Mubadalah.id – Hari Jumat (9/9/2022) kemarin penulis mengikuti kegiatan Konferensi Pers Catatan CEDAW Working Group Indonesia (CGWI) melalui zoom meeting, yang membahas terkait Situasi dan Kondisi Hukum Perempuan di Indonesia dalam Universal Periodic Review (UPR) PBB.
Terdapat delapan isu strategis terkait hak asasi perempuan dalam laporan UPR CWGI ini, yang bertujuan untuk terus mendorong pemerintahan dalam memperkuat regulasi serta kebijakan yang berperspektif perempuan.
Delapan isu strategis tersebut, di antaranya: Kesehatan Perempuan, Perempuan dan Konflik, Perempuan Desa dan Perempuan Adat: Hak Atas Pangan dan Tanah, Kekerasan Berbasis Gender Online, Penghapusan Perkawinan Anak, Sunat Perempuan atau P2GP, Perempuan dan Bencana, dan Kerangka Legislasi.
Hal yang menarik di sini adalah, penghapusan perkawinan anak masuk di antara delapan isu strategis ini. Di mana isu-isu lainnya sangat berkaitan langsung dengan perempuan. Lantas, mengapa penghapusan perkawinan anak juga dianggap sebagai bagian dari hal penting untuk penegakan hukum perempuan di Indonesia?
Sudah sangat jelas di sini ketika isu perkawinan anak termasuk di dalamnya, semakin menguatkan bahwa pada praktik perkawinan anak, anak perempuanlah yang menanggung beban paling berat dan dihilangkan hak-haknya.
Klausul Dispensasi Nikah
Berdasarkan fakta yang tertulis dalam laporan UPR CGWI, disebutkan bahwa; (1) Dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih ada klausul tentang dispensasi nikah, sehingga ini menjadi ruang dan legitimasi untuk terjadinya perkawinan usia anak (di bawah 19 tahun).
Hal ini juga senada dengan kondisi di lingkungan penulis. Jika ditulisan sebelumnya yang berjudul Anak-Anak yang Menggendong Anak, latar belakang penulisan praktik perkawinan anak yang diangkat berdasarkan pengamatan singkat di lingkungan terdekat penulis. Kali ini penulis berangkat berdasarkan data dispensasi kawin yang ada di lingkungan daerah setempat.
Perubahan batasan usia pada UU Perkawinan di atas, berdampak cukup signifikan dalam meningkatkan angka pengajuan dispensasi kawin. Hal ini karena pada rentang usia antara 15-19 tahun inilah praktik-praktik perkawinan anak rawan terjadi, atau pada usia sekolah menengah. Sehingga saat terjadi perubahan batasan usia pada regulasi tersebut, angka perkawinan anak melonjak sangat tajam berdasarkan data Dispensasi Kawin.
Hal ini sebab berdasarkan regulasi tersebut, saat anak-anak pada rentang usia 16-19 tahun akan melangsungkan perkawinan anak secara administratif perlu untuk mengajukan dispensasi kawin.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Memang benar, jika dalam laporan UPR CGWI direkomendasikan agar pemerintah menghapuskan klausul pasal yang berkaitan dengan dispensasi nikah. Karena meskipun dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, menyebutkan dalam pasal 15 huruf d sebagai berikut:
“Meminta rekomendasi dari Psikolog atau Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD).”
Akan tetapi bunyi awal dari pasal ini tidaklah mengharuskan atau mewajibkan. Hanya menggunakan frasa kata “dapat” di mana secara pemaknaanya bukan hal yang memaksa atau penting kita lakukan. Sehingga tidak jarang dalam praktiknya proses pengajuan dispensasi kawin melewati point ini. Tentu berdampak pada kurangnya dasar untuk mengidentifikasi kondisi psikologis anak yang berkaitan dengan kesiapannya dalam membangun rumah tangga.
Buntut panjang dari tidak adanya identifikasi yang jelas terkait kondisi psikologis anak ini adalah, tingginya angka perceraian yang terjadi pada anak-anak muda yang melangsungkan perkawinan anak. Jika sudah berada pada posisi ini, siapakah yang paling rentan dirugikan? Sudah sangat jelas perempuan ya, Salingers!
Lonjakan Angka Dispensasi Perkawinan
Lonjakan angka pengajuan dispensasi perkawinan anak ini, diperkuat berdasarkan fakta nomer dua pada laporan UPR CGWI. Mereka menyebutkan bahwa, (2) Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas), 400-500 anak perempuan dalam rentang usia 10-17 tahun berisiko menikah di bawah umur karena Covid-19.
Tidak heran jika di tahun 2020 angka perkawinan anak yang tercatat dalam Siaran Pers Komnas Perempuan tentang “Perkawinan Anak Merupakan Praktik Berbahaya (Harmful Practice) yang Menghambat Indonesia Emas 2045” menuliskan terdapat lonjakan angka dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama, dari 23 ribu menjadi 64 ribu pada tahun 2020 tersebut.
Dalam catatan BPF-UNICEF tahun 2018, anak perempuan rentan mengalami perkawinan anak dibandingkan anak laki-laki. Hal ini karena 1 dari 9 perempuan yang berusia 20-24 tahun menikah di bawah 18 tahun. Sedangkan perbandingan yang cukup jauh pada laki-laki hanya 1 dari 100 anak laki-laki yang mengalami praktik perkawinan anak.
Sampai di sini semakin terlihat bahwa, praktik-praktik perkawinan anak sangatlah merugikan perempuan dan merampas hak-haknya. Mulai dari hak bermain, hak pendidikan, hak reproduksi, bahkan lebih jauh hak hidup bagi perempuan itu sendiri. Yang lebih menguatkan lagi bahwa praktik perkawinan anak ini adalah merampas hak perempuan. Khususnya anak perempuan ketika terjadi pemaksaan perkawinan. Sebagaimana yang tertuliskan pada fakta ketiga di laporan UPR CGWI ini.
Upaya Penghapusan Perkawinan Anak
Jika kita lihat berdasarkan latar belakang seorang anak melangsungkan perkawinan anak, ada beberapa faktor pendorong. Mayoritas beberapa karena KTD. Namun tak jarang kebanyakan perkawinan anak berlangsung karena paksaan dari orang tua atau keluarga.
Di mana budaya dan tradisi di desa. Ketika seorang anak pada rentang usia di atas 15 tahun belum menikah dianggap “tak pajuh lakeh” atau tidak laku. Budaya yang mengobjektifikasi perempuan ini masih langgeng hingga sekarang. Bahkan tak jarang, beberapa praktik perjodohan kerap kali masih mereka lakukan.
Dalam upaya penghapusan perkawinan anak ini memang bukan hal yang mudah. Meski regulasi telah pemerintah tetapkan melalui penguatan-penguatan gerakan yang massif. Dari mulai gerakan akar rumput hingga di pemerintahan sebagai pemangku kebijakan.
Mengingat bahwa praktik perkawinan anak sudah menjadi semacam budaya dan tradisi di sebagian besar masyarakat Indonesia. Maka kita perlukan suatu gerakan otoritatif yang mengusung prinsip kesalingan bagi anak-anak kita. Khususnya anak perempuan yang rentan menjadi korban perkawinan anak.
Isu Perkawinan Anak juga menjadi salah satu isu penting bagi Gerakan Ulama Perempuan Indonesia, yang digaungkan melalui KUPI. Hal ini karena sangat banyak sekali kemafsadhatan yang muncul. Terlebih ketika praktik perkawinan anak tersebut menjadikan dalil agama sebagai legitimasi. Dari sini kemudian, sudah saatnya kita menguatkan jaringan dan gerakan kolaboratif yang ada serta mengoptimalkan peran dan posisi kita hari ini.
Sebagai bagian masyarakat yang berpegang pada prinsip tauhid dan kesalingan, sudah seharusnya kita terus mengkampanyekan penghapusan perkawinan anak. Dan menjadi bagian aktif yang mendorong pemerintah untuk tegas dalam menguatkan regulasi penghapusan perkawinan anak. Serta bersama-sama dengan tokoh agama dan masyarakat dalam menguatkan wawasan masyarakat, minimal yang ada di lingkungan terdekat. []