Radikakalisme secara populer menunjukan kepada ektremisme politik dalam aneka ragam bentuknya, atau usaha untuk mengubah orde sosial-politik secara drastis dan ekstrem. Namun tindakan terorisme dan kekerasan dilakukan oleh ekstremis kejam telah menghubungkan Islam dengan terorisme.
Islam seperti halnya semua agama di dunia, tidak mendukung ataupun mensyaratkan kekerasan yang tak dibenarkan. Islam dan hukum Islam secara konsisten mengutuk tindakan terorisme (membunuh orang yang tidak memerangi).
Walaupun tradisi penggunaan kekerasan dalam bentuk perang merupakan sarana ampuh untuk membangun suatu bangsa dalam sejarah peradaban manusia, namun sejarah membuktikan juga tidak satupun agama yang melegitimasi apalagi menganjurkan kekerasan.
Sedangkan tuduhan yang sering dilontarkan oleh sebagian orientalis bahwa Islam agama “pedang”, yang menganjurkan aksi-aksi radikal pada umumnya mendasarkan argumentasinya pada dua hal. Pertama adalah dalam interaksinya dengan kekuatan ekstrenal (non Islam), Islam telah berhasil melebarkan sayapnya dan menancapkan kakinya melalui ekspansi militer jauh dari titik geografis kelahirannya.
Bukti sejarah menunjukan ekspansi teritorial Islam yang tak terbendung pada masa formatifnya sampai ke daratan Eropa di Barat dan benua India di Timur. Kedua, hubungan internal umat Islam yang berlangsung antara kelompok oposisi dengan penguasa sejak pembunuhan khalifah ketiga Usman r.a. sampai sekarang selalu diwarnai oleh kekerasan. Corak kekerasan ini bagi sebagian orientalis adalah konsekuensi logis atas penekanan konsep jihad dalam kehidupan politik Islam.
Jihad (berjuang atau berusaha keras) kadang disebut sebagai rukun Islam keenam. Kepentingan Jihad berakar pada perintah Al-Qur’an untuk berjuang di jalan Allah Swt. Dalam peristilahan Al-Qur’an, jihad dibagi atas dua kategori.
Pertama adalah jihad fi sabilillah, kedua jihad fillah. Yang pertama dimaksudkan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk didalamnya pengorbanan harta dan nyawa. Adapun kategori kedua jihad fillah atau usaha sungguh-sungguh (menghampiri Allah) adalah usaha untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan erat antara seseorang dengan Allah. Usaha sungguh-sungguh ini diekspresikan melalui penundukan tendensi negative yang bersarang di jiwa tiap manusia, dan penyucian jiwa sebagai titik orientasi seluruh kegiatan.
Untuk memperjelas substansi jihad agar tidak diidentikan dengan aksi mengangkat senjata, Al-Qur’an membedakan antara konsep qital (interaksi bersenjata) dengan konsep jihad. Namun jihad dengan pengertian sempit ini ( mengangkat senjata) oleh Al-Qur’an dibatasi pada saat-saat tertentu khususnya dalam rangka mempertahankan diri. Dari pengertian sisi penting inilah yang secara keliru dianggap sebagai ciri utama jihad yang mengundang kontroversi dan pertikaian pendapat.
Namun seruan jihad qital telah bergeser kepada perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh konstalasi global dimana ISIS dikalahkan di berbagai tempat dan kesulitan perekrutan laki-laki untuk bersedia menjalankan amaliyah jihad qital yaitu berperang. Kondisi defisit diinternal ISIS sangat masuk akal membuat mereka mangatur strategi yang berbeda untuk menggunakan perempuan di medan perang.
Atas dasar itulah seruan jihad tidak hanya berlaku bagi laki-laki namun sudah melibatkan perempuan, hal ini memberikan rasa pembebasan bagi para perempuan atas otonomi tubuhnya dan kekuatan memainkan power tanpa tergantung kepada suami maupun orang tua. Ini karena tujuan akhir melakukan amaliyah jihad adalah kemuliaan utama diatas segalanya.
