Mubadalah.id – Kamu pernah mendengar istilah kutukan perempuan? Yaitu satu situasi dimana perempuan mengalami ketidakadilan gender menurut pengamatan teman-temannya, tapi si perempuan tersebut tidak merasakan, atau mengingkari kenyataan itu dengan atas nama cinta. Sebagai teman, tentu ingin sekali membantu dan membawanya ke luar dari lingkaran keluarga yang toxic tersebut, tetapi apa mau dikata, ia tetap keukeuh pada pendiriannya, dan menegaskan bahwa ia baik-baik saja.
Memang selalu ada alasan mengapa perempuan memilih bertahan dalam relasi keluarga yang tidak adil. Mungkin karena cinta, yang kerap tak bisa dilogika. Alasan lain, mungkin karena sudah ada anak, yang membuatnya enggan berjarak, sebab ketakutan-ketakutan menghadapi masa depan seorang diri. Jikapun keberanian itu ada, akan menambah daftar panjang angka perceraian di Indonesia dengan kasus gugat cerai.
Faktor ekonomi masih menjadi penyebab tertinggi kasus perceraian di Indonesia. Terlebih di masa pandemi ini, di mana ketika kesempatan kerja semakin sempit, kemunduran usaha, dan PHK massal oleh beberapa perusahaan. Ketimpangan relasi akan semakin terasa, ketika pondasi pernikahan rapuh, emosi labil, dan secara ekonomi belum stabil. Sementara kehidupan harus terus berjalan, dan ada masa depan anak-anak yang dipertaruhkan.
Istilah kutukan perempuan bisa dihilangkan, terlebih rasanya risih ketika itu teman sendiri yang pernah bersama bergiat di isu perempuan. Aneh rasanya, ketika dalam komunitas kami gigih memperjuangkan hak-hak perempuan, namun di sisi lain, sebagai perempuan ia sendiri tak berdaya dan menerima begitu saja menjadi korban dari ketidakadilan gender dalam segi penelantaran ekonomi. Ia bekerja setengah mati, tetapi suaminya tak pernah peduli.
Keterbukaan dan komunikasi bagi pasangan suami istri adalah kunci, bagaimana konflik keluarga bisa dihindari. Bahkan perceraian bisa urung dilakukan, jika suami istri punya komitmen yang kuat, dalam kondisi apapun tetap saling mendukung, menghargai dan menghormati pilihan masing-masing. Artinya, ketika salah satu pasangan dalam kondisi rapuh, yang lain harus siap menumbuh, agar keduanya tak menjadi runtuh dalam waktu bersamaan.
Menumbuh di sini, laki-laki dan perempuan, atau suami dan istri, meski sudah terikat dalam lembaga perkawinan harus terus menerus belajar mengenali emosi pasangan, dan mengelola emosi sendiri. Belajar bagaimana menumbuhkan rasa empati, tanpa harus membuat diri ini semakin membenci dan menyimpan sakit hati. Karena jika selalu dipelihara, kebencian yang terpendam, akan semakin menyakitkan dan menimbulkan dendam tak berkesudahan.
Hal yang harus selalu diingat, keluarga mempunyai fungsi strategis, sebab lingkungan terkecil inilah yang menjadi tonggak utama pembangunan moralitas dan karakter seseorang. Keluarga adalah sekolah pertama, dan yang paling menentukan untuk kehidupan manusia dalam cakupan yang lebih luas. Sebagaimana dijelaskan Musdah Mulia dalam buku “Muslimah Reformis” yang memaparkan enam fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya konflik keluarga agar tak semakin liar, dan tak terkendali.
Pertama, fungsi religius, yakni keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada anggota-anggotanya. Kedua, fungsi afektif yakni keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan. Ketiga, fungsi sosial, keluarga memberikan prestise dan status kepada semua anggotanya. Keempat, fungsi edukatif , keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.
Kelima, fungsi protektif, keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman fisik, ekonomi, dan psikososial. Dan terakhir, ke enam, fungsi rekreatif. Yakni keluarga merupakan wadah rekreasi bagi anggotanya. Suatu keluarga akan kukuh bila ke enam fungsi tersebut berjalan harmonis. Sebaliknya jika mengalami hambatan akan terjadi krisis keluarga. Bahkan keluarga akan mengalami konflik bila fungsi tersebut tidak berjalan secara memadai.
Sementara itu, ditinjau dari perspektif gender, keluarga merupakan lingkungan yang secara langsung, dan tidak langsung memperkenalkan sifat-sifat khas perempuan dan laki-laki, cara-cara mengisi peran gender (sebagai ayah, ibu, atau sebagai suami dan istri), dan berbagai bentuk interaksi gender, seperti ayah dominan, ibu submisif serta sebaliknya.
Sehingga sebagai penerus utama nilai-nilai dalam lingkungan keluarga, berlangsung juga mekanisme pemilihan tokoh identifikasi. Anak akan meniru pola perilaku orang di dalam keluarga, yang ditiru dapat berupa perilaku, gaya bicara, atau sifat-sifat khasnya. Maka, ditinjau dari perspektif gender, keluarga merupakan laboratorium di mana sejak anak dilahirkan ia belajar mengenal perilaku yang terkait pada gender seseorang.
Dengan demikian, jika ingin mewariskan nilai-nilai kesalingan dalam keluarga, mulailah dari diri sendiri, membuka pintu komunikasi antara suami istri. Saling bicara dan mengakui tentang kelemahan diri. Bukan soal siapa yang menang dan kalah dalam relasi, siapa yang lebih dominan dan menguasai, tetapi bagaimana antar pasangan suami istri saling mengisi dan melengkapi, bertumbuh menjadi pribadi yang utuh, tanpa harus merunduk dengan hati yang penuh rusuh. []