Mubadalah.Id– Nyai Hj. Hindun Anisah adalah ulama perempuan, pengasuh Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara. Nyai Hj. Hindun Anisah dikenal sebagai ulama perempuan, aktivis, lawyer, peneliti, akademisi, yang sekarang sedang merambah dunia politik. Nyai Hj. Hindun Anisah adalah cucu dari KH. Ali Maksum, pengasuh Pesantren Krapyak, Yogyakarta, yang memiliki santri ribuan orang.
Meskipun tinggal di pesantren, KH Ali Maksum menanamkan relasi adil gender dalam keluarganya dan juga para santrinya. Didikan Mbah Maksum itu ternyata memengaruhi anak-anaknya hingga cucunya. Salah satunya adalah pada Nyai Hj. Hindun Anisah.
Selain mengajar di pesantren, Nyai Hj. Hindun Anisah juga aktif menjadi seorang lawyer yang banyak mendampingi korban-korban ketidakadilan gender. Seperti korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual. Nyai Hj. Hindun Anisah tercatat aktif di berbagai organisasi seperti di PW Fatayat NU DIY, PC-LKKNU Jepara, LPBHNU Jepara, MUI Jepara, Koordinator Alliance for Women and Children Protection (APPA), Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Aswaja Hasyim Asy’ari Bangsri, Rahima, Yayasan Semai, dan lain-lain.
Sekretaris SC Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ini menyelesaikan pendidikan sarjana di dua kampus sekaligus, Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM).
Perempuan yang menyelesaikan studi S2-nya di Amsterdam University ini juga aktif menjadi pembicara dalam forum-forum internasional. Terakhir, dia memberikan tanggapan atas presentasi narasumber di seminar hubungan bilateral Saudi-Indonesia sebagai salah satu rangkaian Festival Janadriyah di Riyadh, Arab Saudi, akhir tahun kemarin.
Selepas Pengajian Bulanan Mambaus Sa’adah yang digelar PW Fatayat Jawa Tengah di Kantor PW Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tangah, Semarang, Jumat 25 Januari 2019 kemarin, Nyai Hj. Hindun Anisah bersedia untuk diwawancara Mubadalahnews. Inilah hasil wawancara dengan Nyai Hindun Anisah terkait isu keulamaaan perempuan, politik hingga Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RUU P-KS).
***
Banyak yang menyebut Anda seorang ulama perempuan, pengasuh pesantren yang berkeadilan gender. Apa yang membuat Ibu mempunyai pemikiran sedemikian terbuka?
Ini tidak lepas dari bagaimana saya dididik dalam keluarga. Ibu saya (Nyai Hj Durroh Nafisah) adalah anaknya Mbah Ali Maksum. Mbah Ali punya pandangan yang mubadalah dan dia sudah mencontohkannya dalam kehidupan. Saat semuanya masih membatasi perempuan, beliau sudah memberikan kesempatan kepada perempuan. Pada setiap ular-ular (wejangan) penganten atau saat menjelaskan hadis beliau selalu menjelaskan dengan mubadalah.
Relasi Mbah Ali dengan istrinya, Mbah Hasyimah pun bisa dikatakan relasi yang mubadalah. Mbah Hasyimah itu aktivis, aktif di Muslimat NU, merintis Madrasah Diniyah di Krapyak, merintis pengajian Jumat Legi, Taman Kanak-kanak (TK) dan banyak lagi. Ini kan contoh bagi santri dan keluarga mengenai relasi antara suami dan istri. Meskipun telah berkeluarga peremuan bisa mengaktualisasikan diri. Mbah Ali mencontohkannya.
Ini membekas pada putra-putrinya, termasuk ibu saya. Ibu saya kuliah. Tidak karena dari pesantren kemudian perempuan tidak boleh ini dan itu. Memang banyak pesantren yang saat itu tidak memperbolehkan perempuan untuk menempuh pendidikan tingkat tinggi tapi Mbah Ali mempersilakan.
