• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Hai Salingers, Perempuan Lajang juga Berhak Bahagia

Saya percaya tak ada yang salah dengan status lajang perempuan berapa pun usianya. Seorang perempuan lajang tetap berhak bahagia karena dirinya sama sekali bukanlah aib

Rezha Rizqy Novitasary Rezha Rizqy Novitasary
14/09/2021
in Personal, Rekomendasi
0
Perempuan

Perempuan

985
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Saya pernah mencapai titik terendah dalam hidup. Saat itu, kepercayaan diri saya terkikis habis. Saya merasa diri ini adalah aib. Maka, saya berjalan di kantor sambil menundukkan kepala. Jarang sekali saya bisa tersenyum kepada orang lain. Hal itu karena kabut telah menutupi hati saya. Saya merasa tidak bahagia, parahnya saya merasa tak layak bahagia.

Semua hal itu saya rasakan saat usia saya menginjak akhir dari kepala dua. Penyebab utamanya adalah persetujuan batin saya atas stigma yang dibebankan masyarakat kepada perempuan. Stigma yang dibebankan kepada seorang perempuan yang masih melajang saat usianya tak lagi bisa dibilang muda. Seorang perempuan yang belum juga menikah dan memiliki pasangan hingga usianya mencapai kepala tiga akan mendapat julukan perawan tua, tidak laku, hingga semakin sulit mencari pasangan. Sungguh sayang, saat itu saya percaya akan stigma tersebut.

Maka, ketika usia saya menginjak 29, hati saya diterjang kabut kegundahan. Saat itu saya tak memiliki teman dekat apalagi pacar. Sebagian besar kawan-kawan saya telah menikah, memiliki satu atau dua anak. Saya benar-benar merasa terlambat dalam hidup. Saya merasa kawan-kawan saya telah jauh melangkah meninggalkan saya. Sementara saya masih di sini-sini saja tanpa ada perubahan.

Sontak hal itu membuat kepercayaan diri saya hancur berkeping-keping. Saya merasa malu kepada diri saya sendiri. Rasa rendah diri yang begitu besar menarik diri saya dari lingkungan sosial. Setiap kali berjalan di hadapan orang lain, saya seolah-olah mendengar cibiran atau tatapan sinis dari mereka.

Saya berusaha dengan keras sekali untuk keluar dari kungkungan stigma tersebut. Saat itu, pikiran saya satu-satunya agar bisa kembali bersinar dan tegap melangkah hanya dengan menikah. Maka mati-matian saya berusaha agar cepat menikah. Saya mendesak ibu untuk segera mencarikan pasangan buat saya. Tiap malam, saya memaksa Tuhan untuk segera mengabulkan doa saya agar cepat mendapat pasangan.

Baca Juga:

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

Bisa ditebak, hari-hari berikutnya yang saya lalui menjadi seperti neraka. Saya semakin gila mengejar pengakuan orang lain dan ingin terbebas dari stigma. Saya memang sempat berkenalan dengan beberapa laki-laki. Sayangnya, perkenalan itu tak ada satu pun yang berhasil. Mungkin memang belum jodohnya atau memang saat itu saya punya niat yang salah.

Kegagalan saya dalam perkenalan tersebut membuat saya semakin terpuruk. Saya semakin percaya akan stigma bahwa semakin bertambah usia perempuan maka akan semakin sulit baginya untuk mencari pasangan. Bayang-bayang masa depan yang buruk menghantui pikiran saya siang dan malam, terutama saat saya sendirian di dalam kamar.

Semua hal itu membuat saya sensitif. Saya sering sekali menangis di dalam kamar. Sering sekali saya menyesali nasib yang diberikan Tuhan kepada saya. Saya menyesal kenapa memilih untuk menempuh pendidikan di luar kota. Saya menyesal kenapa memilih membangun pendidikan, karir, dan memiliki pekerjaan yang mapan sebelum menikah. Saya menyesal kenapa tak dari dulu mencari jodoh. Semua penyesalan itu membuat saya semakin tersuruk ke belakang.

Tak dapat dipungkiri, saya juga sering menerima reaksi lingkungan yang sama sekali tidak menyenangkan. Pertanyaan kapan menikah, kenapa belum punya calon, dan sederet pertanyaan lain kerap kali singgah di telinga saya. Pertanyaan yang membuat hati saya terasa seperti disulut bara api.

