Mubadalah.id – Pada 1 Oktober lalu, masyarakat Indonesia dan dunia terkejut dengan tragedi banyaknya suporter sepak bola nasional yang meninggal. Peristiwa naas tersebut akibat berdesak-desakan setelah melarikan diri dari tembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, Malang. Kejadian ini tidak hanya memakan banyak korban jiwa, namun juga rentetan pekerjaan rumah untuk memperbaiki citra sepakbola sebagai olahraga yang dapat dinikmati oleh semua kalangan.
Terlebih, tragedi Kanjuruhan tidak hanya menewaskan orang dewasa saja, bahkan anak-anak di bawah umur juga turut menjadi korban. Mereka yang hanya berniat menonton olahraga sebagai hiburan, malah tinggal nama karena kesalahan pengaturan keamanan dan minimnya prevensi mitigasi.
Dari peristiwa yang terjadi, desakan untuk memperbaiki sepakbola nasional terus bermunculan. Dari semua solusi yang ditawarkan, saya kira salah satu aspek yang perlu kita pertimbangkan adalah perlunya memasukkan perspektif keadilan gender dalam pengelolaannya.
Spesifiknya seperti apa? Bukan rahasia umum lagi bahwa sepak bola adalah cabang olahraga yang kerap identik dengan olah raga kaum laki-laki. Karena stigma ini, pencitraan sepak bola selalu maskulin dan berhubungan dengan kekuatan fisik.
Walhasil, ketika dunia semakin terbuka dan majemuk, manajemen sepak bola kita masih amat tradisional. Padahal, kini sepak bola menarik lebih banyak kalangan untuk menikmatinya, termasuk perempuan dan anak-anak. Meski di Indonesia, sepak bola perempuan masih kalah populer dibandingkan sepak bola laki-laki.
Manajemen Sepak Bola
Dominasi maskulin tersebut tidak hanya berkaitan dengan kurang terakomodasinya sepak bola perempuan saja. Tapi dalam hal lain seperti hadirnya penonton dan jurnalis perempuan dalam pertandingan masih mereka sikapi dengan perilaku misoginis dan seksis.
Pada bulan Juli 2022 kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendapatkan laporan bahwa seorang wartawati mereka dilecehkan oleh suporter sepakbola ketika meliput pertandingan antara PSS Sleman melawan Borneo FC. Kejadian kurang menyenangkan tersebut membuktikan bahwa ruang aman bagi perempuan belum sepenuhnya hadir dalam potret sepak bola kita.
Padahal stadion, sama halnya dengan fasilitas publik lainnya harus memenuhi standar kesetaraan. Di mana siapapun yang berada di sana perlu mendapatkan jaminan keamanan dan kenyamanan.
Mirisnya, pelaku pelecehan tersebut usai kejadian justru menggiring opini bersama kawan-kawannya dengan cara mengirim pesan langsung atau direct message Instagram ke akun instagram saudara korban. Perilaku tersebut tentu membuat korban khawatir pelaku berlindung di balik nama besar kelompok suporternya. “Saya beberapa hari seperti ketakutan setiap mau ke stadion atau berhadapan dengan orang banyak,” begitu pengakuan korban.
Meski selanjutnya, Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani menegaskan, bahwa pelecehan dan serangan terhadap jurnalis tidak bisa ia biarkan. Namun nyatanya apa yang jurnalis alami tadi masih terulang kembali di tempat berbeda. Menurut pengakuan suporter klub PERSIB Bandung, Risna, ia mengungkapkan bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan di stadion masih kerap terjadi. Padahal sebagai fans klub lokal, ia ingin dengan aman menonton langsung di stadion seperti halnya pendukung laki-laki.
Ruang Aman Perempuan
Ruang ramah perempuan dan anak di stadion yang belum terwujud di Indonesia seakan membenarkan bahwa dunia sepak bola menyisakan banyak pekerjaaan rumah. Bahkan di Inggris yang manajemen sepakbolanya sudah maju saja, sikap misoginis masih membumi.
Sebuah studi survei dari University of Durham yang memperlihatkan bahwa separo dari responden suporter sepak bola secara terbuka masih membenarkan sikap memandang rendah perempuan. Dari hasil penelitian tersebut, kita temukan juga bahwa sebagian fans sepak bola masih melihat perempuan sebagai makhluk inferior. Bahkan secara terang-terangan tidak mempermasalahkan catcalling kepada suporter perempuan saat menyaksikan pertandingan di stadion.
Fakta tersebut tentu perlu menjadi catatan bagi semua pihak, termasuk semua pihak berkepentingan di Indonesia. Sebab, sebelas dua belas dengan di Inggris, kasus pelecehan seksual dan tewasnya suporter perempuan di stadion membuktikan bahwa sepak bola nasional perlu kita revolusi secara total.
Pemecahan masalahnya pun tidak bisa sebatas hanya meningkatkan visibilitas perempuan semata. Sebab itu tidak cukup untuk mengakhiri seksisme dan kebencian terhadap perempuan oleh fans sepak bola laki-laki. Apa yang sejatinya kita butuhkan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan di dalam maupun luar lapangan adalah revolusi gender.
Sepak bola nasional membutuhkan semua orang yang terlibat. Mulai dari pemain, manajer, penggemar hingga sponsor, untuk mengambil sikap yang jelas. Dan, tanpa kompromi terhadap sikap misoginis dan membantu menciptakan lingkungan yang ramah bagi perempuan dan anak-anak.
Kesetaraan, keragaman, dan inklusi harus tertanam kuat di dalam klub, pihak suporter hingga pengelola termasuk PSSI. Walau perlu kita sadari bahwa mengubah pola pikir ini tentu akan memakan waktu yang tidak sebentar. Ttapi tidak ada kata terlambat daripada di masa mendatang kejadian Kanjuruhan dan peristiwa pelecehan seksual terulang kembali. []