• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Tahukah Salingers, Patriarki tak Mengenal Jenis Kelamin Lho!

Menentang budaya patriarki adalah bentuk dari implementasi syariat Islam sesuai dengan amanah dalam al-Quran dan al-Hadits

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
21/09/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Patriarki

Patriarki

221
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sejalan dengan semakin menguatnya gerakan perempuan untuk kesetaraan, isu patriarki kerap mewarnai dialektika didalamnya. Suatu budaya dimana laki-laki dianggap lebih superior dibanding perempuan di segala lini dan bidang. Laki-laki ditempatkan sebagai objek dalam sistem sosial, sedang perempuan berperan sebagai subjek.

Dampak patriarki secara historis, perempuan acapkali mendapat perlakukan yang tidak manusiawi.  Pada masa peradaban Yunani menurut Syekh Mahmudunnasir (2006), perempuan hanya menjadi pelengkap kehidupan laki-laki. Hanya menjadi simpanan petinggi istana dan tempat pelampiasan hawa nafsu. Perempuan bisa diperjualbelikan dan diserahkan kepemilikannya kepada orang lain menggunakan wasiat. Posisinya sebagai masyarakat kelas dua dianggap najis dan kotoran sehingga tidak memiliki kuasa atas kepemilikan harta dan pusaka.

Marginalisasi perempuan di segala bidang ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh pemikir besar di masa Yunani kuno. antara lain Plato dan Aristoteles. Di mana salah satu teorinya menyatakan bahwa idealitas laki-laki ditentukan dari kemampuannya dalam memerintah. Semakin banyak negara yang ditaklukkan, semakin banyak perempuan yang ditundukkan. Dan semakin banyak penjajahan yang ia lakukan, maka akan semakin meneguhkan idealitas laki-laki.

Berlanjut pada peradaban Romawi. Fatimah Umar Nasir dalam bukunya dijelaskan bahwa peradaban Romawi secara resmi mencabut dan menghilangkan hak sipil bagi kaum perempuan. Harta yang perempuan dapatkan adalah hak keluarga laki-laki, meskipun ia yang bekerja. Perempuan diberlakukan sebagai objek, maka sang ayah akan meminta sejumlah uang kepada laki-laki yang akan melamarnya sebagai uang pengganti.

Karena suami sudah merasa membeli, maka istri harus mengerjakan segala yang diminta suaminya. Dan setelah suami meninggal, istri juga tidak berhak atas harta yang ditinggalkan. Harta suami akan jatuh ke anak laki-laki. Jika tidak memiliki anak laki-laki, diberikan kepada saudara laki-laki ayah. Dan sampai pada masa jahiliyah.

Baca Juga:

KB dalam Pandangan Islam

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Fenomena historis tersebut merupakan sejarah kelam bagi perempuan, hingga datangnya agama Islam dengan menyuarakan kesetaraan. Mengeluarkan perempuan dari lembah kehinaan sebagai masyarakat kelas dua, dan memperjuangkan kediriannya sebagai manusia.

Perubahan dimensi patriarki: dari sikap menjadi mental

Menentang budaya patriarki adalah bentuk dari implementasi syariat Islam sesuai dengan amanah dalam al-Quran dan al-Hadits. Namun demikian, meskipun ayat-ayat kesetaraan menjadi salah satu spirit perjuangan Islam, ideologi patriarki tampaknya telah tersemat kuat, dipelihara, dan disimpan secara rapat di dalam tubuh masyarakat.

Marginalisasi dan pemiskinan ekonomi, subordinasi akses pendidikan, stereotype peyoratif, kewajiban ketertundukan perempuan pada gender lain dianggap sebagai kelaziman yang memang sudah selayaknya demikian. Sehingga tak ada lagi yang harus diperjuangkan selain hanya menerima kenyataan bahwa perempuan memang ditakdirkan menjadi masyarkat kelas dua. Kita dipaksa kembali ke masa kelam perempuan di masa Yunani hingga jahiliyah.

Patriarkipun menunjukkan wajah barunya, tak hanya sebuah ideologi dan perilaku, namun berubah menjadi sebuah mental. Mental untuk menindas dan mental untuk menerima ketertindasan. Sehingga patriarki tak hanya menjangkiti laki-laki, namun juga menyerang perempuan.

