Mubadalah.id – Bakda shalat maghrib berjemaah malam ini, saya baru saja membaca sebuah kisah pilu, kelihatannya kisah nyata, sepasang istri-suami yang harus terpaksa mengunyah pil pahit perpisahan. Singkat kisahnya begini. Awal pernikahan pasangan suami istri ini, kondisinya baik-baik saja seperti kebanyakan pasangan suami istri yang lain.
Suami rupanya telah punya rumah sejak masih bujangan, meskipun dengan perabotan yang tidak lengkap. Karenanya setelah mereka menikah, keduanya tidak pusing membeli rumah. Hanya saja yang membuatnya repot, istri tampak selalu terkena ocehan tetangga. Apa-apa segala harus dibeli.
Mengetahui hal itu, suami memutuskan untuk memegang semua keuangan keluarga, takut-takut istrinya boros. Sampai suatu ketika. Ketika usia pernikahan pasangan ini menginjak tahun ke 7, saat Ramadan jelang Lebaran, suami bersama istri dan anaknya berbelanja untuk membeli pakaian baru.
Ternyata, setelah berjam-jam berkeliling, istrinya tak kunjung mendapatkan pakaian barunya. Suami rupanya dibuat kesal. Saat hendak pulang, istrinya merajuk ingin sekali dibelikan gamis levis seharga 300 ribu, suaminya tidak setuju, karena dianggap terlalu mahal. Istrinya tampak cemberut. Sampai suami tidak tega sehingga ia akan berbalik arah meskipun telah di tengah jalan menuju pulang.
Ternyata istrinya tidak mau. Sepanjang jalan ia cemberut. Sesampainya di rumah pun wajahnya seperti selalu murung. Ada kekesalan dan sakit hati yang bersarang di dada akibat suaminya. Sehari-hari di rumah, ia tetap menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, tetapi ia sudah tidak lagi ceria. Ia tetap murung. Sakit hatinya rupanya teramat dalam.
Sampai suatu ketika ia hendak ke sekolah untuk keperluan mengambil raport anaknya, ia tetap lusuh, dengan memakai pakaian serba tidak layak. Sampai suaminya memberi uang dalam jumlah banyak pun tetap ia tidak menggunakannya. Bahkan uang permberian suami yang selama ini ia dapatkan, ternyata tidak ia belanjakan yang jumlahnya mencapai 20 juta.
Saya mau stop saja kisah pasangan ini. Bahwa harus dipahami betapa berumah tangga itu memang rumit. Apalagi jika oleh istri-suaminya semakin dibikin rumit. Seperti tidak tertebak, jalannya kerap kali berliku. Setiap pasangan ternyata punya ujiannya masing-masing.
Namun begitu, tentu bukan berarti membuat kita putus asa. Bahwa tugas kita di dunia, termasuk di dalamnya berumah tangga adalah sebatas berusaha dan berdo’a. Maka dari itu usahakan agar pasangan suami istri bersikap saling terbuka sedini mungkin, sebisa mungkin. Terutama soal segala keperluan dalam rumah tangga. Mulai dari pakaian, makanan, kesukaan, keperluan anak-anak dan lain sebagainya.
Sikap saling terbuka pasangan suami istri menghindari buruk sangka. Sikap saling terbuka juga efektif untuk menjembatani perbedaan. Meskipun telah menjadi istri dan suami, tidak mungkin selalu sama, pasti ada saja perbedaan. Perbedaan selera, pendapat dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana ketika menemukan perbedaan? Sepanjang telah dilalui oleh sikap saling terbuka, telah disanggupi segala konsekuensinya, ya sudah dikembalikan pada keyakinan masing-masing. Dan tentu kalau ada keputusan yang keliru pun, jangan sampai muas-muasin satu sama lain.
Istri mau pun suami jangan sampai berlagak “menguji” satu sama lain. Termasuk melakukan perbuatan baik yang disembunyikan. Seperti contoh kisah di atas tadi, yang melakukan kebiasaan menabung tetapi tanpa sepengetahuan suami dengan alasan apa pun.
Meskipun menabung itu baik, tahu sendiri kan akibatnya apa? Uang sebanyak apa pun akhirnya tidak ada artinya. Begitu pun hikmah yang didapat dari kisah tersebut, bahwa hemat itu perlu. Namun jangan mematok konsep hemat hanya dengan perspektif istri atau suami an sich.
Oya, yang juga tidak kalah penting adalah bahwa istri tidak boleh berharap terlalu berlebihan kepada suami. Begitu pun sebaliknya, suami kepada istri. Karena nantinya kecewa dan sakit hati. Tetap bersikap proporsional. Istri juga tetap harus belajar mandiri, meskipun misalnya tetap mendapatkan nafkah dari suami. Suami pun tidak boleh dengan gampangnya selalu melarang-larang istri. Sampai kemudian istri diberi kesempatan untuk mandiri, itu bukan berarti untuk menyaingi suaminya.
Yang terakhir, segala perbedaan pendapat hendaknya disikapi dengan tenang. Jangan dengan emosi dan marah. Sebab nanti akibatnya fatal dan ujungnya pasti penyesalan. Penyesalan itulah yang pintu masuknya adalah perpisahan. Perpisahan yang tidak wajar, perpisahan yang seharusnya urung terjadi.
Apabila dalam bermusyawarah antara istri dan suami menemukan jalan buntu, tidak ada yang mau mengalah, berdo’alah kepada Allah agar diberi petunjuk dan atau keduanya bisa meminta pandangan kepada guru atau siapa pun pihak yang bisa menjadi penengah dari masalah yang dihadapi. Wallaahu a’lam. []