Mubadalah.id – Dalam beberapa kesempatan saya mendapatkan pertanyaan serupa dari sejumlah perempuan, yaitu mengapa mereka merasa lebih bahagia saat berstatus lajang daripada kini ketika sudah menikah atau berkeluarga.
Jawaban mengapa perempuan malah tidak bahagia ketika menikah tentu tidak tunggal. Akan tetapi, saya perlu mengajak untuk mencermati depresi pada pasangan (laki-laki) sebagai salah satu faktor krusial. Saya perlu membicarakan dari sudut ini karena sisi ini mungkin jarang terbahas terkait pertanyaan tersebut.
Sudah sejak beberapa dekade sejumlah riset menunjukkan bahwa pernikahan lebih menguntungkan pria dan, sebaliknya, merugikan perempuan (Bernard, 1972). Riset lebih baru juga menunjukkan hal serupa. Misalnya dari University College London, the London School of Economics, dan the London School of Hygiene and Tropical Medicine pada 2015 dengan sampel sebanyak 10 ribu orang kelahiran 1958 di Inggris, Skotlandia dan Wales.
Depresi pada pria sering kita bedakan menjadi depresi terbuka (overt depression) dan depresi terselubung (covert depression). Depresi pertama memiliki gejala klasik seperti merasa putus asa, patah semangat dll. Dalam hubungan, bahkan pasangan pun mudah mengenalinya dan merasakan dampaknya secara terbuka, contoh umumnya adalah berkonflik tanpa islah.
Depresi pada Pria
Sementara itu, depresi terselubung lebih sulit kita kenali karena tidak terkait dengan perasaan buruk sepanjang waktu atau malah “mati rasa”. Depresi kedua ini yang menjadi fokus bahasan kita kali ini, karena istri juga tidak bisa melihat bahwa suaminya tengah depresi.
Pada depresi terselubung, pria menjadi sangat defensif terhadap depresinya, bahkan takut untuk melihat ke dalam dirinya sendiri. Untuk lari dari luka ini, pria memilih cara-cara eksternal untuk merasa hidup, misalnya bekerja terlalu keras untuk mengumpulkan uang, mengejar jabatan, atau belajar keahlian baru.
Dengan cara ini, kehidupan dia tampak sukses di mata siapa pun. Sayangnya, citra kesuksesan ini malah menjadi kabut (terutama diri sendiri, pasangan dan orang-orang terdekat) untuk mengenali gejala depresi.
Jika pria dengan depresi terbuka secara implisit menuntut perhatian, pria dengan depresi terselubung sering secara implisit mendambakan disfungsionalitas, terutama dalam hubungan yang melibatkan emosi yang dalam.
Menurut Terrence Real (2003), pria dengan depresi terselubung tak dapat fungsional dalam hubungan dengan tiga alasan utama:
Pertama, dorongan kesetiaannya hanya untuk pertahanan (self-defense) yang dia gunakan sebagai teknis regulasi diri (berbagai hal terkait pengendalian perilaku, emosi dan pikiran untuk mencapai tujuan hidup).
Kedua, kemesraan hubungan (intimacy) dengan orang lain mau tidak mau akan memengaruhi kemesraan hubungan dia dengan dirinya sendiri. Kemesraan ini sangat ia hindari karena orang yang depresi selalu menolak untuk menyayangi diri sendiri.
Hubungan yang dekat dengan diri sendiri, bagi orang dengan depresi, sangat ia hindari karena akan membuat dia mengenali lukanya. Kita perlu tahu bahwa hubungan yang mesra dengan orang lain mensyaratkan hubungan yang secara emosional hangat antara seseorang dengan diri sendiri.
Ketiga, karena kemampuan menjalin hubungan berantakan, keinginan terhadap kemesraan justru memperburuk perasaan kacau yang sudah menggerogotinya.
Ketika Perempuan Menjadi Kambing Hitam
Perempuan yang menikah dengan pria dengan gejala tersebut akan mengimbangi pasangan dengan menjadi kambing hitam dari segala situasi yang diakibatkan oleh depresi terselubung tersebut demi pernikahannya bisa bertahan. Perempuan memosisikan diri sebagai kambing hitam secara psikologis untuk memproyeksikan kerapuhan pasangannya. Orang awam menyebut fenomena ini dengan perasaan senasib-sepenanggungan.
Namanya jadi kambing hitam, pastinya sulit bahagia. Terhadap semua situasi buruk, dia akan merasa bersalah. Lalu merasa pantas dimarahi, sampai tak bisa membedakan antara ditindas atau dididik oleh suami. Kambing hitam akan merasa diri dia adalah kesalahan itu sendiri.
Buruknya lagi, ketika perempuan atau istri dari pria dengan depresi terselubung ini berusaha berdaya dan fungsional secara pribadi, sang suami malah sering meresponnya dengan tanda-tanda kecanduan (dengan objek apa pun), cemburu patologis, dan berbagai bentuk kekerasan (termasuk kekerasan finansial dan spiritual).
Jika sang istri melakukan konfrontasi terhadap tanda-tanda atau gejala ini, kemungkinan suami akan meninggalkannya adalah 50:50. Apabila istri mengalah, hampir bisa kita pastikan pernikahan semakin lama akan semakin berkarat. Sehingga sangat kecil peluang suami untuk sadar sampai pernikahan terputus oleh usia. Tinggal mau pilih yang mana.
Kembali pada Tujuan Pernikahan
Sakinah, sebagai tujuan pernikahan, tentu saja kental dengan asosiasi bahagia, yang dalam Alquran mengacu pada berbagai kata seperti sa’adah, falah/aflah, atau syurur. Kebahagiaan dalam pernikahan harus kita upayakan karena menjadi miniatur bagi realitas kebahagiaan yang lebih luas (masyarakat bahkan negara).
Sebagaimana penjelasan Abu Hamid Al-Ghazali yang menulis “al-Kimyayi al-Sa’adah” (kimiawi kebahagiaan), yang berupaya mendeskripsikan kebahagiaan dengan mensintesiskan antara filsafat dan tasawuf, syariah dan akal, agama dan tradisi, bahkan yang duniawi dan ukhrawi sekaligus. Artinya, hidup dalam kondisi bahagia itu betul-betul urgen.
Dengan demikian, jika pernikahan tampak ruwet, berarti ada yang salah dari cara kita mengelolanya. Atau ada titik yang perlu kita reparasi. Jangan ada kekacauan nalar dengan mengatakan bahwa Allah menghendaki kemelaratan dalam pernikahan untuk mengangkat derajat kita. Sebaliknya, kita wajib berbaik sangka bahwa Allah Yang Maha Baik menghendaki pula kebaikan bagi kita. Dan, kebahagiaan adalah akumulasi dari perca-perca kebaikan yang kita lakukan. []