Mubadalah.id – Apa maksud mengenal tubuh, menjaga otoritas diri? Kamu wis ra perawan!” Itulah mungkin kalimat pertama ibuku katakan kalau beliau tahu aku sudah memasukkan sesuatu dalam vaginaku. Mereka bisa jadi akan terlalu shock, berpikir aku tak mampu menjaga diri karena membiarkan kesucianku ‘ternoda’. Padahal, aku hanya menggunakan menstrual cup. Sebuah pengalaman yang aku sesali tak ku lakukan sejak dulu. Semua rasa sakit yang senantiasa menemani masa menstruasiku seperti hilang begitu saja. Aku tak merasakan apa-apa, seperti hari-hari biasa.
Sudah bisa kupastikan, menggunakan menstrual cup adalah salah satu prestasiku tahun 2019 ini. Berbagai dilema berkecamuk dalam pikiranku. Mulai dari harganya yang tak murah, banyak pertanyaan tentang cara penggunaan, dan kebingungan harus bertanya ke mana.
Tapi yang paling memberatkanku adalah tentang status keperawananku. Si selaput dara yang seperti menentukan hargaku sebagai perempuan. Tapi aku akhirnya membulatkan tekad, karena meyakini bahwa selaput dara tidak mendefinisikan diriku. Toh, secara medis, tak dikenal istilah keperawanan. Ia hanyalah selembar lipatan tipis jaringan lunak dan pembuluh darah di pinggiran, bagian depan pintu masuk vagina. Pun, yang penting diketahui, tak semua perempuan lahir memiliki selaput dara.
Pertama kali mencoba tentu tidak mudah. Aku bergidik membayangkan apa rasanya kalau melahirkan. Tapi, setelah mencoba beberapa kali, aku mantap menggunakannya selalu. Aku merasa lebih merdeka selama menstruasi: bebas dari rasa sakit, dan sampah-sampah pembalut yang baru bisa terurai setelah lebih dari 250 tahun. Sungguh memberdayakan untuk mengetahui kalau pengalaman bulananku tidak akan semenyeramkan dulu.
Pengalaman ini mengajarkanku untuk mengenaliku, tubuhku sendiri. Ada yang bilang, tubuh adalah hal terdekat sekaligus terasing dari manusia. Ada yang enggan bahkan untuk menyentuh bagian vitalnya sendiri. Seksualitas seperti hanya boleh dilakukan, dirasakan, tapi tidak untuk dibicarakan. Kita diharuskan untuk membicarakannya di dalam gelap, dengan suara berbisik. Padahal, bagaimana kita bisa menjaga dan merawat tubuh sendiri, jika kita tak mengerti tentangnya?
Aku teringat tentang kisah viral di media sosial, yang ditulis oleh seorang staf puskesmas daerah. Ia bercerita tentang salah seorang pasien anak perempuan yang masih SMP, mengeluhkan penyakit yang dialami oleh pacarnya. Si pacar bilang kalau ia punya penyakit yang sering kambuh, yaitu sel darah putih berlebih. Saat kambuh, si pacar hanya bisa disembuhkan jika si anak perempuan mau dipenetrasi. Anak perempuan datang ke puskesmas, karena khawatir si pacar selalu terlihat mengerang kesakitan.
Terlepas dari kebenaran cerita tersebut, faktanya adalah kasus kekerasan seksual masih merupakan masalah serius. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan sepanjang 2019, kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan mencapai 17 kasus dengan 89 anak menjadi korban.
Saat membaca kisah viral tersebut, mungkin akan ada yang tertawa. Tapi coba kalau kita bayangkan menjadi si anak perempuan, yang dijebak ke dalam perilaku seksual yang tak sepenuhnya ia pahami. Bagaimana jika ia kemudian hamil dan harus berhenti dari sekolah? Bagaimana dengan kesehatan mentalnya? Si anak perempuan mungkin sekali bertanya ke staf puskesmas, karena ia takut untuk bertanya pada keluarga atau gurunya. Ia kemungkinan malah akan dimarahi, disalahkan.
Kenyataannya adalah, kita kekurangan ruang belajar dan berdiskusi tentang tubuh kita sendiri. Anak diasumsikan untuk belajar sendiri terkait seksualitas, di berbagai situs dan ruang gelap. Kata ‘seksualitas’ sendiri dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Pelajaran biologi di sekolah hanya mengajarkan tentang alat reproduksi, dan sekelumit pesan: “jaga kehormatanmu wahai perempuan, jangan sampai diperkosa”.
Sekarang, mari kita bayangkan jika kita mempunyai pendidikan seksual komprehensif, sejak dini. Anak diajarkan, bahwa ia memiliki kuasa penuh atas tubuhnya. Ia diizinkan untuk menolak dicium oleh tantenya. Ia diajarkan untuk menolak, berteriak minta tolong, jika ada yang menyentuhnya dan membuatnya tak nyaman. Ia diajarkan bahwa ia harus memberitahu orangtuanya jika ada masalah apapun.
Saat ia semakin besar, ia diajak untuk berdiskusi terkait tubuh dan seksualitasnya. Anak dianggap sebagai manusia utuh, yang berhak atas informasi terkait tubuhnya, tanpa dibohongi. Bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya adalah hal yang wajar, dan ia juga harus menghormati batas-batas orang lain. Ia juga diberikan informasi, pilihan-pilihan, yang ia punya terkait tubuhnya. Ia juga diajarkan, bahwa setiap pilihan yang ia ambil, memiliki konsekuensi.
Di suatu utopia, si anak perempuan, dengan pengetahuan yang ia punya, bisa menolak (atau bahkan menampar) si pacar dan berkata, “Alah, itu mah kamu nafsu aja! Mau nipu aku ya?!”. Bahkan, sang pacar bisa jadi tak akan mengada-adakan penyakit kelebihan sel darah putihnya itu; ia paham bahwa nafsu yang ia punya memiliki konsekuensi yang mungkin tak sanggup ia tanggung.
Dan aku, bisa bilang ke ibuku, kalau aku sudah memakai menstrual cup. Dan setelah mendengar ceritaku, ibuku hanya berkata: “Oh. Yo wis.”[]