Perempuan dengan penuh kesadaran mengubah kepribadiannya untuk menjadi cantik di mata laki-laki. Tentu tujuannya adalah untuk menarik perhatiannya agar dinikahi, karena keberadaan perempuan akan hina jika tidak menikah. Fase selanjutnya memberikan pengabdian totalitas untuk laki-laki, menyerahkan seluruh jiwa dan raga tanpa syarat, menjadi mesin reproduksi, pemuas kebutuhan seksualitas laki-laki tanpa kompromi.

Ibarat mata rantai yang tak pernah putus, pola pendidikan dan pengasuhan bermental patriarkis akan dilanjutkan pada generasi penerusnya. Ibu akan memprioritaskan kebutuhan anak laki-laki di atas anak perempuan, memberikan akses pendidikan yang lebih baik, mendidik dengan maskulinitasnya. Sedangkan perempuan dikonstruk dan dididik di bawah bayang-bayang saudara laki-laki, didomestikasi, dan dikebiri kebebasannya.

Maskulinitas Kebijakan dan Tafsir Berperspektif Laki-Laki

Salah satu penyebab menjamurnya mental patriarki bagi laki-laki dan perempuan adalah kebijakan hukum perkawinan yang tidak ramah gender. UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga, dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Superioritas laki-laki dibentuk oleh regulasi yang menghendaki demikian. Sehingga suami sebagai kepala rumah tangga fokus pada pemenuhan nafkah, dan istri sebagai penyenang, penenang, dan pelengkap kebahagiaan laki-laki.

Pun jika perempuan harus berkiprah di ranah publik, kewajiban dometik tetap akan melekat pada dirinya. Bahkan jika ia mencukupi nafkah lahiriyah sekalipun, tetap posisinya bukanlah seorang kepala rumah tangga. Lambat laun, mental patriarki semakin menguat dalam jiwa suami maupun istri. Peran suami semakin dominan, dan istri akan menerima ketertindasannya dengan lapang dada.

Demikian pula dengan tafsir, banyak dimaknai menggunakan kacamata laki-laki. Sehingga tidak menyentuh pengalaman perempuan secara kongkrit. Doktrin untuk terus melayani suami karena perempuan adalah ladang laki-laki, tidak diiringi dengan kajian mengenai kondisi psikologis dan sosial perempuan. Perempuan terus didoktrin untuk melayani dan melayani meskipun harus mengorbankan kebahagiannya.

Naskah-naskah yang berperspektif perempuan masih sangat jarang ditemui dalam khazanah pemikiran Islam. Sehingga revolusi kemanusiaan perempuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW pun kian memudar. Hal ini disebabkan karena kurangnya akses perempuan di bidang penafsiran al-Quran dan penetapan hukum (fiqh).

Islam membawa misi memanusiakan perempuan, maka perempuan harus diberlakukan selayaknya manusia. Ketaatannya pada Allah adalah satu-satunya idealitas muslim. Bukan karena jenis kelaminnya, sukunya, ataupun rasnya. Segala diskriminasi berbasis gender sebagaimana dialami perempuan di masa pra Islam maupun di masa-masa sebelumnya harus dihilangkan.

Maka melihat perubahan dimensi patriarki dari ideologi menuju mental yang menjangkiti semua jenis kelamin, yang perlu dilakukan adalah sinergitas perempuan untuk memperjuangkan kembali misi pemanusiaan perempuan sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Memang bukan hal yang mudah, misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW semenjak abad ke-6 masehi tersebut nyatanya masih terus berproses dan belum mencapai garis final bahkan hingga detik ini.

Cara untuk menghilangkan patriarki dimulai dari membangun kesadaran perempuan untuk tidak menerima diskriminasi, inferioriti dan ketertindasan sebagai kodrat. Perempuan harus banyak menyuarakan pendapatnya di wilayah publik dan meningkatkan kehambaannya kepada Allah Sang Khaliq, bukan kepada makhluk. Ketertundukan istri atas suami harus didasari misi ketaatan pada Allah SWT. Apa yang menjadi tujuan kebahagiaan dalam keluarga harus dicapai bersama-sama tanpa harus ada pihak yang berkorban penderitaan. []

Tags: GenderislamkeadilankemanusiaanKesetaraanlaki-lakipatriarkiPeradaban Duniaperempuansejarah
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version