• Login
  • Register
Kamis, 10 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

Dalam isu lingkungan—alih-alih mendalami kerusakan dan ketidakadilan ekologis, sebagian orang lebih sibuk memberi label.

Hijroatul Maghfiroh Hijroatul Maghfiroh
24/06/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan

1.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa minggu lalu ramai istilah “Wahabi lingkungan.” Istilah itu tertuju kepada para aktivis lingkungan yang mungkin dianggap terlalu ‘environmentalist’ dan keras menolak proyek-proyek tambang. Publik ramai. Saling menafsirkan apa dan siapa Wahabi lingkungan.

Bagi saya, pelabelan tersebut bukan hanya soal siapa mereka. Pelabelan semacam ini bukan sekadar mainan istilah—ia berbahaya. Ia menyederhanakan persoalan kompleks, membelokkan arah diskusi, dan mengaburkan akar dari kemarahan ekologis yang sedang berkembang di banyak tempat, termasuk di Indonesia.

Menyebut aktivis lingkungan sebagai “Wahabi lingkungan” bukan hanya reduktif, tetapi juga dapat menyesatkan secara intelektual. Ia menggantikan perdebatan substansi dengan sentimen identitas.

Alih-alih mendiskusikan secara serius argumen yang mendukung maupun menolak praktik pertambangan—baik dari segi ekologi, sosial, ekonomi, maupun hukum—narasi publik malah terjebak pada pelabelan kelompok. Ini melemahkan kualitas wacana publik dan membiarkan bias menguasai ruang diskusi yang seharusnya berbasis data dan nilai keadilan.

Saya pribadi tidak sepakat dengan pelabelan terhadap individu atau kelompok mana pun, terutama dalam isu yang menyentuh hajat hidup orang banyak seperti lingkungan.

Baca Juga:

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

Pelabelan seperti “Wahabi lingkungan,” cenderung membentuk stereotipe yang tidak adil, yang dalam jangka panjang bisa melahirkan stigma dan bahkan diskriminasi. Yang lebih mengkhawatirkan, pelabelan ini seringkali menjadi cara untuk membungkam kritik, bukan untuk memahami isi kritik itu sendiri. Padahal, kerja-kerja para aktivis lingkungan bukan sekadar ‘teriak-teriak di jalanan’.

Mereka melakukan kerja nyata yang kompleks dan melelahkan. Selain itu mereka mengumpulkan data kerusakan lingkungan, mengadvokasi masyarakat terdampak, mendampingi warga dalam sidang AMDAL, hingga menyuarakan hak-hak masyarakat adat yang kerap terabaikan dalam proyek-proyek ekstraktif. Mereka hadir ketika sistem hukum tak berpihak, ketika negara abai dan bahkan melanggar Undang-undang, dan ketika media massa terkooptasi.

Ekstrem bagi Siapa?

Jika perjuangan untuk tanah yang subur, sungai yang bersih, dan udara yang layak terhirup kita anggap ekstrem/Wahabi, maka pertanyaannya adalah: ekstrem bagi siapa?

Saya memahami bahwa dalam setiap gerakan sosial, termasuk gerakan lingkungan, selalu ada spektrum. Mungkin memang ada yang terlalu idealis, bahkan utopis. Tapi kita juga tak boleh lupa bahwa dalam isu ini, ekstremisme bukan hanya milik aktivis lingkungan. Ia juga bisa hadir dalam bentuk ekstremisme pembangunan.

Ekstrem pembangunan adalah ketika alam kita jadikan objek eksploitasi tanpa batas bahkan pelakunya adalah ‘negara’ dengan melanggar Undang-undang dan membuat kebijakan yang timpang dan tidak berdasar, serta demi target angka pertumbuhan ekonomi yang hanya memihak elite.

Ketika tambang kita anggap simbol kemajuan nasional, padahal data menunjukan masyarakat di sekitar tambang PUN tidak seluruhnya menikmati hasil tambang. Alih-alih anugrah, tambang justru musibah yang menyisakan longsor, krisis air, pencemaran laut, dan tanah yang tak lagi terolah.

Ekstrem Pembangunan termasuk di dalamnya ketika masyarakat yang mempertahankan tanahnya dituduh anti-investasi. Ketika hutan yang menjadi rumah makhluk hidup selama ribuan tahun, diubah menjadi data kuantitatif belaka: hektar per tahun, persen per PDB.

Menurut laporan Forest Watch Indonesia (2023), Indonesia kehilangan 1,35 juta hektar hutan alam sepanjang 2017–2021. Sementara itu, data WALHI mencatat bahwa sepanjang 2022, terjadi setidaknya 278 konflik agraria di sektor sumber daya alam—banyak di antaranya melibatkan tambang, sawit, dan proyek infrastruktur besar. Ini bukan alarmisme. Ini adalah kenyataan.

Triple Planetary Crisis

Kita perlu berhenti melihat perjuangan lingkungan sebagai ekstremisme semata. Yang kita hadapi hari ini bukan sekadar krisis lingkungan biasa, tetapi triple planetary crisis. Krisis iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi—sebagaimana teridentifikasi oleh UNEP (2022).

Ketiganya saling berkaitan dan memperdalam ketimpangan sosial, terutama di negara-negara Global South seperti Indonesia. Maka tak heran jika gerakan lingkungan semakin bersuara keras—karena mereka sedang menyuarakan rasa genting atas masa depan yang terancam.

Dalam kajian ilmu sosial, pelabelan terhadap kelompok tertentu dapat memicu stigmatisasi, seperti penjelasan Howard Becker dalam Labeling Theory (1963). Ketika seseorang kita beri label menyimpang, masyarakat akan memperlakukannya sesuai label tersebut, bukan berdasarkan fakta atau kontribusinya.

Dalam konteks ini, aktivis lingkungan yang memperjuangkan kehidupan berkelanjutan malah dicap sebagai pengganggu pembangunan. Ini ironi yang tidak bisa kita biarkan. Dampak nyata yang paling merugikan, banyak aktifis lingkungan yang ‘diperkarakan’ dan mendapat ketidakadilan.

Pola pelabelan ini juga mirip dengan cara negara menyikapi apa yang kita sebut ekstremisme agama. Alih-alih menelusuri penyebab struktural seperti kemiskinan, ketimpangan, dan sistem pendidikan dan keagamaan fokusnya justru pada simbol dan ekspresi luar. Begitu pula dalam isu lingkungan—alih-alih mendalami kerusakan dan ketidakadilan ekologis, sebagian orang lebih sibuk memberi label.

Kasus Bencana dan Ketidakadilan Lingkungan

Melihat merebaknya kasus-kasus bencana dan ketidakadilan lingkungan saat ini, justru seharusnya yang kita lakukan adalah membuka pemahaman bersama tentang masa depan lingkungan. Bukan malah kita persempit oleh pelabelan dan tudingan identitas.

Alih-alih menyelami kompleksitas krisis ekologis dan dampaknya terhadap kehidupan rakyat kecil, sebagian pihak justru sibuk membingkai aktivisme sebagai bentuk fanatisme atau gangguan. Ini bukan hanya kemalasan intelektual, tapi juga bentuk kekerasan simbolik yang secara halus menyingkirkan suara-suara yang paling dekat dengan kenyataan kerusakan.

Karena itu, dalam situasi di mana bumi sedang sakit dan suara masyarakat terdampak kerap terbungkam, keberpihakan pada keadilan ekologis tidak boleh lagi dianggap sebagai sikap ekstrem. Justru diam, atau membiarkan kerusakan atas nama kemajuan tanpa kritik, itulah yang sikap yang kita pertanyakan.

Kita tidak sedang kekurangan data, tapi kekurangan keberanian untuk melihatnya sebagai tanda peringatan. Maka tugas kita hari ini bukan melabeli, tapi mendengarkan. Bukan menertawakan aktivis, tapi belajar dari kerja panjang mereka yang terus berjuang, meski sering dicap sebagai musuh pembangunan. []

 

Tags: Dakwah EkologiIsu LingkunganKetidakadilan LingkunganKrisis IklimpelabelanstigmaWahabi Lingkungan
Hijroatul Maghfiroh

Hijroatul Maghfiroh

Saat ini sedang menempuh studi di bidang Sustainability and Environmental Studies di Macquarie University, Australia. Ia adalah pendiri Eco-Peace Indonesia, sebuah inisiatif lintas iman untuk pendidikan lingkungan bagi generasi muda. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Program Manager Lingkungan dan Perubahan Iklim di LPBI-PBNU (2010–2022). Selain itu, ia juga penulis buku Dakwah Ekologi: Panduan Penceramah Agama tentang Akhlak pada Lingkungan

Terkait Posts

Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pelecehan Seksual

    Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID