan yang mendorong mereka menolak tambang batu querry. Dan perempuan berada di garis depan menyuarakan perlawanan sekaligus benteng dari perusakan alam. Atau masyarakat Papua, tentu kampanye “stop memiliki anak” akan menjadi suksesor pembunuhan masyarakat lokal yang difasilitasi negara. Selain mengurangi populasi, mereka juga berpotensi kehilangan generasi yang menyambung perlawanan dan menjadi saksi kekejian negara.
Jangka panjangnya, anak bukan sekadar anak biologis, ia adalah anak ideologis yang akan meneruskan perlawanan terhadap aktor perusak alam. Anak akan menata hidup berdampingan dengan alam di masa depan dan sebagai penyambung lidah lintas generasi bahwa perusakan alam memiliki dampak nyata terhadap krisis iklim. Maka, prediksi 66% populasi dunia di tahun 2050 akan menghuni kota (kompas.com) adalah kabar buruk. Sebab, mereka akan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi destruktif dan melupakan dampak nyata kerusakan lingkungan.
Tidak memiliki anak bukanlah tindakan salah, namun menuduh bayi dan ibu bayi sebagai biang krisis iklim tentu sebuah kesalahan fatal. Kampanye tersebut harus meperhatikan irisan identitas masyarakat—khususnya perempuan, dan menaruh kecurigaan terhadap gaya hidup dan pola konsumsi yang difasilitasi oleh industri kotor dan destruktif. []