Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menyebutkan bahwa izin suami diperlukan jika tindakan istri berkaitan langsung dengan hak suami, kesepakatan bersama, atau kemaslahatan keluarga.
Hal tersebut, sebaliknya berlaku juga bagi suami kepada istri.
Istri, menurut Bu Nyai Badriyah, yang mau puasa sunah perlu memberi tahu suami (jika suami di rumah) agar suami tidak mengajaknya hubungan badan saat istri berpuasa, begitu pula sebaliknya suami kepada istri.
Puasa Ramadhan, bagi dia, tidak perlu izin suami karena itu berkaitan langsung dengan perintah Allah pada setiap orang beriman.
Berbuat baik kepada orang tua pun tidak harus izin kepada suami kecuali jika perbuatan baik itu terkait dengan hak suami, seperti meninggalkan rumah untuk beberapa waktu, menggunakan dana keluarga dan mengajak serta anak.
Bersedekah, berinfak di jalan Allah yang menggunakan harta istri sendiri tidak wajib izin suami.
Izin suami juga tidak boleh menghalangi perlindungan terhadap maqashidus-syari’ah (tujuan syari’at), di mana ajaran Islam diorentasikan, yakni perlindungan terhadap agama, jiwa, harta, akal, kehormatan dan keturunan.
Maka, andai kata seorang istri melihat anaknya kelaparan dan ia bisa menyelamatkannya dengan memakai uang suaminya, istri itu boleh memakai sesuai dengan kebutuhan. Yang penting anaknya selamat dulu.
Demikian pula jika anaknya sakit atau istri mau melahirkan. Langkah penyelamatan jiwa wajib ditempuh dan tidak boleh terkendala izin suami yang entah ada di mana.
Agama Memudahkan dan Memanusiakan
Rasulullah Saw pernah menyarankan Hindun mengambil uang suaminya untuk kecukupan nafkahnya dengan cara yang baik karena suaminya pelit. Ini adalah hadis sahih riwayat Bukhari.
Demikianlah agama ini memudahkan dan memanusiakan manusia. Dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 78 yang menyebutkan :
وجا هدوا في الله حق جهاده هوا جتباكم وما جعل عليكم في الدين من خرج
Artinya : “Dan berjuanglah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan, Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan atas kamu dalam agama ini sedikit pun kesempitan.”
Dan dalam surat al-Isra’ ayat 70, Allah berfirman:
ولقد كرمنا بنى أدم وحملنا هم في البر والبحرورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثيرا ممن خلقنا تفضيلا
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Dan Kami telah menampungnya di darat dan laut, memberinya rizki dari yang baik-baik, dan membuatnya lebih utama yang sebenar-benarnya atas sebagian banyak makhluk yang Kami ciptakan.”
Agama juga tidak membebani manusia, termasuk istri, melakukan hal di luar batas kemampuan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 286 menyatakan:
والوالدت يرضعن أولدهن حولين كاملين لمن أرادا أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف لاتكلف نفس الآ وسعها
Artinya : “Dan mereka (para istri) yang melahirkan dan menyusui anaknya dalam dua tahun penuh bagi yang berkehendak menyempurnakan persusuan. Dan (wajib) atas dia (suami) yang untuknya anak yang lahir untuk memberi mereka rizki (pangan) dan memberinya pakaian secara baik. Suatu jiwa tidak akan membebani kecuali sekadar kemampuannya.”
استوصوا بالنساء خيرا
Artinya : “Dapatkan wasiat (berbuat) kebaikan terhadap kaum perempuan (para istri)”.
Adanya ajaran tentang perlunya izin suami dan istri adalah untuk mewujudkan kebaikan, kemaslahatan dan keharmonisan keluarga dalam rangka ibadah kepada Allah.
Maka, kalau faktanya izin suami dan istri menjadi sesuatu yang tidak manusiawi atau bertabrakan dengan perintah Allah, jelas itu bukan Islam.
Para istri dan suami semestinya juga cerdas mendudukan ajaran yang tujuannya baik dan benar ini agar penerapannya tidak melanggar prinsip agama itu sendiri karena tidak manusiawi. (Rul)