Mbah Ali membuka pesantren perempuan waktu itu, pesantren yang dulunya hanya berisi santri laki-laki. Sekolah formal, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah juga awalnya hanya laki-laki kemudian dibuka untuk perempuan. Kurikulum untuk mereka pun sama.
Saya pernah melakukan penelitian dan benar di pesantren lain budaya patriarkhi masih kental sehingga kurikulumnya berbeda. Kurikulum untuk laki-laki grade-nya lebih tinggi dibanding untuk perempuan. Teks-teks yang dikaji lebih tinggi yang untuk laki-laki dibanding perempuan karena asumsinya perempuan tidak mampu.
Tapi Mbah Ali tidak seperti itu. Krapyak sejak awal tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Itu yang kemudian membentuk Ibu saya. Dan Ibu saya juga membentuk saya.
Apa yang Nyai Hj. Durroh Nafisah selalu ajarkan kepada Anda?
Sebenarnya sewaktu kecil saya tidak hidup bersama dengan Ibu. Saat SD saya hidup dengan Mbah dari Bapak di Pasuruan. Meskipun demikian Ibu sangat rajin berkirim surat yang isinya selalu menceritakan tentang tokoh-tokoh perempuan. Persisnya saya tidak ingat.
Bagi saya yang masih kecil, cerita-cerita itu tidak bisa dipahami seratus persen. Tapi lama-lama cerita-cerita itu seperti masuk ke dalam alam bawah sadar saya. Yang saya ingat, dalam setiap suratnya Ibu selalu berkata bahwa saya harus rajin belajar agar bisa seperti tokoh-tokoh peremuan hebat yang Ibu tulis dalam surat-suratnya itu. Di setiap akhir surat Ibu selalu menuliskan bahwa saya harus menjadi perempuan yang pintar dan mandiri, juga jangan mudah ditipu.
Ibu selalu bilang saya harus duduk di depan, jangan di belakang. Jangan sampai nisa’ waro’, perempuan di belakang. Perempuan harus di depan. Nasihat itu bukan hanya kepada saya tapi juga kepada santri-santri. Saya ingat, santri-santri juga ingat. Kalau saya pamit mau kuliah Ibu selalu mengingatkan nanti duduk di depan ya. Itu yang saya ingat. Dan selalu saya katakan juga kepada santri.
Saya tidak pernah membalas suratnya tapi Ibu tidak pernah bosan. Inilah yang membentuk saya. Lalu saya ketika mondok pun sudah banyak mempertanyakan kitab-kitab, di Tsanawiyah juga di Aliyah. Hingga ketika masih di Krapyak, sekitar tahun 1998-an, sebelum pindah ke Jepara, kita buat semacam pendidikan kesehatan reproduksi (kespro).
Bagaimana setelah Anda menikah dan ikut bersama suami pindah ke Jepara?
Tahun 2002 saya pindah ke Jepara dan diberi kesempatan mertua untuk turut mengurus pesantren. Suami saya alhamdulillah dibesarkan di dalam keluarga yang relasi antara laki-laki dan perempuannya tidak jauh beda dengan keluarga Mbah Ali. Mertua perempuan saya juga seorang Nyai yang aktivis. Beliau punya segudang aktivitas, selain juga PNS dan mertua saya yang laki-laki itu memahami dan memberikan kesempatan pada istrinya mengaktualisasikan diri.
Dalam keluarga inilah suami saya dibesarkan sehingga kemudian meneruskan pesantren tinggalan mertua. Jadi sebenarnya saya dan suami meneruskan saja dari orang-orang tua kita.
Adakah yang berbeda dari Pesantren Hasyim Asy’ari, Jepara dibanding pesantren pada umumnya, baik dari segi kurikulum, peraturan maupun praktik keseharian para santri di pesantren?
Secara umum, kitab yang kita kaji sama. Hanya saja di pesantren Hasyim Asy’ari, saya juga ngaji kitab Mambaus Sa’adah, Nabiyurrohmah, dan Sittin al-‘Adliyah. Ada juga pendidikan kespro dan fiqh perempuan tapi bukan dari sisi biologisnya saja melainkan dari sisi pendidikan gender. Mungkin itu yang berbeda. Itu yang dari sisi teks.
Dari praktiknya, akses pendidikan untuk laki-laki tidak lebih besar daripada perempuan. Peraturan di pondok pun berlaku untuk keduanya. Kesempatan untuk ikut lomba dan mendapatkan beasiswa pun sama.
Bahkan beberapa santri yang berprestasi adalah perempuan seperti saat lomba Paskibra tingkat kabupatan. Lalu ada pula santri perempuan yang juara reportase tingkat Jawa Tengah, juara stand up comedy juga perempuan, kaligrafi juga tingkat Jawa Tengah.
Selain sebagai pengasuh pesantren, Anda juga dikenal sebagai aktivis dan lawyer yang banyak mendampingi korban-korban akibat ketidakadilan gender. Apa yang membuat Anda tertarik melakukan pendampingan?
Sejak SD saya selalu terpanggil untuk melindungi teman-teman perempuan. Di SD kan kadang temen-teman laki-laki yang suka menggoda perempuan. Dan biasanya kalau sudah seperti itu saya yang maju. Teman perempuan itu saya lindung. Kalau harus kejar-kejaran (dengan siswa laki-laki) juga hayu. Berani saya. Saya pernah naik meja gara-gara itu.
Waktu kecil saya juga selalu menjadi ketua kelas. Mungkin itu juga yang membuat saya berpikir bahwa perempuan itu yang harus dilindungi dan teman-teman perempuan saya memang harus dilindungi.
Saya tahu ini harus dibela, sampai akhirnya saya kuliah dan ikut Fiqh Nisa-nya Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan saya semakin paham maksudnya. Semakin memperkuat keyakinan saya. Saya baru tahu bahwa itu adalah ketidakadilan gender. Sebuah penamaan dari yang sudah saya rasakan sebelumnya.
Setelah lulus kuliah, kemudian saya aktif di Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) Yogyakarta. Saat itu masih fokus pada penelitian. Tapi dengan jaringan aktivis perempuan kita ikut melakukan pendampingan juga.
Ketika di Jepara, saya tahu pendamping perempuan masih sedkit, lawyer juga masih sedikit. Ada sih beberapa perempuan tapi belum mempunyai perspektif yang berkeadilan gender. Akhirnya di Jepara saya harus langsung terjun ke pendampingan dan saya pun akhirnya jadi lawyer. Basic saya memang dari Fakultas Syari’ah, Undang-undang Advokat memungkinkan lulusan Syari’ah jadi lawyer. Ini semakin mendorong saya dan memperkuat pendampingan.
Dari sekian banyak cerita pendampingan, mana kasus yang menurut Anda paling membekas?
Ada kasus yang saya dampingi kemudian diintervensi bupati salah satu kabupaten. Intervensi ini menghambat advokasi korban. Malah yang terjadi, kemudian muncul berbagai cerita miring dan stigma tidak baik yang menyerang korban. Padahal waktu itu korbannya adalah anak, dia korban kekerasan anak. Tapi kebetulan pelakunya adalah seorang tokoh dan dia dekat dengan bupati tersebut.
Ada juga kasus korban pelecehan seksual sampai dia hamil. Padahal dia harus ikut Ujian Nasional (UN). Dia dikeluarkan dari sekolah dan ditolak di seluruh sekolah. Stigmanya malah berbalik kepada korban, sementara pelakunya bebas melaksanakan UN.
Dari sekian kasus yang Anda dampingi, pelajaran apa yang penting untuk kita perhatikan agar ke depan kekerasan semacam itu tidak terjadi lagi?
Dari situ kita bisa melihat korban kekerasan seksual malah kerap menjadi korban lagi karena banyak hal. Peraturan memang masih belum maksimal tapi sudah lebih baik bila dibandingkan zaman dulu. Saat ini, yang mendesak adalah kita harus mendorong RUU PKS segera disahkan agar penegakan hukum lebih optimal. Tapi memang yang tak kalah penting adalah impelementasinya.
Biasanya aparat penegak hukum (APH) belum mempunyai pemahaman yang sama. Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan masih perlu penyamaan persepsi. Ada yang sudah tidak bias, tapi banyak yang masih bias gender. Contoh, kepolisian di Jepara sudah bagus dalam perspektif adil gender tapi di Kejaksaannya belum. Kalau seperti ini kan mentok lagi kasusnya. Belum lagi masyarakat. Masyarakat kita sangat permisif, stigma masih banyak, victimisasi korban juga banyak.
Bagaimana peran ulama perempuan dalam upayanya mangatasi masalah ini? Apakah hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun kemarin cukup menggembirakan untuk perjuangan advokasi ke depan?
Lewat KUPI itu terlihat bahwa ulama perempuan semakin mendapat pengakuan. Ini membuat kita semakin optimis untuk mengatasi masalah penikahan anak, kekerasan seksual, dan sebagainya. Sekarang ini alhamdulillah masyarakat sudah banyak tahu ulama perempuan dan mengakui keberadaannya. Ini paling penting dan kita rasakan.
Saya optimis keadaan akan lebih baik. Apalagi kalau ulama perempuan bersatu untuk mendorong pengesahan RUU PKS. Ini tentu akan semakin kuat lagi.
Tentunya semua pihak juga harus bekerja secara simultan, berjalan bareng, dan bergerak bersama. Ulama perempuan harus selalu menyisipkan perkawinan anak, pelecehan seksual, dan sebagainya di setiap pengajian, dan terus bergerak di tengah masyarakat. Pesan-pesan ini harus selalu disampaikan. Kapan pun. Saya kira itu tidak cukup hanya di event-event tertentu. Tapi setiap saat harus menyuarakan itu sehingga masyarakat mengetahuinya.
Keputusan untuk mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga apakah terkait dengan perjuangan ulama perempuan di kancah politik?
Sejak 2014 saya didorong, tahun ini saya didorong lagi dan saya berpikir kenapa kita tidak maju? Kita tidak bisa memisahkan dunia politik dengan dunia keulamaan. Karena dalam sejarah Nabi pun semuanya berpolitik. Kenapa tidak kita mengembangkan politik yang baik? Mengamalkan ilmu.
Selama ini saya bersinggungan terus dengan UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan UU lainnya. Semua peraturan itu kan produk legislasi, produk politik. Seperti sekarang, saya melihat RUU PKS alot sekali. Maka saya pikir perubahannya harus dari dalam. Kalau dari luar, sekuat apapun kalau yang dalam tidak jelas, ya gimana?
Saya tidak tahu nanti kalau dilantik di komisi apa. Tapi saya akan ikut menitipkan, minimal tahu dinamika di dalam parlemen dan turut menyuarakan keadilan gender. Kebijakan yang lain juga harus berperspektif keadilan gender. Jadi yang harus berperspektif adil gender itu tidak hanya UU dan peraturan yang berkaitan dengan pernikahan, anak, perempuan, melainkan semuanya. Semua peraturan harus berperspektif adil gender.
Misal, dalam hal kebijakan di desa, bagaimana dana desa digunakan? Apakah perempuan bisa mengakses dana tersebut? Kalau DPR tidak diisi anggota legislatif yang punya kepedulian terhadap keadilan gender, sama artinya kita membiarkan parlemen semakin jauh dari kebutuhan masyarakat. Saya tahu di dalam DPR ada orang yang komitmen memperjuangkan itu tapi ini kan pada akhirnya soal kuantitas.
Kenapa saya berpolitik? Pertama, karena passion saya memang di politik dan hukum. Saya dulu kuliah UGM di Fisipol Jurusan Ilmu Pemerintahan. Kedua, ketika kita berpihak, kita sudah berpolitik. Semua kehidupan kita tidak bisa dipisahkan dari proses politik. UU dilahirkan melalui proses politik. Di daerah juga ada perda-perda, proses politik juga. Kalau kita mau mengubah, kita harus terjun ke politik. Jangan mempercayakan kepada yang tidak jelas komitmennya.[]