Mubadalah.id – Setelah sekian lama, akhirnya penulis berkesempatan untuk menuliskan tentang falsafah kehidupan yang terdapat pada perilaku Nabi Saw. Juga, sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi Saw., dan mengambil pelajaran dari nilai-nilai perilaku yang menjadi teladan setiap umatnya. Yang mana bulan maulid banyak mesjid-mesjid yang mengungkapkan rasa rindu kepada Nabi Saw, dan rasa cinta yang ingin diungkapkan oleh setiap Muslim melalui pembacaan diba’, barzanji dan sejenisnya.
Penulis ingin membaca dari sudut pandang lain atas sikap serta perilaku Nabi Saw yang begitu santun, lemah nan lembut yang menjadikannya sebagai suri teladan terbaik. Sebagaimana hadis nabi, bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw di tengah-tengah kesemrawutan umat manusia, bertujuan untuk memperbaiki akhlak manusia. Dan juga dipertegas hadis dari Aisyah, bahwa akhlak Nabi ialah Al-Qur’an.
Kesantunan dari sikap Nabi Saw, dalam hal ini penulis ingin sedikit membacanya dari sudut pandang filsafat tepatnya Filsafat Stoa. Tujuan dari tulisan ini ialah bagaimana Falsafah Stoa telah bersemayam dalam diri Nabi Saw., dan menjadi praktik sosial Nabi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita telusuri dan temukan melalui sejarah Nabi Saw.
Asal Usul Filsafat Stoa
Henry Manampiring, dalam bukunya “Filosofi Teras” menceritakan asal muasal Filsafat Stoa telah ada 2.300 tahun lalu yang diajarkan oleh Zeno, seorang pedagang kaya raya asal Siprus. Apesnya, saat membawa barang dagangannya dari Phoenecia menuju Peiraeus kapal yang ditumpanginya karam dan ia pun terdampar di Athena. Di Athena inilah ia memulai perjalanan barunya walau ia menjadi orang asing di kota yang tidak ia kenali sebelumnya.
Ketika sedang berjalan-jalan di Athena, Zeno mengunjungi sebuah toko dan menemukan buku-buku filsafat yang membuatnya jatuh hati pada filsafat. Karena ketertarikannya kepada filsafat, ia pun bertanya-tanya di mana ia dapat belajar lebih dalam lagi tentang filsafat. Alangkah beruntungnya ia pada saat itu, ia bertemu dengan Crates seorang Filsus Cynic. Mulailah ia mengikuti Crates untuk mempelajari filsafat dan sebagai lembaran baru Zeno yang menjadikannya seorang filusuf.
Setelah belajar dari banyak filsuf, Zeno memulai untuk mengajarkan filosofinya sendiri. Selama mengajar, ia memilih teras yang berpilar sebagai tempat favoritnya untuk membagikan pandangan-pandangan filosofisnya. Teras berpilar dalam bahasa Yunani diartikan Stoa sedangkan para pengikutnya disebut sebagai “Kaum Stoa”.
Masih dalam buku yang sama, tercatat ada dua tujuan utama dari Filsafat Stoa, pertama, terlepas dari nilai-nilai emosi negatif yang ada pada diri seperti marah, cemburu, curiga dan lainnya. Kedua, mengasah kebajikan dalam hidup yang terdiri dari kebijaksanaan, keadilan, keadilan dan menahan diri. Menariknya dari Filsafat Stoa ini ialah kedua tujuan tersebut menjadi sebuah praktik dalam keseharian yang menjadikannya berbeda dengan filsafat-filsafat lainnya.
Agar pengaplikasian dua tujuan tersebut tercapai, Henry Manampiring menuliskan langkah-langkah saat emosi negatif menguasai diri yakni, Stop, Think & Asses dan Respond yang disingkat menjadi STAR.
- Stop (berhenti). Apabila emosi negatif perlahan menguasai diri, langkah pertama ialah berhenti secara sadar dan jangan biarkan emosi negatif mengontrol diri.
- Think & Asses (dipikirkan & dinilai). Setelah berhenti dan perlahan menguasai diri sendiri mulailah berpikir secara rasional dan nilailah apa tindakan atau perasaan dibenarkan atau tidak. Praktik menilai dari Filsafat Stoa ialah bertanya pada diri sendiri, “Apakah dampak negatif yang ada saat ini di bawah kendali saya atau di luar kendali diri saya?”
- Respond. Jika sudah mempraktikkan kedua hal di atas barulah masuk pada tahap selanjutnya yaitu memberikan respon baik secara tindakan ataupun tulisan. Karena kondisi emosi telah terkendali maka diharapkan respon yang diberikan secara baik dan bijaksana.
Ketiga langkah ini secara bersamaan harus diaplikasikan ketika emosi negatif secara perlahan akan menyebabkan mafsadat pada diri sendiri. Maka, perlunya praktik secara terus menerus hingga menjadikan kebiasaan yang bijak sewaktu-waktu dihadapkan dengan banyak problem yang menguras tenaga dan emosi.
Praktik Filsafat Stoa Ala Nabi
Al-Mubaraqpuri dalam bukunya “Sirah Nabawiyah” ada sebuah kisah yang telah menjadi pengetahuan umum oleh kalangan Muslim yakni cerita tentang perjalanan Nabi Saw sewaktu menuju ke Thaif. Sisi menarik pada kisah ini adanya dialog antara Nabi Saw dengan malaikat yang mungkin tanpa sisi kemuliaan akhlak Nabi Saw kemungkinan sejarah Islam akan diserang dari berbagai pintu-pintu semacam itu.
Syahdan, ketika Nabi Saw bersama Zaid bin Harits berada di Thaif untuk menyebarkan ajaran Islam, Nabi Saw bertemu dengan ketiga keluarganya yang ketika itu merupakan kepala suku. Lalu, beliau mengajak pada ajaran Islam dan meminta mereka untuk membantu menyebarkan Islam, namun sayang seribu sayang mereka menolak dan lebih memilih bermusuhan pada Nabi Saw. lalu Nabi pun meninggalkan mereka.
Setelah beberapa hari di Thaif dan terus menerus mengajak pada ajaran Islam dan Nabi pun tidak menemui seseorang yang mau untuk menerima ajaran Islam. Para kepala Suku Thaif dengan pongah berbicara kepada Nabi dengan mengusir Nabi dari Thaif. Setelah pengusiran tersebut, sewaktu Nabi dalam perjalanan untuk keluar dari kota itu sekelompok orang mengejar Nabi beserta Zaid dengan dihina, dicaci maki, hingga dilempari batu yang menyebabkan kaki Nabi Saw terluka, sedangkan Zaid dengan sekuat tenaga untuk melindungi dan menyebabkan kepalanya terluka akibat lemparan batu tersebut.
Pulanglah Nabi Saw ke Mekkah, dan di tengah perjalanan tepatnya di Qarn al-Manzil datanglah Malaikat Jibril dan Malaikat Penjaga Gunung. Terjadilah dialog antara Nabi Saw dan kedua malaikat tersebut. Yang inti kisahnya ialah Allah telah mengutus Malaikat Penjaga Gunung kepada Nabi Saw dan menawarkan kepada Nabi Saw untuk menghancurkan Thaif beserta penduduknya dengan mengimpitkan kedua gunung.
Lalu Nabi Saw tiada menaruh dendam apa pun dengan berkata, “Tidak, aku berdoa semoga Allah Swt memberi petunjuk agar orang-orang penting di antara mereka mau menyembah Allah Swt tanpa menyekutukannya.”
Mari kita renungkan sejenak kisah analisis serta coba kita padankan dengan langkah mengendalikan Filsafat Stoa yang telah dituliskan di atas. Ketika Nabi Saw mendapat cacian, hinaan, dan makian dari penduduk Thaif apakah Nabi Saw langsung menunjukkan emosi negatifnya seperti marah atau tidak? Apakah Nabi Saw merespon perilaku tersebut dengan mengedepankan emosi negatif?
Tentu tidak!
Adanya dialog antara Nabi dengan Malaikat Penjaga Gunung yang bisa saja menghancurkan Thaif dengan sekejap atas izin Allah, namun lagi-lagi Nabi Saw dengan karakter mulianya, berhenti, berpikir dan menilai, dan respon yang begitu bijak menjadikan Nabi sebagai sosok ideal sebagai contoh setiap umat Islam dan begitu banyak falsafah-falsafah kehidupan yang ada pada diri Nabi yang seharusnya menjadi pembelajaran bagi umat Muslim. Allhumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad. []