Bagaimana Sesungguhnya Peran Perempuan dalam Medan Perang
Tentu saja melibatkan perempuan tidak akan membutuhkan Effort yang panjang karena proses radikalisme pada perempuan sudah berlangsung cukup lama. Dalam pengamatannya Lies Marcoes memberikan pembenaran bahwa perempuan di kelompok radikal melakukan peran sebagai “perawat” organisasi dengan aktif berperan dalam mengelola pengajian jemaat. Mereka juga menjadi penjaga organisasi dengan peran-peran perekrutan, mengumpulkan fa’i (harta yang dikuasai muslim dari orang kafir) serta menjalankan tauladan.
Ada beberapa akar masalah yang mendorong langsung dan tidak langsung mengapa perempuan terlibat dalam ekstrimisme.
Pertama kuatnya kontruksi gender “istri patuh suami” dalam kelompok radikal berkontribusi besar dalam mendorong perempuan mengambil aksi teror. Ridho suami adalah Ridho Allah adalah ajaran yang kuat ditanamkan kepada istri-istri di kalangan kelompok radikal.
Kedua perasaan diakui dan terberdayakan juga banyak mendorong para perempuan yang sering mengalami marginalisasi di rumah atau di lingkungannya untuk nekat mengambil peran ini. Untuk mendapatkan pengakuan bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dan perempuan diakui sebagai mujahid yang tak kalah capable dengan laki-laki. Maka mereka kemudian merebut ruang-ruang jidah di pertempuran.
Ketiga, derasnya informasi palsu yang beredar di media sosial tentang memojokkan Islam dan pro asing serta isu utang luar negeri ditambah dengan merajalelanya penyebaran ujaran kebencian.
Keempat penanganan lemah radikalisme di institusi pendidikan membuat pikiran radikal kian mencuat. Para perempun didoktrin dengan pemahaman bahwa Indonesia negara yang kurang Islami dan bahwa Islam merupakan paham dan agama yang sangat sempurna.
Kelima, banyak dari kaum perempuan yang terlibat ini mengalami berbagai ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial, sehingga sangat mudah bagi kelompok radikalisme tersebut untuk merekrut para perempuan.
Demikian pula dengan Indonesia sangat berpotensi “memanen” sejumlah terorisme perempuan. Tampak dari keterlibatan perempuan menjadi pembom bunuh diri dalam sebagian kasus terorisme, dimana sebelumnya perempuan hanya bersifat supportif yaitu mendukung suaminya yang teroris, kini dapat berperan secara aktif.
Peningkatan peran aktif perempuan dalam terorisme ini, luput dari perhatian pemerintah, padahal berbagai riset dan penelitian sudah menyebutkan bahwa perempuan berpotensi memilki peran yang sama dengan laki-laki dalam gerakan radikalisme, perempuan sebagai sosok lemah lembut sehingga tidak dicurigai oleh pihak yang berwajib.
Penanganan Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Terorisme
Pihak pemerintah memilki peran penting dalam menangani keterlibatan perempuan baik bagi masyarakat yang tidak terpapar yang rentan dan yang sudah terpapar. Komunikasi secara intensif harus digalakkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dengan jajaran di berbagai daerah untuk menumpas jaringan-jaringan sel terorisme.
Selain itu koordinasi dengan kementerian pendidikan untuk melakukan identifikasi keterlibatan guru-guru, murid, dan referensi yang terpapar pikiran radikal. Dilanjutkan dengan melakukan pertemuan di berbagai pondok pesantren, badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), lembaga dakwah kampus, untuk membahas kebangsaan sehingga intoleransi dan radikalisme bisa dicegah.
Perlu juga mengadopsi prespektif gender dalam kebijakan deradikalisasi dan counter radikalisasi di BNPT agar memilki kepekaan gender karena radikalisme berdampak berbeda pada perempuan dan laki-laki. Pada dasarnya dari uraian diatas, gerakan radikalisme bisa dicegah, dengan dimulai dari diri kita sendiri. Atas pengetahuan radikalisme kita harus memilki kesadaran untuk tidak terlibat baik dalam hal pemikiran maupun aksi secara langsung. []