• Login
  • Register
Minggu, 3 Juli 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Kesadaran Kemanusiaan Perempuan, Feminisme, dan Fakta Sosial Kita

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
12/03/2019
in Kolom
0
Islam dan Perempuan

Ilustrasi: wikipedia[dot]com

18
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Jika pengusaha dari Jakarta datang ke Padang, mengajak istri teman bisnisnya tidur di hotel, apakah itu berdosa?” tanya Nur Rofi’ah saat Bedah Buku Qiraah Mubaadalah di Padang.

Saya sontak berfikir, apa yang ingin dituju Bu Nur Rofi’ah dengan pertanyaan itu? Peserta yang mayoritas adalah para tokoh akademisi dan tokoh agama langsung menyatakan bahwa itu berdosa. Diam-diam saya juga mengamini jawaban mereka.

Bu Nur Rofi’ah menjelaskan kepada kami bahwa ‘pengusaha’ itu belum tentu laki-laki, bukan? Mengapa kita menganggap jika selalu laki-laki yang menjadi pengusaha? Di mana letak kemanusiaan perempuan kita?

Ia kemudian menjelaskan bahwa itu berarti tingkat kesadaran tentang kemanusiaan perempuan kita masih di level terendah. Di mana berarti kita hanya menganggap laki-laki yang manusia, perempuan bukan manusia. Sehingga, perempuan diperlakukan sebagai hewan bahkan benda mati.

Ya. Saya mengakui itu. Bahwa ternyata bahkan dalam diri saya yang sedikit banyak sudah membaca buku-buku keadilan dan kesetaraan belum juga terbentuk kesadaran yang lebih tinggi tentang kemanusiaan perempuan.

Baca Juga:

Kesetaraan Gender dalam Perspektif Tokoh Perempuan Nahdlatul Ulama Masa Kini

UU TPKS Melarang Menikahkan Korban Kekerasan dengan Pelaku

Pemikiran Qasim Amin dalam Karyanya Kitab Tahrīr Al-Mar’ah Bagian Kedua

6 Pola Pendidikan Anak Sesuai Ajaran Islam

Dan saya tidak dapat membayangkan bagaimana kesadaran tentang perempuan pada pikiran-pikiran yang masih sangat patriarkhal.

Kita sudah tidak dapat menghitung berapa banyak korban perempuan yang diperlakukan begitu buruk hanya karena ia memiliki vagina. Dan berapa banyak laki-laki yang melegitimasi keburukan mereka hanya karena mereka memiliki penis.

Ibu Yuli, seorang pengidap kanker payudara di Garut yang saat ini sedang terbaring lemah adalah salah satunya. Beliau mengidap kanker payudara sejak 3 tahun lalu. Pekerjaannya hanya menjadi seorang guru honorer. Dia memiliki dua anak yang masih kecil. Dan suaminya meninggalkannya!

Ya, suaminya meninggalkannya. Meninggalkan Ibu Yuli yang sedang sangat membutuhkan bantuan untuk diurusi. Meninggalkan anak-anaknya yang masih harus dilayani. Tanpa pesangon dan kabar apapun.

Kemudian masyarakat di sekitar juga sedikit memaklumi perilaku suami tersebut. Menganggap bahwa itu wajar di tengah impitan keluarga dan ketidakberdayaan Bu Yuli untuk memenuhi berbagai kebutuhan suaminya.

Dan kasus-kasus begini saya yakin tidak hanya ditemui di sekitar saya. Dan bukan hanya sekali ini saja. Banyak kasus lain yang dihadapi perempuan karena ia perempuan. Karena Kodrat yang diberikan Tuhan padanya malah dijadikan senjata untuk menelantarkan mereka. Dan sedihnya lagi, bahkan ada yang melegitimasi itu semua.

Kemudian pembelaan terhadap kaum perempuan atas berbagai kepedihannya itu harus juga menemui benturan. Dianggap anti-Islam, produk Barat, dan lain sebagainya. Padahal penjajahan kepada kaum perempuan sudah terjadi bahkan sejak 4500 SM ketika zaman peralihan kerja.

Dan selama penindasan dan perlawanan akan penindasan itu ada berarti ada juga feminisme. Karena bukankah menurut Charles Fourier sebagai seorang peletak dasar kata feminisme, feminisme adalah kebaikan akan kaum perempuan?

Jika ya feminisme adalah kebaikan akan kaum perempuan, mengapa banyak juga yang menolak kata tersebut walaupun ia memperjuangkan hak perempuan? Padahal feminisme itu sendiri adalah sebuah teori sosial yang memang selalu dinamis pergerakannya. Sehingga di dalamnya sangat mungkin memiliki perbedaan pendapat antara aliran yang satu dan yang lain.

Jika tidak meyetujui aliran yang lain, maka buatlah aliran feminis sendiri. Bukan malah menolaknya mentah-mentah karena keegoisan atas nama golongan. Dan lupa akan marwah perjuangan yaitu untuk memperjuangkan hak perempuan yang sering dialpakan.

Kesadaran kemanusiaan perempuan kita masih begitu rendah. Fakta sosial kita menunjukan banyaknya korban-korban yang terus berjatuhan. Sehingga, marilah melebur ego, bersahabat dan mau terus membuka kemungkinan diskusi demi kemanusiaan perempuan yang lebih baik.[]

Tags: anakfeminismeGenderkeadilanKesetaraanlaki-laki
Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Stigma Duda

Stigma Duda, Laki-laki yang Menjadi Korban Patriarki

2 Juli 2022
Ruang Aman bagi Perempuan

Bisakah Kampus Menjadi Ruang Aman bagi Perempuan?

2 Juli 2022
Perbuatan Baik

Bagaimana Menyikapi Perbuatan Baik yang Bertepuk Sebelah Tangan?

1 Juli 2022
Korban Kekerasan

UU TPKS Melarang Menikahkan Korban Kekerasan dengan Pelaku

1 Juli 2022
Era Digital 4.0

Teknologi dan Tantangan Manusia Memasuki Era Digital 4.0

1 Juli 2022
Korban Kekerasan Seksual

5 Hal Penting yang Perlu Diperhatikan saat Menghadapi Korban Kekerasan Seksual

30 Juni 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Stigma Duda

    Stigma Duda, Laki-laki yang Menjadi Korban Patriarki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berdosakah Istri Meminta Cerai: Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Sikap Lagertha, Pemimpin Perempuan dalam Serial Vikings yang Patut Dicontoh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisakah Kampus Menjadi Ruang Aman bagi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kesetaraan Gender dalam Perspektif Tokoh Perempuan Nahdlatul Ulama Masa Kini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berdosakah Istri Meminta Cerai: Perspektif Mubadalah
  • Puasa Dzulhijjah Hanya 3 Hari, Bolehkah?
  • Stigma Duda, Laki-laki yang Menjadi Korban Patriarki
  • Puasa Dzulhijjah Tapi Tidak Berurutan, Bolehkah?
  • 5 Sikap Lagertha, Pemimpin Perempuan dalam Serial Vikings yang Patut Dicontoh

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist