• Login
  • Register
Kamis, 10 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

Kita akan kehilangan kemanusiaan jika terus membiarkan tawa menjadi alat untuk menindas. Kita bisa tertawa tanpa harus menjatuhkan siapa pun.

Farah Fauzia Hasan Farah Fauzia Hasan
26/06/2025
in Personal, Rekomendasi
0
Humor Seksis

Humor Seksis

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

WARNING

Kawan-kawan, bagi yang hendak lewat jalur demo hari ini, mohon berhati-hati. Tiga anak Dr. Azhari (teroris yang tewas di Malang tahun 2005) akan berada di tengah kerumunan massa. Mereka membawa bom besar di dadanya! Mereka adalah:

Ayu Azhari

Sarah Azhari

Rahma Azhari

Mubadalah.id – Cuplikan di atas merupakan salah satu  humor yang sempat beredar luas di Indonesia. Sekilas terlihat menggelitik. Namun jika kita renungkan lebih dalam, rasanya ia menyimpan bias dan kekerasan simbolik pada salah satu gender.

Mereka membawa bom besar di dadanya. Nama-nama perempuan bersanding dengan narasi ‘bom besar’ untuk menggambarkan salah satu tubuh perempuan, payudara. Sebuah objektifikasi tubuh yang akrab dengan dunia humor.

Realitasnya, masyarakat Indonesia memang kerap hidup berdampingan dengan humor. Mulai dari obrolan santai di warung kopi, segmen komedi di televisi, hingga unggahan meme di media sosial, semuanya menjadi ruang di mana humor tumbuh subur.

Masifnya perkembangan digital pun turut mempercepat penyebarannya, membuat lelucon bisa menjangkau ribuan orang hanya dalam hitungan menit—tanpa memandang usia, latar pendidikan, agama, atau gender.

Sebagaimana yang Crawford (2003) paparkan, humor seringkali menjadi ‘pintasan’ untuk membicarakan topik-topik tabu yang selama ini tidak mungkin terungkapkan secara langsung. Seperti pembahasan RAS, seksualitas, politik, agama, maupun yang lainnya. Tema-tema tersebut tersalurkan dan dikemas rapi dalam balutan tawa dengan tajuk ‘candaan’.

Baca Juga:

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

Akan tetapi, ketika saya rasa humor bergeser fungsi menjadi ladang objektifikasi fisik untuk menertawakan suatu kelompok —gender–, apakah yang demikian masih dapat kita sebut selera humor atau lelucon? Atau justru merupakan cara lain dalam mempertahankan struktur yang timpang?

Kebiasaan yang Mengakar

Adalah hal yang tidak bisa dibenarkan ketika humor seksis terus menerus kita langgengkan. Saat ini humor seksis rasanya kerap menjadi teman karib kita di berbagai keadaan.

Di perkopian, lingkungan akademik, hingga lingkungan spiritual agaknya pernah menjadi tempat lakon humor seksis ini bergerilya. Seperti halnya seorang tokoh agama yang sempat ramai tempo hari lalu lantaran guyon dalam gaya dakwahnya selalu memakai narasi seksisme alih-alih mengundang gelak tawa para jamaah.

Kulo iku bersyukur Bude Yati elek, milih dadi sinden. Lak ayu dadi lonte. (Saya ini bersyukur Bude Yati jelek, memilih jadi sinden. Kalau cantik jadi pelacur) narasi dalam sebuah video ceramah Gus Miftah.

Tanpa mereka sadari, di antara tawa nyaring yang tercipta, di sana terdapat satu hati kecil yang tertinggal menahan malu. Tubuhnya dijadikan objek guyon yang tidak terhormat.

Atau justru sebaliknya, ironinya terkadang korban sendiri masih nerasa ragu dan tidak menyadari bahwa tindakan seperti ini merupakan bentuk pelecehan verbal karna terbalut dalam selimut ‘candaan’.  Sikap masyarakat yang menormalisasi hal demikianlah  akhirnya menyebabkan pergeseran nilai seksis yang mulanya bersifat privat menjadi terbuka.

Kuatnya Diskirimasi Gender

Tidak ada yang membatasi tentang kepada siapa humor seksis ini akan terus menemukan korbannya. Lafrance dan Woodzicka mengemukakan bahwa humor seksis terdefinisikan sebagai humor yang merendahkan, menghina, memberikan stereotip, memperdaya, atau mengobjektifikasi seseorang berdasarkan gendernya.

Terdapat empat elemen yang dapat kita kategorikan sebagai humor seksis—terkhusus perempuan. Namun dalam hal ini, saya hanya menyoroti dua elemen saja.

Pertama, humor yang merendahkan perempuan dengan menekankan inferioritas perempuan terhadap laki-laki. Kedua, humor seksis secara tidak langsung merupakan produk dari pemikiran patriarkal dengan men-stereotip perempuan sebagai makhluk bodoh, kelas kedua, dan sebatas objek seksuaal belaka.

Dengan langgengnya perilaku humor seksis di masyarakat yang dinormalisasi, artinya kita juga turut mengamini tumbuh suburnya  pikiran-pikiran patriarki yang bersarang di lingkungan kita.

Bahkan tidak menjadi umum, ketika sebagian orang tidak merasa dirinya menjadi korban lantaran berpandangan melazimkan dominasi laki-laki yang dianggap lebih berkuasa dalam hal kewenangan, keterlibatan sosial politik dan lainnya. Sehingga, hal demikian turut di-gapapa-in dalam masyarakat kita. Gapapa, hanya guyon.

Maka tidak berlebihan kiranya, jika saya menganggap bahwa humor seksis semacam ini merupakan akar dari masifnya pelecehan seksual. Tersebab, apabila kita terus menikmati humor semacam ini, lambat laun akan menciptakan rasa ‘ketidakpedulian’.  Pada akhirnya ketidakpedulian ini berujung pada sulitnya mengenali tindak tanduk pelecehan seksual.

Pelanggaran Hak Manusia

Selain sebagai alat pembenaran dominasi gender, humor seksis sejatinya adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Setiap manusia berhak untuk dihormati, baik tubuh, martabat, maupun identitasnya. Ketika tubuh perempuan dijadikan bahan lelucon, komentar seksis kita anggap normal dan lucu, di situlah hak atas rasa aman dan penghormatan diri mulai terkikis.

Bagi sebagian perempuan, candaan itu adalah pengingat bahwa ruang publik belum benar-benar aman. Mereka masih bisa menjadi objek, tanpa punya kuasa untuk menolak. Dan ketika itu terjadi berulang, tanpa masyarakat sadari telah ikut serta dalam menjatuhkan martabat manusia lain, hanya karena tawa dianggap lebih penting daripada rasa hormat.

Saatnya Memilih Tawa yang Tidak Menyakiti

Tawa memang bisa menyatukan, namun sekaligus juga menjadi sebab perpecahan. Antara mereka yang tertawa karena lucu, dan mereka yang diam karena merasa terhina. Humor sudah sepatutnya menjadi ruang bebas kekauasan dan diskriminasi.

Sudah saatnya kita mulai memilih jenis tawa yang kita pelihara. Sampai kapan kita ingin terus menertawakan tubuh, pengalaman, dan luka orang lain? Humor tidak akan kehilangan daya lucunya hanya karena ia berhenti merendahkan. Tapi kita akan kehilangan kemanusiaan jika terus membiarkan tawa menjadi alat untuk menindas. Sudah cukup! Kita bisa tertawa tanpa harus menjatuhkan siapa pun. []

Tags: Humor SeksisKekerasan Berbasis GenderKekerasan Simbolikpelecehan seksualstigma
Farah Fauzia Hasan

Farah Fauzia Hasan

Farah Fauzia Hasan, Mahasiswi asal kota Kudus, Jawa Tengah yang sedang menempuh pendidikan S1 di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin

Terkait Posts

Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pelecehan Seksual

    Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID