“Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia.”
Mubadalah.id – Nasihat dari Ali bin Abi Thalib ini sangat berharga. Kok bisa berharap pada manusia dianggap sebagai sebuah pengalaman hidup paling pahit? Bukankah berharap pada manusia justru lebih simpel dan akan cepat memberikan rasa puas? Nasihat Ali ini bila tidak direnungkan, bila kita belum merasakan sendiri memang agak sudah dicerna. Namun baiklah mari kita kupas pelan-pelan.
Judul catatan harian hari ini sangat jelas, meksipun untuk mempraktikannya tidak mudah. Ada hal-hal yang harus kita ikhtiarkan agar kita tidak lagi punya rasa kecewa. Bagaimana caranya? Menjadikan Allah sebagai tempat pengharapan yang utama. Biar pun dimensi manusia dan Allah itu berbeda, tetapi dengan do’a dan keyakinan, dimensi itu justru bisa akan sangat dekat. Kondisi di mana kita hanya bergantung dan pasrah kepada-Nya. Sedang dalam keadaan punya uang atau tidak, sedang dalam bekerja atau menganggur, sedih atau gembira, dan seterusnya, berlatihlah agar keyakinan kepada Allah jangan sampai pudar.
Jujur saja memang bukan perkara mudah. Ketika kondisi sosial kita menggambarkan kondisi yang serba instan, segalanya diukur dengan uang, dan segala anggah-ungguhnya yang tidak jelas. Saya mengajak kita harus segera memaksakan diri untuk keluar dari zona mainstream ini. Zona yang membuat kita hanya akan terpaku pada realitas yang sakit. Realitas yang menyebabkan mental masyarakat menjadi jongkok. Realitas yang membuat orang hanya ikut-ikut kebanyakan orang lainnya. Selain juga adu kekuatan, gagah-gagahan, ribut-ribut tidak keruan.
Mulai sekarang bismillah. Ikuti kata hati. Akan seperti apa kelak kita di masa mendatang, kuncinya terletak pada masa sekarang. Lakukan apa yang kita yakini, sesuai dengan jiwa yang tangguh. Boleh mempertimbangkan saran dari orang lain, tapi tetap kita tidak boleh kehilangan arah. Mantapkan hati kita kepada Allah untuk terus menggapai impian. Kita yang menjalani, orang lain yang mengomentari. Pastikan agar diri kita tidak hanya menjadi orang yang pandai berkomentar. Kalau hati kita hanya bertaut kepada Allah, gagal atau berhasil, dipuji atau dicaci, sudah bukan tujuan.
Tidak punya rasa kecewa sesungguhnya hanya cara kita dalam mengelola potensi kecewa. Manakala potensi kecewa akan datang, kita selalu sigap untuk terus memperkuat benteng pertahanan mental. Sepanjang pikiran dan hati kita tidak mengizinkan rasa kecewa itu masuk ke dalam diri, kita pun akan tetap enjoy. Sesegera mungkin kita kendalikan potensi rasa kecewa itu dengan segala upaya. Apakah kita tetap fokus pada kemajuan hidup, melakukan jeda barang sejenak untuk merencanakan langkah-langkah hidup selanjutnya atau dengan cara-cara yang lain.
Lebih dari itu, kita harus selalu ingat bahwa apa pun yang terjadi, apakah itu mengenakan atau tidak, adalah keputusan Allah yang tidak bisa diganggu gugat. Yang telah terjadi biarlah terjadi. Pasrahkan, ikhlaskan. Respon negatif atas apa yang kita alami hanya akan membuat kita semakin terpelanting jauh. Sebaiknya kita yang terus memperbaiki diri, tetap menjaga baik sangka kepada Allah, tidak menyalahkan orang maupun keadaan. Menjadi orang yang lebih hati-hati lagi, menjadi orang yang lebih kuat lagi. Semakin pasrah atas apa pun takdir Allah.
Hidup kita, kita yang menentukan. Jangan pernah sedikit pun merespon keburukan orang lain. Tetap jaga keseimbangan mental kita. Semakin sibukkan diri dengan aktivitas yang akan membuat kita lebih produktif. Yakinlah, bahwa sedahsyat apa pun badai, ia pasti berlalu.
Badai hanya salah satu fenomena alam yang sengaja Allah hadirkan agar kita bisa terus bertahan meskipun banyak mendapat hantaman. Ketika kita telah mampu menjadikan diri ini sebagai sosok yang tidak punya rasa kecewa, di situlah kita juga akan menjadi sosok yang tidak mudah marah, tidak mudah terpengaruh pembicaraan orang lain.
Teruslah mendekati Allah. Karena hanya Allah yang akan mampu menolong kita dari segala persoalan hidup. Ingat kepada Allah adalah bentuk keyakinan bahwa apa pun yang terjadi pada hidup kita adalah atas izin Allah. Allah pasti lebih tahu dari apa yang kita tahu.
Pengetahuan kita sangat terbatas, sementara kekuasaan Allah tidak terbatas, tidak ada satu pihak pun yang bisa mengintervensi Allah. Allah selalu berkuasa dengan sendirinya, tanpa bisa dikompromi, tanpa bisa diatur-atur. Akhirnya, siapa pun yang membaca catatan ini, apalagi sedang dilanda rasa kecewa, tarik nafas barang sejenak, shalatlah barang 2 rakaat, segera bangkit dan bergeraklah! Wallahu a’lam. []