Keadaan buruk ini berlangsung sekitar satu tahun lamanya. Beruntung sekali, akhirnya Tuhan memberikan pertolongan kepada saya. Suatu hari, saya punya kesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawan lama dari tempat bekerja sebelumnya yang berada di luar kota. Setelah lama tidak bertemu, saya mengira mereka juga akan memandang saya dengan stigma yang sama dengan yang dibebankan masyarakat. Namun, ternyata perkiraan saya meleset jauh. Kami melepas rindu, saling bercerita, dan bertukar pendapat. Bahkan kami punya kesempatan untuk ziarah wali dan sowan ke rumah Kiai.

Dari perjalanan dan pertemuan itulah, saya kembali merasa utuh sebagai seorang perempuan. Saya merasa keberadaan saya diterima apa adanya oleh kawan-kawan saya. Mereka sama sekali tak memandang saya dari status lajang yang saya jalani.

Kini, sudah satu tahun lebih dari pertemuan saya dengan kawan-kawan saya. Hingga saat ini, status saya juga masih lajang. Pandangan miring dari masyarakat mungkin masih ada dan bahkan lebih buruk kepada saya. Tapi, hal itu sama sekali tak bisa menganggu saya.

Saya telah bisa menerima diri saya yang seperti ini secara utuh dan apa adanya. Tak perlu bersedih jika saya berbeda dengan orang lain. Saya selalu masih punya waktu untuk berusaha dan mencoba hal baru. Lagipula, menikah juga bukan prestasi yang wajib dikejar dan dibanggakan ketika telah mencapainya. Menikah juga sama sekali bukan tolok ukur kesempurnaan seorang perempuan.

Tentu saja keinginan untuk menikah itu juga masih ada hingga saat ini. Tapi, keinginan saya untuk menikah bukan hanya sekadar untuk melepas status lajang dan beralih ke status berpasangan. Bukan pula untuk terbebas dari stigma yang dibebankan masyarakat kepada saya yang sudah kepala tiga. Tujuan saya untuk menikah lebih dari itu. Saya ingin membangun keluarga yang hangat dan bahagia, memiliki pasangan untuk saling mendukung dan menghabiskan sisa umur bersamanya.

Tak pernah ada kata terlambat dalam hidup, karena sejatinya kita sedang menenun takdir kita masing-masing di setiap harinya. Tuhan selalu memberikan nasib terbaik untuk tiap hamba-Nya. Ia tak akan meninggalkan kita, meski hanya sekejap saja. Dan dari setiap tenunan takdir yang kita lewati, ada hikmah, pelajaran, dan kasih sayang Tuhan buat kita.

Menjadi perempuan lajang sama sekali bukan aib. Tak perlu merasa rendah diri hanya karena belum menikah. Selama kita dapat menghargai, menerima, dan membahagiakan diri itu sudah lebih dari cukup. Masih banyak kebermanfaatan yang bisa kita tebar untuk orang-orang di sekitar lewat potensi yang dititipkan Tuhan kepada kita. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberi manfaat kepada manusia lain?

Kini, saya paham kenapa dulu saya merasa amat terpuruk dan rendah diri. Hal itu karena saya belum bisa menerima diri saya apa adanya. Saya masih merasa kalah dan terlambat. Saya setuju dengan stigma yang dibebankan masyarakat kepada perempuan yang tak kunjung menikah di usianya yang tak lagi muda. Oleh karena itulah, saya sering merasa tidak berguna dan sakit hati ketika mendengar sindiran orang lain.

Namun, kini saya percaya tak ada yang salah dengan status lajang perempuan berapa pun usianya. Seorang perempuan lajang tetap berhak bahagia karena dirinya sama sekali bukanlah aib. Ia tetap punya kesempatan untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Seperti nasihat Eyang Pramoedya. []

Tags: bahagiaKajian PsikologikeadilankebahagiaankehidupanKesalinganKesehatan MentalKesetaraanPerempuan Lajang
Rezha Rizqy Novitasary

Rezha Rizqy Novitasary

Guru Biologi SMA, tertarik dengan isu perempuan dan kesetaraan gender. Rezha merupakan peserta Kepenulisan Puan Menulis Vol. 1.

Terkait Posts

Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Boys Don’t Cry

    Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu
  • Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID