Mubadalah.id – Salah satu hal penting namun masih belum banyak dilakukan saat persiapan menuju pernikahan, adalah membahas rencana keuangan dengan pasangan. Hal ini lantaran membahas rencana keuangan anggapannya sebagai hal tabu karena terindikasi ke sifat materialistik.
Padahal berdasarkan laporan BPS di tahun 2022, sebanyak 75,34 persen angka pengajuan perceraian dengan alasan nafkah dan permasalahan finansial dalam rumah tangga. Atas dasar itulah, membahas rencana finansial menjelang pernikahan menjadi hal wajib yang harus kita lakukan. Namun demikian, dalam membahas rencana finansial tentunya ada etika yang harus kita taati agar tidak menyinggung perasaan satu dengan lainnya.
Lantas seperti apa etika dalam membahas rencana finansial menjelang pernikahan? Simak penjelasan berikut ini.
Jujur atas Hutang dan Pendapatan
Berdasarkan penelitian Mubasyaroh di tahun 2017, salah satu alasan seseorang menikah adalah karena terhimpit ekonomi. Pernikahan dianggap sebagai sebuah solusi untuk mengangkat derajat salah satu keluarga dari segi ekonomi. Selain itu, dengan pernikahan harapannya mampu mengurangi beban orang tua dalam memenuhi kebutuhan anak.
Jika hal tersebut di atas terjadi, maka nilai pernikahan hanya sebatas transaksi ekonomi. Pihak pemberi uang sebagai pemilik kuasa, dan pihak penerima sebagai pengabdi. Dampaknya adalah munculnya relasi top to down, relasi kuasa dan transaksional sepanjang menjalani rumah tangga. Alih-alih merasakan rumah tangga sebagai kepemilikan kedua belah pihak, relasi seperti itu justru akan memunculkan pihak yang “bossy” sehingga menimbulkan sikap sewenang-wenang.
Untuk menghindari hal tersebut, membahas rencana keuangan sebelum menikah menjadi sangat penting. Kedua belah pihak harus jujur atas hutang yang ia miliki dan harus jujur terhadap pendapatan yang mungkin dihasilkan setelah pernikahan. Jangan sampai, total hutang dan pendapatan yang mampu ia hasilkan baru mereka ketahui setelah menikah. Karena akan berdampak pada keharmonisan rumah tangga kedepannya.
Ketika kedua belah pihak jujur dengan hutang dan pendapatan masing-masing, maka permasalahan finansial yang mungkin dihadapi pasangan setelah menikah akan menjadi tanggung jawab berdua. Tidak menyalahkan salah satu pihak, dan juga tidak membebankan tanggung jawab ke satu pihak saja. Karena pada dasarnya rumah tangga adalah sebuah relasi kesalingan untuk mewujudkan keharmonisan dan ketenangan ketika keduanya merasa saling memiliki dan merasa saling memperjuangkan.
Tidak Mengungkit Kekayaan Orang Tua
Etika lain yang harus kita taati ketika membahas rencana finansial menjelang pernikahan adalah jangan menanyakan atau menceritakan kekayaan orang tua. Karena yang akan menjalin rumah tangga dengan kita adalah anaknya, maka kekayaan yang orang tua miliki tak etis untuk diperbincangkan. Kekayaan dan aset adalah hak mutlak milik kedua orang tua. Pun jika di dalamnya terdapat hak anak adalah berupa hak waris yang baru bisa terbagi ketika orang tua meninggal.
Kesalahan fatal sering terjadi tatkala pasangan menikah karena silau dengan kekayaan orang tuanya. Sehingga rumah tangga yang terbangun pun akan terus berada di bawah bayangan orang tua. Dan jika ternyata orang tua tidak ikut campur dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga anaknya, akan memunculkan kekecewaan dari pihak pasangan. Karena anggapannya mertua yang kaya tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi yang ia bayangkan. Padahal kesalahan ada pada dia sendiri, yang menikahi seseorang karena harta orang tuanya. Bukan berdasarkan rasa cinta pada calon pasangannya.
Negosiasi tentang Pembuatan Perjanjian Perkawinan
Dalam perspektif mubadalah, perjanjian perkawinan adalah salah satu bentuk kesalingan yang menguntungkan kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Karena penghasilan harta akan menjadi kepemilikan masing-masing pihak dan tidak melebur dalam harta bersama. Meskipun misalnya perceraian adalah satu-satunya solusi yang bisa diambil, perjanjian perkawinan mampu meminimalisir konflik pasca perceraian seperti konflik harta gono gini, dan konflik hak pengasuhan anak.
Menurut adat ketimuran, perjanjian perkawinan memang masih tabu dan tidak lazim, sama halnya dengan membahas finansial menjelang pernikahan. Namun, ketika kedua belah pihak adalah pihak yang sama-sama memiliki kemampuan finansial yang mencukupi, atau keduanya memiliki gap pendapatan yang besar, perjanjian perkawinan justru bisa menjadi solusi.
Dalam kondisi kemampuan finansial saling mencukupi, adanya perjanjian perkawinan bisa menjadi pembatas wewenang antar pihak untuk mencampuri urusan penghasilan finansial pihak lainnya. Sehingga keduanya bisa memaksimalkan kepemilikan potensi finansial tanpa khawatir adanya campur tangan dari pihak lainnya dan menggunakan keuntungannya untuk kemaslahatan rumah tangga bersama.
Pada kondisi gap pendapatan yang besar, perjanjian perkawinan bisa mengurangi dominasi kuasa dari pihak yang kaya, dan melindungi hak pihak lainnya. Perjanjian perkawinan juga dapat menghindarkan sikap materialistik bagi pihak yang menikah hanya karena menginginkan hartanya dan bukan untuk membangun rumah tangga.
Namun sekali lagi, karena perjanjian perkawinan anggapannya masih tidak lazim, maka dalam merencanakan finansial menjelang pernikahan harus menjadi kesepakatan apakah perlu membuat perjanjian perkawinan ataukah tidak. Jika menyepakati, maka pasal-pasal dalam perjanjian perkawinan kedua pihak harus mengetahuinya. Dan jika tidak menyepakati maka pembahasan pengaturan harta dan finansial secara kekeluargaan dan atas sepengetahuan kedua belah pihak.
Tidak Menimpakan Tanggung Jawab Nafkah pada Satu Pihak
Dalam aturan perundang-undangan di Indonesia, pencari nafkah utama adala suami. Maka ketika sebuah rumah tangga mengalami permasalahan finansial, alih-alih berusaha mencarikan solusi, istri justru memilih untuk bercerai. Dengan alasan suami tidak mampu memberi nafkah yang layak. Karena mindset ini pulalah, istri yang tidak bekerja anggapannya tidak memiliki peran dalam membangun rumhah tangga, dan suami sebagai pahlawan karena mencukupi kebutuhan finansial keluarga.
Maka saat membahas rencana finansial sebelum pernikahan, harus terbangun kesepakatan bahwa nafkah adalah tanggung jawab bersama. Pun jika sepakati suami yang bekerja, maka istri yang mengurusi kebutuhan rumah tangga adalah patner dalam bekerja. Bukan sebagai penikmat semata karena pada dasarnya istri di rumah adalah manager yang mengatur kebutuhan anggota keluarga.
Jika sepakat istri yang mencari nafkah, maka posisinya bukan untuk merasa superior dan menyatakan suami tidak bertanggungjawab. Karena suami menjalankan berkewajiban untuk menjadi manajer yang mengatur kebutuhan anggota keluarga.
Jika keduanya sama-sama sepakat bekerja, maka urusan rumah tangga juga harus tertangani dan terselesaikan berdua. Pun jika ada permasalahan finansial juga menjadi tanggungan dan berdua menghadapinya, dan tidak melimpahkan tanggung jawab ke salah satu pihak saja.
Perlu kita pahami bahwa finansial memang bukan satu-satunya penentu keharmonisan rumah tangga. Namun banyak kasus perceraian dan KDRT bersumber dari permasalahan finansial yang tak terkomunikasikan dengan baik. Maka sebelum menuju jenjang pernikahan, alangkah baiknya jika kedua belah pihak merencanakan finansial bersama dengan menaati etika yang ada. Tentu tujuannya adalah untuk menggapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. []