Mubadalah.id – Jika pengusaha dari Jakarta datang ke Padang, mengajak istri teman bisnisnya tidur di hotel, apakah itu berdosa?” tanya Nur Rofi’ah saat Bedah Buku Qiraah Mubaadalah di Padang.
Saya sontak berfikir, apa yang ingin dituju Bu Nur Rofi’ah dengan pertanyaan itu? Peserta yang mayoritas adalah para tokoh akademisi dan tokoh agama langsung menyatakan bahwa itu berdosa. Diam-diam saya juga mengamini jawaban mereka.
Bu Nur Rofi’ah menjelaskan kepada kami bahwa ‘pengusaha’ itu belum tentu laki-laki, bukan? Mengapa kita menganggap jika selalu laki-laki yang menjadi pengusaha? Di mana letak kemanusiaan perempuan kita?
Ia kemudian menjelaskan bahwa itu berarti tingkat kesadaran tentang kemanusiaan perempuan kita masih di level terendah. Di mana berarti kita hanya menganggap laki-laki yang manusia, perempuan bukan manusia. Sehingga, perempuan diperlakukan sebagai hewan bahkan benda mati.
Ya. Saya mengakui itu. Bahwa ternyata bahkan dalam diri saya yang sedikit banyak sudah membaca buku-buku keadilan dan kesetaraan belum juga terbentuk kesadaran yang lebih tinggi tentang kemanusiaan perempuan.
Dan saya tidak dapat membayangkan bagaimana kesadaran tentang perempuan pada pikiran-pikiran yang masih sangat patriarkhal.
Kita sudah tidak dapat menghitung berapa banyak korban perempuan yang diperlakukan begitu buruk hanya karena ia memiliki vagina. Dan berapa banyak laki-laki yang melegitimasi keburukan mereka hanya karena mereka memiliki penis.
Ibu Yuli, seorang pengidap kanker payudara di Garut yang saat ini sedang terbaring lemah adalah salah satunya. Beliau mengidap kanker payudara sejak 3 tahun lalu. Pekerjaannya hanya menjadi seorang guru honorer. Dia memiliki dua anak yang masih kecil. Dan suaminya meninggalkannya!
Ya, suaminya meninggalkannya. Meninggalkan Ibu Yuli yang sedang sangat membutuhkan bantuan untuk diurusi. Meninggalkan anak-anaknya yang masih harus dilayani. Tanpa pesangon dan kabar apapun.
Kemudian masyarakat di sekitar juga sedikit memaklumi perilaku suami tersebut. Menganggap bahwa itu wajar di tengah impitan keluarga dan ketidakberdayaan Bu Yuli untuk memenuhi berbagai kebutuhan suaminya.
Dan kasus-kasus begini saya yakin tidak hanya ditemui di sekitar saya. Dan bukan hanya sekali ini saja. Banyak kasus lain yang dihadapi perempuan karena ia perempuan. Karena Kodrat yang diberikan Tuhan padanya malah dijadikan senjata untuk menelantarkan mereka. Dan sedihnya lagi, bahkan ada yang melegitimasi itu semua.
Kemudian pembelaan terhadap kaum perempuan atas berbagai kepedihannya itu harus juga menemui benturan. Dianggap anti-Islam, produk Barat, dan lain sebagainya. Padahal penjajahan kepada kaum perempuan sudah terjadi bahkan sejak 4500 SM ketika zaman peralihan kerja.
Dan selama penindasan dan perlawanan akan penindasan itu ada berarti ada juga feminisme. Karena bukankah menurut Charles Fourier sebagai seorang peletak dasar kata feminisme, feminisme adalah kebaikan akan kaum perempuan?
Jika ya feminisme adalah kebaikan akan kaum perempuan, mengapa banyak juga yang menolak kata tersebut walaupun ia memperjuangkan hak perempuan? Padahal feminisme itu sendiri adalah sebuah teori sosial yang memang selalu dinamis pergerakannya. Sehingga di dalamnya sangat mungkin memiliki perbedaan pendapat antara aliran yang satu dan yang lain.
Jika tidak meyetujui aliran yang lain, maka buatlah aliran feminis sendiri. Bukan malah menolaknya mentah-mentah karena keegoisan atas nama golongan. Dan lupa akan marwah perjuangan yaitu untuk memperjuangkan hak perempuan yang sering dialpakan.
Kesadaran kemanusiaan perempuan kita masih begitu rendah. Fakta sosial kita menunjukan banyaknya korban-korban yang terus berjatuhan. Sehingga, marilah melebur ego, bersahabat dan mau terus membuka kemungkinan diskusi demi kemanusiaan perempuan yang lebih baik.[]