Mubadalah.id – Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Tidak bisa kita pungkiri memerlukan sumber daya yang relatif besar dalam proses operasional sehari-hari. Di luar human resources, kebutuhan akan energi listrik dan air juga cukup signifikan. Masjid memerlukan jumlah energi yang berbanding lurus dengan banyaknya jamaah yang menjalankan ritual ibadah. Baik salat lima waktu maupun aktivitas ubudiyah lainnya.
Bisa kita pastikan, masjid dengan kapasitas jamaah dalam jumlah besar, seperti masjid kota, provinsi, atau bahkan tingkat nasional, akan menghabiskan lebih banyak pasokan listrik dan air. Oleh karena itu, suplai energi yang memadai menjadi unsur yang sangat penting dalam menjamin keberlangsungan kegiatan pemakmuran masjid.
Selama ini, mayoritas masjid di Indonesia relatif mudah dalam mengakses air untuk sarana berwudhu dan hajat lainnya. Terlebih kondisi di Indonesia tidak seperti daerah Timur Tengah dan Afrika, yang secara umum persediaan airnya tidak semelimpah di tanah air. Begitu pula dalam konsumsi listrik pada masjid-masjid di Indonesia, pasokan energinya tidak sulit untuk mendapatkannya.
Inefisiensi Air dan Listrik di Masjid
Namun, justru lantaran kemudahan-kemudahan itulah muncul potensi pemubadziran dalam pemakaian air maupun listrik yang kemudian menyebabkan inefisiensi. Mafra dkk (2018) melakukan penelitian di 25 masjid dengan mengambil 734 sampel. Mereka menemukan bahwa durasi waktu berwudhu rata-rata selama 64,2 detik. Adapun volume penggunaan air sebesar lebih kurang 4,42 liter pada tiap kran, dengan kecepatan air sekira 0,070 liter per detik.
Hasil riset Natsir dkk (2020) juga menghasilkan temuan yang senada. Berdasarkan penelitian yang berlokasi di lima masjid di Kota Makassar tersebut, menemukan bahwa penggunaan volume air untuk wudhu bervariasi. Mulai dari 2,23 liter sampai 5,23 liter dengan rata-rata 3,9 liter per orang. Dari dua kajian tersebut menunjukkan, penggunaan air untuk berwudhu oleh masyarakat kurang efisien dan cenderung mengarah pada perilaku pemborosan.
Ini belum termasuk daya listrik yang masjid gunakan. Terlebih lagi jika masjid itu dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner, AC). Tentu dari segi suplai energi maupun biaya ekonominya akan semakin tinggi. Kondisi yang demikian itulah yang kemudian memantik para ulama untuk menggagas masjid ramah lingkungan (eco-friendly masjid), sebuah konsep masjid yang efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dan meminimalisir perilaku tabdzir.
Implementasi Masjid Ramah Lingkungan
Selama ini konsen takmir dalam ihwal pembangunan fisik dan fasilitas masjid lebih banyak berorientasi pada aspek fiqih. Di mana sekurang-kurangnya meliputi lima unsur, antara lain penentuan qiblat, tata ruang toilet, desain tempat wudhu. Lalu, pengaturan shaf salat, dan mihrab imam.
Sementara sisi penggunaan energi dan material, baik yang terpakai untuk proses pembangunan maupun operasional, luput dari perhatian. Walhasil, meski tidak sedikit masjid sudah sesuai standar fiqih dan nampak mewah, namun belum efisien dalam urusan konsumsi energi.
Beruntung, dalam beberapa dasawarsa terakhir, proyek eco-friendly masjid sudah mulai masif digalakkan di negara-negara berpenduduk muslim, termasuk di Indonesia, bahkan juga di Eropa. Masjid Istiqlal yang menjadi representasi tempat ibadah kaum muslimin Indonesia pada level nasional, misalnya, telah mendapatkan pengakuan masjid ramah lingkungan dalam bentuk sertifikat Excellence in Design for Greater Efficiencies (EDGE).
Dalam sertifikat bernomor LP2-IDN-20021810083659 tersebut ada pernyataan bahwa Masjid Istiqlal berhasil meraih beberapa capaian signifikan sebagai masjid ramah lingkungan, dalam hal penghematan sumber daya.
Di antara sejumlah efisiensi yang mampu diraih yaitu penghematan penggunaan energi (energy savings) sebanyak 23 persen, pemakaian air yang lebih irit (water savings) sejumlah 36 persen, dan 81 persen dalam hal pendayagunaan energi yang lebih sedikit dalam bahan materialnya (less embodied energy in materials). Hal ini yang kemudian mengantarkan Masjid Istiqlal Jakarta meraih predikat sebagai The Green Mosque (rumah ibadah ramah lingkungan) 2022 pertama di dunia oleh International Finance Cooperation (IFC).
Capaian Masjid Istiqlal tersebut semestinya jangan hanya kita lihat sebagai simbol kebanggaan umat Islam semata, melainkan sudah selayaknya menjadi momentum untuk percontohan bagi masjid-masjid ramah lingkungan lain di seluruh Indonesia, bahkan di tingkat global. Guna menciptakan masjid yang eco-friendly, perlu perubahan mindset para takmir dan sinergi dengan aktivis lingkungan, arsitek, dan elemen masyarakat. []