Mubadalah.id – Pada tulisan sebelumnya, dituliskan tentang dukungan Kiai Sahal terhadap istri beliau Nyai Nafisah Sahal. Pengalaman berharga ini, saya dapatkan di tahun-tahun awal berumahtangga. Saat itu, saya adalah ibu dua anak yang masih berusia dini. Ketika anak kedua saya hampir berusia dua tahun, Kiai Sahal bertanya mengenai rencana saya melanjutkan pendidikan S2. Terus terang saya terkejut mendengar pertanyaan beliau saat itu. Bukannya saya tak ingin melanjutkan pendidikan S2, karena suami pun sudah lama mendorong untuk itu. Namun, terus terang, ada rasa gamang dalam hati saya. Bagaimana nanti dengan dua anak saya yang masih berusia di bawah enam tahun serta berbagai kekhawatiran lainnya.
Namun sungguh takjub hati saya, saat Kiai Sahal dawuh, “Rozin tambah-tambah pengalamane, ilmune. Mosok awakmu ora tambah-tambah. Awakmu kudu sekolah maneh ben iso ngimbangi.” Saat itu tentu saya tidak menyangka beliau memiliki cara berfikir sedemikian rupa. Betapa saat itu saya menyadari keluasan cara pandang Kiai Sahal. Beliau memaknai relasi suami-istri bukan semata mengenai bagaimana mendidik anak dan masak-memasak. Namun juga bagaimana seharusnya ada usaha untuk bisa saling memahami dunia satu sama lainnya.
Dan demikianlah, akhirnya atas dukungan keluarga, saya mantapkan hati untuk melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Diponegoro Semarang. Setiap jumat saya berangkat dari pati menuju semarang. Dan pulang kembali pada sabtu malam atau ahad sore. aktifitas tsb berlaku hingga dua tahun sampai saya lulus S2 dua tahun kemudian. Saat itu saya memulai kuliah pada tahun 2009, dan wisuda pada tahun 2011.
Selama itu, beliau selalu memberikan supportnya agar saya memantapkan hati dan meluruskan niat dalam mencari ilmu. Bahkan saat usai ujian tesis, beliau berkenan melihat naskah tesis saya dan memberikan apresiasi.
Sikap Kiai Sahal ini tentu saja merupakan pelajaran yang sungguh berharga bagi saya. Bagaimana beliau memaknai hakekat mencari ilmu. Bagaimana beliau memandang pentingnya pendidikan utk perempuan dan bagaimana beliau memaknai relasi suami istri serta bagaimana beliau mengapresiasi usaha saya utk menyelesaikan pendidikan tepat waktu diantara aktifitas keluarga.
Dukungan Kiai Sahal bagi pendidikan perempuan ini, tentu saja bukan yang pertama kali beliau lakukan. Jauh sebelumnya, kita dapat melihat bagaimana dukungan Kiai Sahal untuk sang istri, saat awal mula memasuki biduk rumah tangga.
Saat menikah, Nyai Nafisah Sahal adalah mahasiswi tingkat dua (saat itu belum ada sistem semesteran) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Meski keduanya bersepakat untuk menetap di Kajen pasca menikah, namun pada kenyataannya, Kiai Sahal tidak memaksa istrinya meninggalkan bangku kuliah begitu akad nikah terjadi. Justru sebaliknya, Kiai Sahal memberikan ruang bagi sang istri untuk tetap tinggal di jogja, melanjutkan kuliah hingga rampung dua tahun berikutnya.
Tentu bukan pilihan mudah bagi pasangan muda ini untuk melakoni kehidupan LDR (long distance relationship) dalam jangka waktu cukup lama. Terlebih, LDR itu terjadi bukan lantaran sang suami yang sedang menyelesaikan pendidikan tingginya. Tetapi justru sang istrilah yang sedang menyelesaikan kuliahnya. Dalam banyak kasus, dalam kedudukan suami yang tak menempuh bangku kuliah, tentu tak akan merelakan istrinya untuk menyelesaikan pendidikan tingginya pasca akad nikah.
Dapat dibayangkan, bagaimana Kiai Sahal sudah memiliki pemikiran terdepan dalam mendukung perempuan untuk berpendidikan tinggi, bahkan pada saat banyak anak-anak perempuan lainnya tidak berkesempatan menyelesaikan pendidikan dasarnya. Wallahu A’lam. Kagem Kiai Sahal Mahfudh dan orang-orang tercinta yang telah mendahului kita, AlFatihah. []